Arsitektur Digital: Untuk Siapa?

Fahmi Muchlis
Gelagar
Published in
7 min readJul 12, 2022

Sudah sepekan lewat Departemen Arsitektur ITS melangsungkan sidang Tugas Akhir. Saya tidak ingin menghitung berapa jumlah sidang yang saya telah dan harus ikuti. Namun yang menjadi perhatian penting di semester ini tentu saja topik-topik yang secara personal menggelitik untuk dikritisi dalam tulisan pendek. Ada beberapa mahasiswa sidang yang saya uji mengangkat topik arsitektur digital, khususnya Mixed Reality (penggunaan Virtual Reality dan Augmented Reality secara paralel). Sayangnya topik-topik seperti ini hanya akan jadi menarik bila menghadirkan sesuatu yang benar-benar segar. Bila tidak, maka akan menjadi gimmick saja pada isu yang diambil, serta kurang pas sebagai penggerak konsep yang acapkali dijujung sebagai judul Tugas Akhir. Setidaknya mereka harus bisa menggunakan titik acuan dari rekan-rekan sebelumnya untuk membuat perbedaan itu, seperti melirik pada tugas-tugas di unit Studio Perancangan Arsitektur 5 bimbingan saya beberapa tahun lalu. Beberapa mahasiswa pernah menunjukkan gairah yang sangat tinggi pada eksplorasi Mixed Reality di konsep perancangan mereka, sampai menyempurnakan presentasi dengan mengembangkan software. Memang itu semacam anomali dalam studio, tapi setidaknya gairah seperti itu yang saya harapakan ketika mahasiswa mencoba menenggelamkan diri pada arsitektur digital seutuhnya. Ada rujukan pada tugas-tugas studio yang sudah pernah dikerjakan sehingga bisa menebak bagaimana strategi di Tugas Akhir harus diambil. Pembaca silakan menduga, di kampus arsitektur ini memang ada keterasingan pada hal-hal yang bersentuhan dengan ranah arsitektur digital*. Segelintir yang ada hanya menyimpan tugas-tugas mereka untuk pribadi dalam hardisk komputer hingga terlupakan.

Membicarakan persoalan arsitektur digital di departemen Arsitektur ITS sepertinya akan selalu menjadi topik yang terlalu berat untuk dimulai apalagi diselami. Ini setidaknya dari pengalaman saya beberapa tahun belakangan ini. Arsitektur digital yang saya singgung adalah perannya sebagai medium translasi berbagai keilmuan. Merangkul desain digital di arsitektur serupa memberikan sebuah hub yang akan mengoneksikan jaringan. Bila ujung yang satu tidak sesuai maka mustahil mendialogkan disiplin ilmu tertentu ke yang lainnya. Belum lagi soal lain seperti diskusi yang segera kelar diawal, dengan anggapan berurusan soal komputer akan memusingkan otak. Pernah saya menimpali, soal arsitektur digital pada dasarnya tidak selalu perihal menguasai program komputer, tapi justru mewawas pada gejolak teknologi yang memengaruhi kultur mendesain di arsitektur. Akan ada ambang batas toleransi penggunaan digital sebagai alat desain bagi setiap orang dalam memperkaya jalinan proses kreatifnya. Sebab teknologi akan selalu berkembang maju secara eksponensial, kita tak akan sanggup mengimbangi itu selamanya. Yang mampu tertangani adalah adaptifnya pemikiran seseorang pada perubahan itu. Dan ini keniscayaan buat para cendekiawan yang masih ingin terus eksis di masa depan untuk berkarya. Terasa egois, tetapi sungguh digitalisasi sepertinya menjadi syarat berbudaya di masa ini. Seperti makin nyamannya bagi sebagian besar generasi muda untuk mengirimkan teks alih-alih berbicara di telepon. Padahal kadang begitu mengesalkan tatkala jemari terlalu lambat mengetik, iya kan! Kini tersaji pergeseran berkomunikasi, yang di arsitektur serupa berbahasa itu. Kita dipaksa beralih ke ketidaknyamanan selain menemukan simpul hub yang tepat.

Tidak hanya yang awam saja yang merasa terusik dengan persoalan dinamika digital di arsitektur itu. Saya pun yang telah beberapa tahun mempelajari ranah ini di arsitektur, juga dihadapkan pada kondisi yang sama. Setidaknya di Indonesia, kita sebagian besar sudah akrab dengan istilah Artificial Intelligence (AI) & Machine Learning (ML). Sekiranya setelah ini kita akan semakin sadar. Terkadang, tidak mengetahui sesuatu akan lebih menenangkan. Meskipun secara insting manusia akan merasa takut pada apa yang tidak diketahuinya. ML sampai saat ini masih sangat mencengankan buat saya. Bila dieksploitasi secara masif maka tidak terpikirkan banyaknya aktifitas dalam proses desain akan selesai dengan sendirinya karena mesin. Dan kita bersama bisa menebak peran masing-masing dalam proses itu akan bagaimana tergantikan. Sudah sangat banyak buku populer yang membahas bagaimana AI akan memberikan disrupsi pada sendi-sendi kehidupan manusia, khususnya yang menggantungkan pada kecepatan, output berulang, dan perihal yang menuntut kualitas industri lainnya. Semuanya perlahan akan diambil alih mesin meskipun sebenarnya turut memunculkan potensi pekerjaan baru. Yang belum banyak dibicarakan sebenarnya adalah bagaimanakah persoalan proses kreatif akan ditangani selanjutnya oleh manusia ketika teknologi AI mencapai potensi kreatif optimal? Yang kita yakini sebagai salah satu dari sekian keutamaan manusia. Akankah profesi arsitek lenyap? Saya tidak akan berspekulasi sedramatis itu meski skenarionya bisa saja terjadi secara logis dengan merujuk pada pekerjaan seni dan kreatif lainnya. Sejauh ini saya lebih memperhatikan bagaimana arsitek/tur beradapatasi pada perubahan proses mutakhir itu daripada resisten. Selayaknya kita sudah mulai menerawang spektrum arsitekur berikutnya. Karena yang ada saat ini hanyalah noktah-noktah saja di luasnya lembar-lembar pengetahuan arsitektur yang turut bertambah. Dan nyatanya riset AI pun di ranah keilmuan arsitektur sementara ini masih terbatas.

“arsitektur selalu terlambat untuk mengadaptasi teknologi.”

Dibandingkan dengan bidang lainnya, arsitektur selalu terlambat untuk mengadaptasi teknologi**. Tidak terkecuali persoalan AI. Tidak bermaksud memberatkan pencernaan pembaca, buku teoritik arsitektur terbaru berfokus AI dan desain arsitektur (sejauh yang bisa saya capai) baru ditulis oleh Neil Leach di tahun 2021, berjudul Architecture in the Age of Artificial Intelligence — An Introduction to AI for Architects. Meskipun sudah banyak publikasi jurnal atau buku lain yang mendahuluinya. Semisal tulisan Molly Wright Steenson dalam Architectural Intelligence (2017) yang membicarakan dinamikanya dengan menggunakan linimasa paradigma teori arsitektur digital. Akan tetapi tulisan Neil Leach lebih memberikan sebuah pengantar mudah pada para pemerhati atau akademisi di arsitektur atas perkembangan AI yang secara spesifik memberikan pengaruh penting pada perubahan bagi masa depan arsitektur. Kompilasi dalam satu pemikiran kritis ini yang belum banyak tersaji. Tulisan tersebut akan memantik pemikiran terkait hadirnya batasan-batasan baru yang telah dilampaui mesin atas manusia, namun di satu sisi sebenarnya membuka peluang baru untuk mendefinisikan arsitektur. Khususnya bagi para perancang yang mudah akrab dengan komputasi. Bukannya intimidatif, sejatinya para pelaku arsitektur yang sudah berkiprah di era sekarang akan menemukan kendala dalam mempelajari AI. Karena sejak kemunculan arsitektur yang mendasarkan pemahamannya pada logika, pendekatan dan metode tersebut tidaklah menjadi praktik luas dan umum***. Menengok paling dekat dalam departemen Arsitektur ITS, pelajaran Kalkulus adalah momok. Terlalu detail rasanya membahas hal-hal lain yang terkait di tulisan ini.

Mungkin terlalu jauh melompat ke penerapan AI di arsitektur, sementara optimasi alat desain yang ada sekarang dan jamak digunakan, pun masih belum memadai dilakukan. Sudah menjadi asumsi generik mahasiswa (setidaknya di kampus Arsitektur ITS) jika perancangan dengan komputer akan menghasilkan objek alien, tidak kontekstual, eksperimental, dan cenderung tipikal style arsitek tertentu. Perspektif seperti ini yang membuat atmosfir arsitektur digital itu tak pernah nyaman. Komputer adalah alat mendesain namun juga sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi partner berpikir seorang perancang. Bila selama ini komputer hanya digunakan sebagai alat memindahkan data analog ke layar maka itu tidak akan berbeda seperti pena dan kertas kalkir saja. Padahal kemampuan untuk memberi lapis demi lapis data tak terbatas pada sebuah objek dalam layar, sebagai kelebihan komputer untuk alat bantu berpikir, yang sebenarnya membantu seorang perancang memperoleh wawasan baru terkait pengembangan idenya. Belum lagi bila dimanfaatkan sebagai alat generatif ide, karena seorang perancang lantas memiliki kemampuan untuk melihat hasil rancangan dalam berbagai opsi dengan kecepatan lebih unggul dibanding analog. Kekhawatiran mahasiswa pada kebutuhan hardware dan software menjadikan pendayagunaan komputer menjadi awal yang tidak menyenangkan pula, dan justru membatasi diskursus bagaimana seharusnya komputer bisa berguna meski dalam setiap keterbatasan yang dimiliki perancangnya.

Dengan kompleksitas yang dimilikinya, lantas untuk siapakah arsitektur digital? Apakah mahasiswa-mahasiwa yang memiliki kompetensi mumpuni saja yang layak atau yang telah menemukan jalan terangnya di arsitektur? Sebagai pengajar di bidang ini, saya sama sekali tidak ingin memberikan “label digital” sebagai sesuatu yang ekslusif di departemen Arsitektur ITS. Walaupun sampai sejauh ini, mata kuliah-mata kuliah ini adalah pilihan dengan berbagai macam level dan kategori. Setidaknya ada lima mata kuliah terkait yaitu Arsitektur Digital, Perancangan Algoritmik, Fabrikasi Digital, serta BIM 1 dan 2. Rasanya agak mengkhawatirkan menjadikan beberapa diantaranya sebagai mata kuliah wajib di masa depan tanpa banyaknya tenaga pengajar yang membantu. Terlebih lagi bila keterasingan itu masih terlalu terasa. Dan tak ingin juga bila kelas-kelas seperti itu pada pelaksanaannya justru didominasi tutorial dengan software. Mengingat perkembangan teknologi yang semakin cepat, membuat pengetahuan praktis terkait software pasti akan usang cepat atau lambat. Sehingga pengetahuan konsep dalam setiap mata kuliah inilah yang menjadi poin penting untuk disampaikan. Tentu saja pengetahuan praktis terkait software tertentu tetap dibutuhkan sebagai kemudahan. Karena strategi dengan tambahan tutorial masih menjadi akselerator setiap topik agar bisa dievaluasi dengan baik ketercapaiannya. Dahulu pun sempat dilakukan tutorial rutin dan diskusi-diskusi bebas di luar kelas. Tampaknya, metode seperti itu yang malah menggiatkan mahasiswa untuk mengadaptasi ke dalam tugas-tugas studio mereka, dan menumbuhkan kemandirian eksplorasi-eksplorasi yang menarik.

Akhirnya, tulisan ini sebenarnya tak berupaya memberikan sebuah eksposisi pada siapapun agar tertarik pada arsitektur digital. Melainkan ini adalah sebuah refleksi dan langkah kecil saja dalam merespon fenomena yang saya sebutkan di pembukaan. Bahwa untuk menjadikan arsitektur digital lebih akrab di kampus Arsitektur ITS, tulisan ini menjadi pemantik saya pribadi dan rekan lainnya dalam mengkomunikasikannya sebagai bahasa yang lebih populer. Atau semoga bisa menggeliatkan kembali aktifitas Lab Komputasi yang sudah matisuri. Telah bertahun-tahun lewat ternyata, saya abai menajamkan pikiran dan logika di papan ketik ini.

Catatan:

*Konteks ini mohon tidak dipahami secara dangkal bahwa mahasiswa kami umumnya anti pada penggunaan software gambar. Ranah arsitektur yang dimaksud adalah persoalan komputerasi vs digitalisasi yang dipaparkan oleh Kostas Tersidiz dalam bukunya Algorithmic Architecture (2006).

* *Keterlambatan arsitektur mengadaptasi teknologi disinggung oleh Mario Carpo dalam bukunya berjudul The Second Digital Turn: Design Beyond Intelligence (2017).

***Kemunculan tulisan terkait Pattern Language oleh Christopher Alexander (1977) yang memberikan cara pandang baru dalam melihat potensi desain sebagai sesuatu yang logis. Hal ini sejalan dengan perkembangan komputer di masa itu.

--

--

Fahmi Muchlis
Gelagar
Editor for

Dosen, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember