Arsitektur Nusantara : Belajar dari Klepon

Fahmi Muchlis
Gelagar
Published in
4 min readJul 22, 2020

(12 Januari 2019)

Minggu kemarin saya sempat berkunjung ke Malang bersama kawan sejawat dan keluarganya. Dia menawarkan untuk membawa pulang buah tangan jajanan khas Malang, sebuah kue Klepon Roll. Agak aneh buat saya ketika melihat jajanan ini karena imaji klepon sungguh jauh berbeda. Yang ada di depan saya lebih terlihat layaknya kue bolu. Tapi orang masih menyebutnya klepon. “Bagaimana bisa orang menyebut ini klepon?”, batin saya. Dengan pengamatan sekilas, saya dapat melihat bentuk penyajiannya sungguh berbeda. Tak ada imaji butir bola-bola dengan hiasan parutan kelapa. Kalaupun ingin mengatakan kedekatan visualnya ada pada warna hijau berselimut putih beserta lapisan unti kelapa yang terlihat dari potongannya. Presentasi yang cukup layak diterima namun persoalan rasa otentik masih menyisakan ragu buat saya sebelum mencicipinya. Kue tetaplah tentang rasa!

Saya mencoba mencari tahu sejauh mana resep keduanya berbeda. Klepon tradisional berbahan dasar tepung beras dan ketan; kelapa; dan gula merah. Dan ternyata Klepon Roll menggunakan bahan dasar terigu; telur; santan; kelapa; gula; dan gula merah (beserta tambahan lain). Bahan dasar ini membuat pengolahannya juga berbeda. Klepon Roll tidak direbus tapi dipanggang. Hasilnya membuat tekstur Klepon Roll seperti bolu yang lembut sementara klepon tradisional agak kenyal. Bentuk bola-bola kecil klepon tradisional tentu bertujuan agar kue ini dapat matang dengan baik dan mudah sekali lahap. Sementara Klepon Roll dipanggang dalam bentuk silinder besar dan penyajiannya akan diris. Kedua kue ini menampilkan estetika khas dan mampu menggugah selera. Klepon-klepon ini dibalur dengan parutan kelapa meski yang roll lebih layak disebuk serbuk.

Yang khas dari klepon tradisional menurut saya adalah sensasi yang oxymoron. Ada tekstur kasar dan licin di saat bersamaan, serta rasa tawar kulit dan manis ketika gula merah yang tersembunyi di dalam klepon melumer di lidah. Klepon Roll lebih terasa lebih lugas untuk menyampaikan rasa manis dari awal hingga akhir tanpa jeda saat dilahap. Teknik menggulungnya memberi lapisan-lapisan tekstur dan rasa. Sepertinya ini tidak ditujukan untuk lidah melainkan visual yang menarik. Bagian visual dan sensasi instan ini sungguh sangat modern buat saya. Meski mengetahui keduanya memiliki perbedaan bahan yang fundamental, kedua kue ini meninggalkan cita rasa yang mirip buat lidah saya. Enak!

Klepon tradisional dengan Klepon Roll saya anggap sebagai perubahan progresif. Kedua kue memiliki perbedaan bahan dasar tapi memiliki keserupaan rasa. Dugaan saya adalah rasa manis dan gurih kelapa sangat menonjol menggungguli rasa khas terigu dan beras. Sebuah kepiawaian yang terkadang kita tidak seketika menyadarinya. Cobalah kita perhatikan tekstur dan bentuk tadi yang hadir sebagai sesuatu yang lebih mudah berubah tapi di sisi rasa kelapa dan gula merah tetap terjaga keasliannya. Kelapa dalam bentuk santan cair dengan mudahnya berpadu dengan terigu karena tekstur tepung beras dan terigu adalah sama. Beberapa diantara kita mungkin akan berpikir bahwa bentuk butir bola dan silinder itu terlalu jauh dan merusak identitasnya. Pada bagian ini saya justru memuji sebab dalam ilmu matematika modern, topologi geometri antara bola dan silinder Klepon Roll itu bisa dikatakan sama (bagian tengahnya memang berongga, namun kita bisa menganggap itu berasal dari bentuk kulit yang pipih lalu menutup sempurna). Silinder ini adalah persegi yang digulung sementara geometri bola akan dengan mudahnya ditekan untuk menjadi bentuk kotak yang pipih. Olahan kelapa maupun gula aren pun tak kalah menarik, bagaimana bahan alami ini diolah lalu mengalami perubahan kimiawi yang memperkaya cita rasa, tekstur dan zatnya.

Kue adalah tentang rasa, sementara tekstur dan warna gula bisa tersembunyi atau bercampur, rasa manis khas gula aren tak tergantikan. Orang kebanyakan mungkin akan setuju kalau kelapa ini menjadi (salah satu) resep kunci dari rasa asli kue Indonesia. Secara historis pun, kelapa diasumsikan berawal dari sekitar pantai Samudra Hindia. Kue klepon juga ditemukan di kampung saya- daerah Bugis (meski penyebutannya adalah Onde-Onde). Ini bisa berarti bahwa terdapat kemiripan tempat sehingga tidak sengaja menemukan resep yang sama atau pengetahuan yang tersampaikan dari seberang pulau ke pulau lain, entah dari mana asal mulanya. Layak sepertinya untuk mengatakan klepon sebagai salah satu tipe dari kue tradisional Indonesia dengan kelapa sebagai DNA-nya. Meskipun kita juga menemukan kelapa dalam masakan negara lain, namun melihat perspektif lokasi; lokalitas; dan kepiawaiannya, rasanya argumen ini lantas cukup bisa diandalkan. Hal inilah yang membuat klepon sebagai kapsul waktu bagi sebuah “desain pangan” yang mencirikan Indonesia.

Dengan pemahaman ini sulit bagi saya pribadi menolak kejeniusan klepon, entah itu melihat wujud klepon sebagai sebuah “desain” yang mampu berevolusi maupun orang yang berkreasi dibalik kebaruannya. Dan karena digelitik oleh hal seperti ini pula saya kembali mempertanyakan di pengetahuan arsitektur Nusantara yang selalu saya coba ingin dekati dalam konteks desain, bagaimanakah seharusnya saya memandang arsitektur Nusantara dalam konteks kebaruannya? Apakah mungkin saya harus membedahnya seperti klepon di atas, melacak akar estetisnya, menggunakan bahasa geometri, mendekatinya dari makna? Bisakah menjaga penjelajahan itu tetap berada di dalam ke-Nusantara-an?

Sudah beberapa tahun ini saya berusaha menenggelamkan benak saya pada arsitektur Nusantara dari lensa desain yang progresif, berusaha memahami bagian kecilnya dari geometri dan komputasi. Pada akhirnya, desain arsitektur Nusantara seperti ini buat saya pribadi adalah jalan sunyi, mungkin belum tentu mengarah pada titik yang benar…tapi setidaknya saya tahu sampai saat ini masih melangkah dan sementara itu yang mungkin lebih berarti.

***

Tulisan ini dibuat setelah mengunjungi Professor Josef Prijotomo di Rumah Sakit RKZ Malang, bulan Januari 2019. Kebetulan pada saat itu kami juga berdiskusi menyinggung DNA arsitektur Nusantara. Sebelumnya, rekan sejawat saya mengajak mampir membeli jajan klepon, dan kepikiran hal sesederhana ini. Pemikiran ini sama sekali belum tersampaikan di kala itu. Sebagai tulisan utuh pun sebenarnya belum selesai.

--

--

Fahmi Muchlis
Gelagar
Editor for

Dosen, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember