Aliri dan Rinring dalam Ingatan

Fahmi Muchlis
Gelagar
Published in
14 min readJul 31, 2020

Prolog

Adakah yang memperhatikan tarikh dalam sepekan yang baru lewat? Tidak diingat oleh semua orang, khususnya yang berusia di bawah 18 tahun bahwa 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional, dan 30 Juli diperingat Hari Persahabatan Internasional. Tetiba samar tentang memori bermain di pikiran saya, mengenang sahabat lama. Meluap emosi sejenak ke masa tiga dekade silam sambil menghayati beragam hal. Bagi persona yang masih menyimpan kenangan kebahagian masa kecilnya, akuilah bahwa anak-anak memang memiliki imajinasi yang luar biasa. Mereka menjangkau sekelilingnya sebagai tempat bermain. Entah sorangan ataupun bersama kawan sebayanya. Semoga para orang tua dapat menemukan perasaan senang itu kembali lewat anak-anak mereka. Seperti beberapa rekan dosen di masa Kenormalan. Mereka acap kali membawa balita ke kampus, mengenalkan satu dengan yang lain. Membagi cerita bangga saat si kecil mencoret-coret comel di sembarang tempat. Tangan-tangan mungil kerap mengacau ketikan pada papan tombol saat ibu bekerja. Dan sebagian balita sudah familiar bermain gawai, sampai-sampai menjadi pengantar tidur yang mengalahkan dongeng dan doa. Kebanggaan ini beriring pula dengan was-was jikalau semakin tumbuh besar, pikiran mereka lengket dalam hiburan modern itu. Tapi saya percaya mereka adalah orang tua yang hebat dalam menanamkan perangai luhur.

Banyak bocah di pelosok negeri yang telah terpapar teknologi informasi sejak dini. Produk dadak dan kegandrungan pada tren adalah komoditas milenial yang nilai valuasi pasarnya tinggi. Ambil saja Tik-Tok sebagai contoh. Bila ingin mengatakan bermain adalah bergembira, maka platform itu tentu mampu memuaskan hasrat. Sosial media dan gim daring adalah bentuk yang populer. Media ini berkontribusi besar pada pengalaman non-fisik dan mengaburkan batas ruang pribadi dengan sosial. Penyematan istilah warga urban dan rural sudah jadi arkais dalam urusan kultur pop ini. Termasuk upaya membedakannya dalam kategori usia. Warganet disebut sebagai identitas global dan hanya tanda Waktu yang memberi kekhasannya. Apakah seseorang mampu berakselerasi dengan percepatan teknologi; apakah seseorang mengambil era klasik atau kiwari sebagai pandangannya; atau meniru figur tertentu untuk mewakili harapannya. Segala hal tersebut telah beralih sebagai pembuktian keberadaan manusia. Nah, bila anda kesulitan menyalin cuplikan layar pada gawai dan tiada pernah mencari tahu proyek spaceX milik Elon Musk, maka ikhlaskan diri anda dipanggil udik oleh anak zaman.

Keseruan bermain dalam media mutakhir adalah privilese pencinta teknologi, tatkala jati diri seseorang boleh tersembunyi di balik avatar. Jauh nian berbeda era yang lampau itu. Ketika bahan bekas sudah lebih dari cukup untuk merangkul kawan akrab dalam tangis dan tawa. Berlari ke penjuru kampung untuk adu ketangkasan, berduel gim musiman yang silih berganti. Pengalaman suasana dan persentuhan material di kala itu menjadi utama. Termasuk kepekaan manusiawi yang menyertainya. Jangan keburu menghakimi perihal dulu dan sekarang sebagai oposisi biner. Sebab argumen-argumen ini bukan menyodorkan tegang-bentang antar generasi. Melainkan menukil ingatan semata. Seberapa jauh pembaca generasi yang lahir sebelum paruh 90-an, mampu bercermin seiring meluasnya wawasan. Dan seberapa sadar pembaca generasi yang lahir setelahnya, mau berdamai dengan perbedaan itu. Pasti akan terasa berjarak ketika menjelaskan dunia pengalaman bermain lintas masa. Membandingkan dia yang cuma bisa menyimak hiburan sandiwara kolosal di radio, dengan yang luwes menyiarkan curahan hatinya di YouTube. Untungnya masih ada esensi kebaikan yang bisa dipelajari dari dua hal yang berbeda itu. Pengalaman bermain ini saya anggap adalah pengalaman arsitektural itu sendiri.

Suasana

Sudah sekian tahun saya tinggal di Surabaya, kota besar yang dikelilingi kampung. Namun meski demikian, sulit untuk memadankan dengan kampung di daerah saya, salah satu pelosok Sulawesi Selatan yang baru beberapa tahun ini memiliki rekaman citra jernih dalam Google Map. Suasana memiliki spektrum yang luas, tapi yang saya coba tekankan adalah arsitektural dan tersentuh secara inderawi. Menjadi penting untuk disampaikan bahwa perspektif berdasarkan ingatan ini menggunakan sudut pandang mata anak-anak. Ada perbedaan persepsi dalam merasakan skala, pergerakan, serta hirarki ketika kita dewasa. Kamar yang sejak kecil kita gunakan pasti akan semakin terasa menyempit saat beranjak remaja, gerak tubuh bisa menjadi terbatas, dan kita akan menangkap persepsi kualitas ruangan yang berubah karena menumbuhkan konsep dari beragam konteks seperti etika, kultur, agama, dsb. Penghayatan yang lebih dalam tentu saja didasarkan dari pemikiran dewasa penulis. Wajar saja kemudian bila pembaca sulit memetik keutuhan pesan tulisan ini, selain berjarak dari konteks, bisa juga karena penulis yang kurang cakap menyampaikannya.

Pengalaman suasana bermain saya dibentuk dari rumah kayu berbentuk panggung. Berkunjung dan menghabiskan sore hari di rumah kawan Sekolah Dasar dan tetangga adalah hal mengasikkan. Hal ini mungkin karena terasa perbedaan atmosfer dengan rumah saya sendiri yang berdiri dengan bata dan semen. Ukuran rumah tidaklah sama untuk setiap bangunan tapi masih memiliki proporsi yang cukup mirip. Ada pembagian petak pada panggung dengan mengatur saf aliri (tiang) berbanjar. Mudah melihatnya pada bagian kolong. Ketinggian panggung berbeda pula untuk setiap rumah. Dari sumber buku tentang dokumentasi arsitektur tradisional disebutkan bahwa proses pembuatan elemen bangunan menggunakan ukuran tubuh pemiliknya. Sekarang hal ini sulit untuk divalidasi karena rumah-rumah tersebut adalah warisan dari sekian generasi. Bila ada konstruksi yang baru pun, para tukang telah menyesuaikan dengan ketersediaan bahan baku siap pakai. Saya mudah mengenali rumah mana yang masih baru, dan mana yang telah berusia lebih dari seabad, hanya dengan memperhatikan aliri. Pada rumah baru akan terlihat aliri yang mulus, sejajar, dan tegak lurus. Sementara pada rumah lama terlihat kayu yang diketam dengan kasar. Dalam gugus aliri itu pun kadang ditemukan yang condong. Untuk kasus yang ekstrim, pangkal bawah beberapa aliri telah rusak karena kondisi lingkungan. Ada rumah yang terlihat berdiri pincang tapi masih sanggup menopang panggung dengan baik. Banyak yang membiarkan bagian kolong ini terbuka tanpa dinding sehingga dapat digunakan untuk banyak kegiatan, yang paling saya ingat adalah para pandai besi yang menjadikan kolong rumahnya sebagai bengkel untuk menempa parang, dan ada pula ramai tetangga mengayam. Dari cerita ibu saya, kolong rumah juga menjadi tempat perempuan menenun sarung. Sementara bila memiliki hewan ternak, beberapa petak akan terlindungi sekat sebagai kandang.

Kesan petak-petak yang nampak pada aliri kolong tidak selalu tentang pembagian bilik diatasnya. Setelah menaiki tangga, kita disambut dengan lantai panggung yang lapang dan hanya tersedia sekat untuk kamar tertentu. Beberapa rumah membuat perbedaan ketinggian lantai yakni arah dari pintu masuk depan menuju ke belakang, terlihat seperti terusan dalam rumah. Membagi dua bagian utama bangunan sebagai hirarki tanpa harus menyekatnya. Bagian lantai yang naik setinggi lutut orang dewasa itu sangat pas sebagai tempat duduk. Kita bahkan bisa mengintip tungku masak sambil duduk bercengkrama. Memperlihatkan jelaga pada atap daun rumbia. Rumah yang lebih sederhana menggunakan rinring gamacca (dinding dari anyaman bilah bambu), sementara lainnya ada yang memilih papan. Semua sisi bangunan diberi bukaan kecil yang berdaun. Ada bagian ruang atap yang menjadi loteng sebagian (parapara). Kadang terlihat jelas stok gabah hasil panen tersusun rapi. Tak nampak ada persolekan ornamen yang memberi keramaian kecuali yang berkenan memajang perabot.

Bagian depan bangunan adalah hal lain yang menarik. Rumah-rumah biasanya menggunakan sisi lebarnya sebagai wajah. Meskipun bagian samping dan belakang rumah menggunakan bambu, yang sering dijumpai adalah bagian depan ditampilkan dengan dinding papan bermotif segi empat. Saya sempat menemukan rinring gamacca yang menjadi wajah namun hanya ada pada bangunan lama yang telah ditinggalkan oleh pemilik. Bentuk motif anyaman bambu pada rinring ditata dengan pola kotak-kotak menggunakan rangka. Sejumlah batang bambu vertikal berjejer dan dilubangi dengan jarak yang sama dengan jarak berjejernya. Batang bambu horisontal yang lebih kecil menusuk lubang-lubang pada batang vertikal sehingga membentuk rangka berpetak yang rapi. Petak ini lantas diisi dengan bilah bambu yang lebih tipis. Namun kabur di ingatan saya apakah bilah bambu tipis itu dijepit oleh batang bambu horisontal atau justru dengan teknik lubang pula. Ada rinring rangka bambu lain yang memanfaatkan penampang bagian dalam yang berserat, dan luar bilah bambu yang mengkilap untuk memberi kesan warna dan tekstur. Bilah bambu tersebut dianyam secara horisontal-vertikal membentuk pola. Dari teknik komposisi visual material bangunan ini, rinring menjadi bahasa kesatuan estetika rupa seluruh bangunan kampung. Keseragaman visual yang membosankan dipecah melalui komposisi atap pelana yang berbeda-beda. Ada atap pelana yang hanya mengandalkan pertemuan dua bidang datar saja, namun ada beberapa yang menggunakan pertemuan dua bidang tekuk. Semakin variatif lagi ketika atap-atap ini berbeda kesimetrisannya. Wajah yang bertambah semarak dihasilkan dari pengolahan bidang penutup depan pelana, membentuk segitiga yang disebut dengan timpalaja. Penampang segitiga setiap rumah itu berbeda jumlah satu dengan yang lain. Bisa terdiri dari beberapa bagian yang disusun dari bawah ke atas, yaitu beberapa bidang trapesium dan satu segitiga paling atas. Bidang-bidang ini dicondongkan pada sumbunya masing-masing ke dalam, sehingga memberikan bukaan kecil pada batas-batas pertemuannya. Adapula yang hanya bermain ornamentasi pada bidang penampang ini. Dan sebagai pengakhir dari komposisi persolekan wajahnya, puncak atap diselesaikan dengan hiasan yang bermacam.

Tidak seperti umumnya bangunan modern yang tanamannya berusaha ditata rapi, pepohonan di sekitar tapak rumah panggung telah tumbuh liar sebelum bangunan hadir. Pepohonan memang sudah umum digunakan sebagai penghalang angin dan memberi kesejukan. Eboni, Kecapi, Kelor, Kenari, Ketapang, Lontar, dan Nangka adalah beberapa pohon yang selalu mengingatkan tentang kampung di Sulawesi Selatan. Ada pohon yang sengaja ditanam, ikut bertumbuh besar bersama menuanya bangunan. Seperti yang dilakukan oleh kakek saya ketika menanam Jati tak jauh dari rumahnya, dia menyiapkannya sebagai cadangan esok bila elemen bangunan ada yang mesti diganti. Pepohonan besar jadi bagian tempat bermain yang menyenangkan dalam ingatan sama halnya rumah-rumah panggung itu. Saya menangkap kesan bahwa sedari awal bangunan bertamu ke dalam tapak alih-alih mengambil dominasi. Mereka menapak dengan aliri berpenampang kecil, tak berusaha menginvasi permukaan tanah. Ia mengisi tapak yang memungkinkan untuk dibangun tanpa memaksa menebang pohon kayu tinggi. Lekat di ingatan, beberapa kali saya melihat pembangunan baru atau pemindahan rumah. Mendirikan rangkaian saf aliri terlebih dahulu, lalu merangkai elemen struktur lain. Keikhlasan warga untuk bersama-sama mendirikan rumah itu nyata adanya tanpa diupah. Cukup merangkul mereka dengan lezatnya panganan tradisional. Sementara untuk memindahkan rumah berarti secara literal menggotong rumah panggung itu ke tapak berbeda, membagi ton bebannya ke puluhan orang.

Rumah-rumah panggung di kampung saya bukanlah bangunan monumental yang menjulang setinggi pohon Lontar. Dan saya pun tak pernah menemuinya dalam luas yang berlebih-lebihan. Pengecualian hanya diberikan pada beberapa istana kerajaan besar dan di pulau yang berbeda (Desa Bitombang, Pulau Selayar). Di pelosok kampung, rumah-rumah relatif berjauhan. Rumah panggung elok dan nyaman dinikmati karena setiap dimensi terasa seimbang dengan manusia dewasa. Hanya saat kecil saja saya merasakan rumah-rumah itu lapang berlebihan sampai bisa berlari-lari di dalamnya. Sinematik dimulai dengan gerak dari kejauhan menuju bangunan, merasakan ruang pada kolong lalu bergerak ke atas melalui tangga untuk masuk ke dalam rumah, dan terakhir bila ingin memanjat parapara. Keseluruhan perpindahan ruang ini terasa dalam skala yang pantas. Bila orang mulai bergerak menuju bangunan, yang pertama terlihat dari kejauhan adalah puncak atap. Namun seseorang masih belum menangkap utuh proporsi bangunan dari jarak itu. Banyak rumah yang tersembunyi oleh tanaman. Untuk alasan ini menjadi sangat sah menampilkan bentuk dan dekorasi atap yang bergaya agar mudah dikenali. Saat lebih dekat dengan bangunan, mata mulai bisa merasakan sekilas skala sosok yang terbantu pula oleh tanaman. Mata bisa segera menerka proporsi rumah dari komposisi wajah bangunan yaitu atap-bilik-kolong, meskipun terhalang rimbun dedaunan. Sangat jelas atap-bilik-kolong memiliki kualitas rupa yang mudah diidentifikasi baik dilihat secara frontal (2d) ataupun dari samping (3d). Kolong memberi kualitas kekosongan : tiang-tiang yang berdiri, bagian bilik adalah kualitas isi : adanya bukaan, sementara atap adalah kualitas penaung : luas permukaan yang lebih lebar dari tiang dan bilik.

Menikmati keindahan rumah-rumah panggung tidak hanya sebagai bangunan yang berdiri mandiri. Yang mungkin terabaikan ialah keterjalinan erat dengan pepohonan sekeliling rumah yang bukan sekadar peneduh; sumber pangan; maupun papan bagi pemilik rumah. Pepohonan; perdu; tetumbuhan; dan bangunan, bisa bekerja sebagai latar satu sama lain. Saat pepohonan berada di antara mata yang memandang dan bangunan, pohon menjadi fokus lalu bangunan menjadi latar. Begitu pula bila mata mengalihkan fokus, di mana pepohonan akan membingkai pandangan dan memunculkan tampang bangunan. Visual yang ditangkap adalah sebuah sajian kontras namun harmonis. Ada lapis citra buatan dan alam yang saling melengkapi. Mata menangkap kemiripan pada aliri yang memberi sosok batang. Dan bidang pada perwajahan, bersesuaian dengan volumetrik sosok rimbun dedaunan. Kompleksitas ini tampil lebih jauh lagi ketika aliri memiliki bentuk yang meliuk seperti batang pohon namun bersitegang dengan perwajahan yang diselesaikan dengan dekorasi atau warna mencolok. Saat memandang keluar di pagi hari dari tengah lantai panggung yang lapang, jendela menampilkan lukisan warna berupa langit dan rimbun pepohonan. Kecerahan ini dihasilkan karena pertemuan dengan material rinring yang serupa bidang monokrom. Suasana dalam bilik sedikit lebih temaram dibandingkan terang di luar. Kehadiran pepohonan dan tanaman lain akhirnya juga bisa merangsang indera selain visual. Sepanjang hari pada rumah yang memiliki rinring gamacca, ada dramatisasi cahaya dan bayangan di permukaan lantai papan kayu yang menghangat. Daun Lontar layu ataupun yang sengaja dijemur sebagai bahan anyaman, dari wangi daun Pandan yang sedang dikerat di batang tinggi, dan semak Beluntas yang baru dipangkas. Seluruh bebauan tersebut bisa saja terbawa semilir angin melalui jendela dan rinring berpori. Dan janganlah melupakan jelaga di atap rumbia, bau yang selalu mengingatkan pada perapian. Sungguh memanjakan indera, keindahan yang memperkaya batin.

Penghayatan

Dari penjelasan aspek keindahan bersahaja bahasa visual rumah-rumah ini, ada banyak hal yang menggugah penghayatan. Semoga pembaca bisa merasakan bahwa puitisnya rumah-rumah itu karena berpadunya manusia, alam, dan diri bangunan itu sendiri. Tak ada unsur yang berusaha egois. Kontak elemen bangunan aliri dan permukaan tanah adalah bukti persahabatan dengan alam. Ketika ada hasrat terhadap rumah yang lebih besar maka manusia harus meyakinkan diri tak merusak lahan yang sudah ada secara berlebihan. Kalaupun ingin menebang, harus menyiapkan cadangan untuk mengganti apa yang telah diambil. Desain rumah panggung di kampung itu terbaca memiliki sifat perluasan yang sangat fleksibel (bila membayangkan lepas dari tapak), namun perluasan bangunan bukanlah perkara sembarangan. Bentuk persegi dan tatanan berpetak memang jadi representasi ke-modern-an industri arsitektur saat ini. Secara nalar bila hanya memperhatikan grid (program ruang), maka bentuk rumah bisa saja meluas secara organik untuk setiap sel dari grid. Tapi rumah panggung tidak melakukan hal demikian. Bentuk persegi ini secara konsisten dibuat untuk menjaga komposisi visual yang saya jelaskan dari awal. Ketika rumah menambahkan bentuk yang acak mengikuti sel gridnya didasarkan atas kebutuhan ruang, maka suasana ruang yang lapang dan permukaan rinring tidak terbaca lebih baik. Suasana monoton berubah menjadi riuh — muncul komposisi bidang dinamis, sehingga mata akan teralihkan pada apa yang ada di dalam. Kualitas visual eksterior akan dikalahkan oleh interior karena keintiman bilik menjadi lebih penting dan kepekaan pada indahnya lukisan yang saya sebut pastilah turut pudar. Kalaupun memaksa menghilangkan rinring agar terhubung secara langsung dengan alam, bukan hal yang diinginkan pula karena ada unsur rasa aman yang dikorbankan. Bayangkanlah bila bentuk denah yang acak itu diproyeksikan bentuk atap pelananya. Hanya akan dua kondisi, yang pertama adalah mengikuti perimeter denah sehingga pelana menjadi sangat kompleks. Dan yang kedua membuat pelana yang sama dengan skala lebih besar, asal-jadi menaungi semua yang ada di bawahnya. Kondisi pertama dan kedua akan membawa konsekuensi pada penggunaan material yang lebih banyak seiring tuntutan struktur konstruksi. Selain itu akhirnya membuat kualitas visual menjadi terlalu berbeda dari rumah dengan yang lainnya, seseorang akan perlu waktu untuk mencerna bahwa rumah-rumah tersebut adalah bagian dari satu kelompok masyarakat. Padahal tak bisa dipungkiri dalam konteks ini, manusia ketika memutuskan berhuni dalam kelompok akan mengikat diri mereka dalam kesatuan kultur.

Identitas terasa bena karena membuat orang dikenal dan mengenal. Formulasi gubahan wujud rumah-rumah panggung itu pada puncaknya merangkum nilai kehidupan seseorang secara hakiki, bagaimana menjadi bagian dari semesta. Termasuk ketika sebuah bangunan pada akhirnya harus lapuk dan ditinggalkan adalah bagian dari perayaan hidup. Pengetahuan dari arsitektur serupa dengan pemikiran manusia yang terwariskan sebagai khazanah. Bahasa rupa yang disajikan sebagai elemen bangunan rumah, jadi padanan dengan aksara tertulis — yang jarang muncul sebagai memori kultur kami. Dan jelaslah dalam benak saya mengapa orang-orang dulu berusaha melengkapi bahasa rupa ini dalam simbolisme, agar terekam dan terwariskan dengan baik ke generasi berikutnya. Sayangnya simbol kadang mudah berubah seiring zaman, apa yang tampil dan dikandungnya bisa berbeda. Lalu yang tersampaikan bisa saja tidak utuh atau bergeser. Mendapati sebagian teks-teks modern yang hanya menjadikannya bahasan artefak kultur, tak cukup mempermudah saya memberi akselerasi dengan masa depan. Apalagi generasi saya, semakin berjarak saja dari akar kultur itu. Padahal makna yang dikandung sebuah rumah itu sebenarnya adalah kemegahan yang dapat memperkaya modernitas. Dan ketika berupaya mengembangkannya, akan selalu terbentur persoalan metafisika sebelum menjangkau yang puitisnya. Tidak mudah mencerna simbolisme kultur, apalagi yang tidak tumbuh bersamanya. Jadinya dalam keterbatasan, saya lebih memilih hal-hal logis ini.

Beruntunglah anak Nusantara yang bisa menjalani hidupnya bersama seluruh kecemerlangan ini sekaligus mampu mengikuti laju kemutakhiran dari peradaban manusia. Sejak laut menjadi medium perantara antar manusia bertukar pengetahuan, maka haruslah kita curiga ada jejak-jejak dari dialog itu dalam elemen bangunan. Ibarat menyerap frasa untuk memperkaya bahasa. Dan adalah keniscayaan bahwa potensi perubahan itu harus diambil. Lautan tak ubahnya era digital di saat ini, generasi muda telah menyerap intensif konten digital menjadi gaya hidupnya. Ha-hal puitis yang tersembunyi dari rumah-rumah panggung ini janganlah diyakini akan tertinggal lalu terlupakan karena tidak mampu melaju sejalan waktu. Masyarakat Indonesia sangat familiar dengan hal metafisika. Dan era digital dalam arsitektur tak jauh berseberangan dengan kultur metafisika modern yang membutuhkan kepekaan inderawi luas. Realitas Tertambah dan Realitas Maya adalah dua teknologi yang mendefiniskan interaksi baru bagi manusia dan lingkungannya. Sudah seharusnya wujud arsitektur bisa diperluas pemahamannya ke dalam tektonika digital. Menggubah ulang bahasa arsitektur yang lebih kontemporer. Selagi arsitektur secara global juga masih menjelajahi dimensi ini, ada baiknya kita juga masuk ke dalam pentas yang sama. Bagaimanakah itu bisa dipahami, bukanlah bagian dari tulisan yang saya sampaikan saat ini. Ada hal lain yang harus dipadankan, dibedah, dan dihayati secara perlahan untuk masuk ke dimensi maya itu.

Epilog

Semoga tak sia-sia saya membuka tulisan ini dengan bermain, khususnya yang masih menyimpan kangen pada kampung halamannya. Ada kesadaran bahwa pengalaman-pengalaman bermain di masa kecil menjadi bekal penghayatan suasana yang mungkin sudah terlupakan. Ini hanyalah sebagian kecil langkah dalam mengakrabkan diri pada pengetahuan arsitektur Nusantara. Menghabiskan masa kecil di kampung lalu berdomisili di kota besar setelah dewasa memang memberikan gegar di awal. Muncul rasa keterasingan atas tempat dan kultur urban, dan memaksa kita untuk berubah atau beradaptasi. Secara mengherankan di waktu yang sama, penghargaan terhadap apa yang telah lama ditinggalkan itu ternyata kian besar saja saat kita berupaya mengenal arsitektur Nusantara. Seperti menemukan khazanah kecerdasan tersembunyi karena tak pernah dituturkan apalagi dituliskan. Berharaplah kita bisa memahami bahwa pengetahuan seperti itu selayaknya berkelanjutan. Bukan berusaha memuliakan perkara romantis, namun mencerna dualitas masa lalu dan kini, akan menjelmakan pegangan kuat ketika berupaya mendudukkan perkara dengan lebih bijak. Dalam bingkai pemahaman saya, arsitektur Nusantara harus tetap bergelora sesuai semangat zaman. Agak ambisius menuliskan, bagaimana bangsa akan bermartabat tanpa adanya identitas? Kita secara bersama perlu untuk memproyeksikan kondisi arsitektur Nusantara yang dulu ke konteks sekarang sembari mengakar pada manusia beserta tempatnya.

Akhirnya semua akan lain cerita, seandainya pembaca adalah manusia modern yang rela melepaskan diri dari sejarah dan jati diri. Paragraf demi paragraf di atas tentu hanya memberi rasa muak. Tak ingin saya bersikeras menyisipkan jargon-jargon perkuliahan untuk menarik simpati, karena semuanya akan kembali pada hati nurani. Resapilah bahwa pengetahuan arsitektur itu sebenarnya tak pernah asing pada setiap insan. Mereka — manusia di penjuru Nusantara memiliki modal buah pemikiran berharga. Para akademisi yang semestinya belajar kepada mereka, bukan sebaliknya. Sebagian besar dari kita adalah penutur saja, yang mungkin tidak kuasa berkontribusi pada sumbangan penemuan pengetahuan baru. Sejauh apapun kita menggapai pencerahan arsitektur yang baru, ketika kita menjejakkan benak ke kedalaman akar jati diri kita, semoga itu membantu arsitektur Nusantara tetap berdetak.

Beriring doa dalam tulisan ini untuk seluruh anak-anak di penjuru negeri. Kelak dalam naik turunnya kondisi bangsa ini dan kemana pun mereka melanglang buana, semoga tetap memliki rasa syukur tumbuh dan berkembang di tanah ibu pertiwi. Mencintai Indonesia.

*Seluruh foto adalah dokumentasi //decode.

--

--

Fahmi Muchlis
Gelagar
Editor for

Dosen, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember