Arsitektur dan Sinema: Sinekdoke dalam Persepsi

Fahmi Muchlis
Gelagar
Published in
8 min readJul 20, 2020

Secara kebetulan, apresiasi kedua Tugas Akhir kali ini juga menggunakan judul majas. Sinekdoke dibubuhkan oleh Adly di atas lembar sampulnya. Ada kesan romansa sebagai judul proyek akhir arsitektur. Teringat pada kali pertama kita bergelut dengan sastra Bahasa Indonesia di bangku Sekolah Dasar. Semoga sebagian pembaca bisa menerka dengan tepat kesusastraan ini. Kalau pun belum, biarlah saya membantu melalui contoh kalimat “Ku ingin bertemu empat mata denganmu, berdua menyeruput kopi di kala senja!” Ini adalah gaya bahasa yang umum didengar oleh masyarakat. Sinekdoke adalah majas pertautan yang menyebutkan nama bagian untuk mengganti menyebut nama keseluruhan, demikian pula digunakan secara berkebalikannya. Pengertiannya yang lain juga terkait dengan penyebutan nama bahan untuk mengganti nama sesuatu yang terbuat dari bahan itu. Dalam contoh kalimat yang saya berikan adalah ‘empat mata’ mewakili kehadiran dua orang manusia dan ‘menyeruput kopi’ mewakili minuman seduhan kopi, bukan biji kopi. Saat Adly menggunakan sinekdoke untuk membingkai persepsi arsitektur dan sinema, ada perihal menarik untuk dicerna dengan tidak tergesa-gesa.

Kesan romansa yang disebutkan sebelumnya bukanlah leksikal untuk memperindah alinea saja. Setahun lalu di Studio Perancangan 4, Adly juga menggunakan sinema sebagai akar konsep bangunan museum antropologi di bawah bimbingan saya. Di saat itu dia telah menggunakan sinema untuk mengkonstruksi sebuah narasi. Bahkan mencoba lebih jauh pada representasi konsep awal berupa video montase cuplikan film. Unsur-unsur sinema dan konteks tapak dirajut sebagai konsep arsitektur yang bernas. Ada fragmen sinema tertentu yang ter-transformasi-kan secara halus, sehingga lakon dan latar juga tertangkap sebagai unsur atmosfer bangunannya. Sempat sekali waktu kami bertemu membicarakan topik proposal Tugas Akhir. Dalam kebimbangannya di tenggat waktu preview saat itu, saya hanya membantu mereflesikan tugas studio yang telah dilakukannya. Pikir saya itu dapat membantu dia melihat jernih potensi tersembunyi. Dengan pencapaian tugas studio perancangan yang sangat prima, ekspektasi tinggi pada penjelajahan baru sinematik memang pantas adanya.

Proyek Tugas Akhir ini saya anggap sebagai sebuah sekuel sinema, dengan menggunakan tapak yang sama dengan proyek sebelumnya. Dan bahkan betapa malas membangkitkan gairah yang lain, tetap saja digunakan konsep “pelarian” olehnya. Yang membuatnya berbeda di proyek akhir ini adalah paradigma sinema. Saya merasa ini adalah kebaruan yang muncul selama saya mengikuti proses studio dengan alat sinema. Bila di penjelajahannya yang lalu, sinema ibarat permainan frasa pada arsitektur maka kali ini saya menyebutnya sebagai kata majemuk. Konteks sinekdoke tugas ini adalah pertautan antara sinema dan arsitektur. Bila membaca Arsitektur DAN Sinema maka proyek ini tidak lebih sebagai sebuah frasa, dapat terbaca sebagai fragmen yang bisa diurai berantai untuk mengidentifikasi satu terhadap lainnya. Apakah “arsitektur yang-” saja; atau “sinema yang-” saja. Kata kedua menjadi pewatas, misal arsitektur yang memiliki sifat sinema. Sementara Arsitektur ADALAH Sinema tidak demikian adanya. Ini adalah kata majemuk atau biasa disebut kata kiasan. Keduanya luluh jadi satu yang baru. Sinekdoke digunakan Adly untuk membantu kita memahami arsitektur dan sinema sebagai senyawa rancangan yang mengemban beban pesan ataupun makna. [1] Apakah akan familiar sebagian lalu mampu memahami pesan secara utuh, [2] ataukah mengalami semuanya namun menangkap maknawi sebagian, [3] dan yang terakhir mempersembahkan sinema sebagai materialitas arsitekturnya. Komposisi sinema-lah yang disebutkan, alih-alih menyebutkan komposisi elemen bangunan itu sendiri. Bagian ketiga ini memposisikan arsitektur pada realitas dimensi aram temaram, berada dalam ambang batas fisik dan metafisik. Sederhananya, kita bisa memahami proyek ini dengan berbicara gagasannya saja tapi di saat lain bisa mengaitkan gagasan dan konsep perwujudannya secara serempak.

Perhatikan bahwa membaca rancangan Adly sebagai sebuah frasa akan mengarah pada sesuatu yang benar-benar berbeda. Sehingga kedalaman konsep yang ingin disampaikan mungkin tidak terbaca dengan semestinya. Hal tersebut hanya memunculkan kecurigaan yang mendangkalkan keistimewaan yang dimiliki. (Meski judul utuh yang digunakan adalah Arsitektur dan Sinema, hendaknya itu dipahami dalam sudut pandang yang lain dengan tulisan ini). Saya tidak bisa mengatakan bahwa redaksi kiasan adalah cara yang paling baik dalam menggunakan sinema sebagai alat merancang. Sungguh, ini ternyata membawa sebuah konsekuensi yang mungkin dalam tuntutan Tugas Akhir Arsitektur ITS adalah kekurangan terbesar, ibarat mata pedang yang terbalik. Pada kenyataannya kritik ini yang banyak disampaikan oleh penguji. Pilihannya menjadi sang pemimpi perfilman yang terjebak di arsitektur. Ia membuka kunci gerbang imaji dan kreatifitas dalam genggaman idealisme tinggi guna menemukan kepuasan jiwa di momen terakhirnya sebagai mahasiswa arsitektur. Ia telah tahu tumbal yang harus diberikan.

Arsitek adalah sutradara, gubahan arsitektur adalah mise en scène, lakon adalah siapapun yang menggunakannya, alur cerita adalah rangkaian bingkai demi bingkai pandangan sadar yang tertangkap saat pengunjung masuk ke dalam bangunan, dan durasi sinema adalah waktu langsung yang dialami setiap orang. Sinema jadi sesuatu yang relatif bagi semua orang. Arsitektur sebagai sinema hanya hadir sebagai gagasan saat orang melangkahkan kaki pertama kali untuk merasakan pengalaman spasial dan menangkap atmosfer yang ada pada bangunan. Ketika telah keluar dari bangunan ini maka arsitekturnya selesai. Bukan lenyap, sebab sejumlah unsur tadi hanya absen sementara di sana. Bedakanlah dari paradigma Arsitektur dan Sinema. Film sebagai pengalaman visual yang berjarak dari pengamatnya akan membuat arsitektur bisa diinterpretasi sebagai analogi secara langsung, dengan kemungkinan adanya keterlibatan unsur-unsur film yang paralel pada konsep arsitektur. Lantas kita akan mencari-cari penampakan aspek-aspek seperti tokoh, latar, dsb untuk memahami keberadaan preseden film yang dipikirkan di arsitekturnya. Saya tangkap dalam konsep proyek ini, gagasannya tidak diposisikan demikian. Dari seluruh unsur peng-kias-an sinema, tiga perspektif pada peluluhan arsitektur dan sinema akan dapat dijangkau. Dua dari pertama terkait hubungan perseptual manusia terhadap visual yang ditangkapnya. Dan yang ketiga jadi tribut bagi arsitektur untuk dirinya sendiri, bagian yang sepertinya luput disampaikan oleh Adly selama sidang.

Adly merancang tempat pemandian yang tampil bagai wahana. Konsep ragam pengalaman diatur sebagai babak dengan membuat (a) The Wall, pengasingan bangunan dari kota, (b) The Castle, sebagai vantage point rancangan, © The Sanctuary, peleburan hiruk pikuk kota dengan bangunan, (d) dan The Maze, 16 bilik kolam renang bertema. Keempat babak ini menampilkan gubahan elemen arsitektur klasikisme fundamental* seperti yang dilakukan Rafael Moneo pada National Museum of Roman Art. Memalsukan lengkungan struktural dan materialnya. Tentu saja karena ini adalah set sebuah film yang tidak memerlukan kondisi sebenarnya, cara yang absah untuk dramatisasi. The Wall dan The Maze memiliki skala monumental yang mampu memberikan latar polos yang luas saat mata mengarahkan pandangan. Dinding seperti ini digunakan sebagai batas pandang manusia ke arah luar/seberang maupun sebaliknya, memberi jeda bagi pikiran kita untuk merasakan keterasingan sejenak. Ada posisi dimana mata akan memandang interior bangunan dan kota yang hadir berdampingan. Kalaupun gedung-gedung tinggi tidak terlihat ketika orang bergerak menuju tembok maka akan berguna sebagai bingkai untuk menciptakan komposisi visual horizon dengan langit, menghadirkan kosmis ke dalam arsitektur ketika menengadah. Sementara The Castle dan The Sanctuary menghadirkan perbedaan elevasi untuk dinamika persepsi gerak vertikal, ada perubahan suasana lapang dari ruangan terbuka dan tertutup.

Teknik montase dipilih untuk menyusun potensi sinematik tadi sebagai satu film. Bangunannya yang sebagian besar tanpa atap memberi kejutan bagi setiap skenario yang muncul, khususnya pada The Maze. Kehadiran kosmis dalam arsitektur menjadikan atmosfer bangunan berubah sepanjang musim. Baik panas, hujan, maupun bising digunakan sebagai bagian dari mise en scène. Di sinilah kita harus menghargai bagaimana tribut diberikan khusus kepada arsitektur sebagai sinema. Kehadiran dan absennya gagasan bisa terjadi kapan saja tergantung oleh unsur-unsur sinema yang terintegrasi sebagai material elemen arsitektural. Ketika kita menarik unsur waktu langsung dari sana, kita seperti menghilangkan kamera pada proses pembuatan film. Demikian pula yang terjadi pada ketiadaaan salah satu unsur sinema yang lain yang tertangkap hanyalah sebatas fungsi bangunan. Narasinya tergantung dari sudut pandang pertama dengan waktu langsung. Adly hanya membebankan makna bahwa arsitektur adalah sinema dengan pesan/cerita yang bisa berbeda-beda bagi setiap orang tergantung bagaimana ia bergerak. Keberterimaan sebagian atau utuh sangat relatif tergantung dari semua unsur sinema dan persepsi visual yang diperolehnya.

Representasi yang disajikan Adly adalah gambar-gambar oblique hitam putih, dan gambar-gambar ubin informatif yang membantu melengkapi representasi wujudnya. Tidak ada gambar orang yang umumnya digunakan sebagai notasi skala gambar arsitektur. Saya curiga ini memang disengaja sebagai bagian dari komposisi mise en scène. Menjadikan pengamat gambar sebagai subyek orang pertama. Ketika seseorang melihat satu gambar (latar) ini, orang akan segera memproyeksikan imajinasi mereka ke dalam gambar untuk merasakan sensasi spasialnya. Bila ternyata dalam gambar ada obyek manusia, pengamat akan segera menduga sedang berada di tengah adegan peristiwa yang melibatkan lebih dari satu orang. Perasaan berjarak terhadap obyek-manusia dalam gambar segera menjadikan diri pengamat sebagai orang kedua. Hal ini akan lebih terasa apabila perancang memposisikan gambar orang dengan wajah yang memiliki ekspresi dan melihat ke pengamat dalam komposisi gambar. Apalagi dalam film yang jelas-jelas menghadirkan banyak tokoh maupun narator orang pertama, penonton tetap berada di luar layar. Manipulasi persepsi ini juga memberikan intensitas bahwa rancangan ini memang meng-kias-kan arsitketur adalah sinema. Ketiadaan skala dalam gambar hanya memberi keambiguan perspesi akan proporsi bangunan yang tepat sehingga justru terbaca sebagai sebuah set yang direkayasa.

Saya tidak bisa memberikan penjelasan lebih detail pada konsep montase arsitekturnya. Sebab pengalaman personal adalah kuncinya. Saya dan pembaca yang lain akan menangkap cerita yang berbeda. Mungkin ulasan ini terasa hiperbola. Perlu kita sadari ini adalah tentang film, ada alasan bermacam-macam bagi setiap orang untuk memilih lalu menontonnya, genre apapun itu. Saya sebenarnya sangat berharap Adly memiliki kesempatan menyajikan gagasannya ini dalam format video montase yang sinematik. Menyelesaikannya secara paripurna, arsitektur adalah sinema.

*) Kelompok langgam arsitektur klasik yang di-modern-kan menurut Robert A.M. Stern. Silakan membaca referensi:
Stern, Robert A.M., Gastil, Raymond W. (1988) Modern Classicism. Rizzoli.

Catatan
Arsitektur dan Sinema: Sinekdoke dalam Persepsi adalah Tugas Akhir dari Muhammad Imam Adly, mahasiswa Arstektur — Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Seluruh gambar merupakan hak cipta perancang.

--

--

Fahmi Muchlis
Gelagar
Editor for

Dosen, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember