DISRUPSI ARSITEKTUR ABAD 21: Pasca Pandemi di Era Digital

Fahmi Muchlis
Gelagar
Published in
6 min readSep 29, 2020

Sudah kita ketahui bersama bahwa pandemi bukanlah sekali ini saja telah terjadi dalam sejarah umat manusia. Dan dampak dari pandemi dalam segala lini kehidupan manusia tentu saja tak terelakkan. Arsitektur menjadi kapsul waktu bagaimana kondisi itu bisa dilacak. Dan menarik ternyata respon arsitektur tidaklah terjadi dalam seketika. Ada masa transisi yang cukup jelas hingga kita mampu melihat transformasi itu secara nyata. Baik itu dari bagaimana gagasan kontekstual dihadirkan sampai pada respon yang spekulatif bersama gejolak yang menyertainya. Arsitektur sebagai artifak adalah sebuah sejarah dari upaya manusia untuk mengungkapkan manifestasi ide dalam benaknya bagi masa depan.

Dalam dinamika perkembangan arsitektur secara global, gambar selalu eksis sebagai medium yang digunakan untuk menyampaikan gagasan agar dapat dipahami oleh orang lain. Namun mungkin juga eksis sebagai persoalan arsitektur itu sendiri yang lebih kompleks. Gambar adalah perantara bagaimana arsitek dan pembangun berkomunikasi. Meski di tahap tertentu desain bisa saja berakhir di atas gambar, namun proyeksi ide dalam memenuhi aspek-aspek formal dari arsitektur/bangunan adalah tetap utama. Mengambil lini masa hingga beberapa ratus ke belakang, kita akan melihat bahwa ada beberapa masa di mana medium penyampaian gagasan ini secara signifikan ‘mempengaruhi’ atau ‘dipengaruhi’ dan menghadirkan dampak pada paradigma arsitektur secara fundamental.

***

1

Hingga masa awal abad ke-20, style adalah pendekatan yang lazimnya dilakukan oleh arsitek dalam merancang. Akan mudah bagi semua orang untuk merujuk perubahan-perubahan rupa yang terjadi di hingga di masa itu sebagai sebuah pengembangan dari arsitektur Yunani Klasik. Semangat arsitektur klasik adalah komposisi yang indah nan proporsional bagi manusia. Sehingga seni dan bangunan adalah sesuatu yang saling melekat baik sebagai hasil maupun prosesnya. Penemuan gambar perspektif Leon Battista Alberti di tahun 1435 adalah titik penting dalam sejarah karena muncullah inovasi pencitraan gagasan di atas medium dua dimensional (kertas, kanvas, dll). Gambar harus dipahami pula, bahwa kemampuan proyeksi di atas kertas menjadikan arsitektur memiliki wajah dalam citra yang dua dimensional. Kalaupun ingin ada kesan tiga dimensional maka unsur-unsur figuratif dan dekorasilah yang dimainkan. Karya-karya arsitektur klasik dapat lebih mudah dipahami secara logis sehingga membuka kesempatan pada pengembangan rancangan yang baru termasuk ke teknologi konstruksi. Hubungan arsitek dan pembangun memiliki jarak yang relatif tidak begitu dekat dalam prosesnya. Sebab kita sadar bahwa pembangun hanya akan bekerja dengan gambar yang dibuat oleh arsitek.

Di akhir abad ke-19, karya-karya Gaudi menandai kejeniusan yang melampaui zamannya. Bila menyandingkan sepenggal sejarah sebelumnya dengan yang dilakukan Gaudi, maka perbedaan signifikan adalah pada semangat arsitektur yang digaungkannya. Gaudi tidak menggunakan semangat kelanjutan style dalam menemukan gagasan arsitekturnya melainkan cara kerja yang mekanikal. Serangkaian eksperimen Gaudi adalah untuk memahami cara kerja gaya terhadap material yang dipilihnya. Dari sinilah kebangkitan style yang berbeda dari zamannya. Proses rancang dan membangun merupakan hubungan dekat bersama dengan arsitek dan pembangunnya. Medium komunikasi yang dikembangkan Gaudi bukanlah gambar tapi sebuah prototype. Karakter proyeksi gambar di era itu coba disandingkan dengan citra yang lebih tiga dimensional. Sehingga produksi sebuah medium melibatkan banyak pihak, dari pembuatan model skala 1:1 hingga penyesuaian di lapangan. Kolaborasi pada era ini menjadi signifikan menandai puncak Revolusi Industri 1.0 di akhir abad ke-19.

2

Awal abad ke-20 adalah gejolak pandemi dunia. Meskipun sebelum akhir abad ke-19 wabah mulai menghantui dalam berbagai aspek kehidupan manusia namun arsitektur sepertinya masih jauh dari pengamatan itu. X-Ray yang ditemukan pada tahun 1985 oleh Wilhelm Conrad Roentgen, memberikan akselerasi pada penanganan wabah dan riset yang terkait dengan hal tersebut. Arsitektur yang dirancang dalam menangani para pasien yang terkena wabah pada akhirnya bertransformasi, jauh berbeda dengan akhir abad ke-19. Pada tahun 1920-an, Richard Neutra mulai memperkenalkan rancangan yang ditujukan demi gaya hidup sehat, merujuk pada konsep sanatorium yaitu menampilkan ekspresi polos; bersih; dan modern. Menjadikan alam sebagai penyembuh; menggunakan sinar matahari sebagai integrasi desain yang utama; dan manusia selalu lebih dekat dengan alam. Meskipun tampaknya hadir sebagai sebuah pertentangan style namun arsitektur di era ini sungguh menggunakan paradigma yang berbeda dari arsitektur era sebelum 1900-an. Kondisi dunia di saat itu mendorong arsitek-arsitek lain mempreposisikan hal yang serupa dimana aspek kesehatan adalah yang utama. Tokoh-tokoh seperti Le Corbusier dan Mies van de Rohe adalah pionir yang memberikan pengaruh ini secara global.

Hal lain yang menarik, kondisi perang membuat industri di saat yang sama juga bergejolak. Dalam kondisi inilah kita melihat warisan dari style “kesehatan” itu menjadi bergeser sebagai sebuah bagian kultur produksi desain. Tampilan arsitektur yang sangat fungsional merepresentasikan industri, mudah diduplikasi dan replikasi; modularisasi adalah strategi yang sangat tepat. Sehingga gambar cetak biru (telah dipakai dalam industri dan teknik) adalah medium untuk merepresentasikan “industri”. Proyeksi gambar geometri yang presisi membuat orang-orang akan lebih nyaman untuk memproduksi massal konsepnya. Ciri seperti ini tampaknya memberikan dampak ke konteks global sebagai sebuah mesin propaganda. Kemajuan industri arsitektur adalah representasi dari dominasi kekuatan negara. Sama halnya sebagai sebuah produk komersial. Tengoklah di Indonesia yang merangkul ini ketika pasca-kemerdekaan.

3

Pasca perang di era 1960/1970-an hadir gelombang perubahan baru dalam arsitektur. Kebebasan dalam berekspresi adalah semangat baru yang menggejolak di segala hal baik itu sosial, ekonomi, budaya, serta pengetahuan dan teknologi. Karya-karya teoritik arsitektur sejalan dengan perkembangan filosofis Postmodern. Manifesto personal banyak mengemuka sehingga kecintaan pada identitas diri, komunitas, atau kelokalan semakin menguat. Spekulasi dalam berbagai hal menjadi hal yang lumrah seiring semangat kebebasan yang berkembang menuju pada sebuah mimpi bahkan utopia. Karya-karya arsitektur muncul ekspresif dan sangat variatif dan tidak mudah mengelompokkannya. Archigram, Superstudio, Kenzo Tange dan tokoh-tokoh penting lainnya pada masa itu, menggiring arsitektur pada spekulasi inovatif yang tidak terbendung. Tidak ada batasan medium dalam menyampaikan gagasan karena semuanya berada dalam euforia yang sama menuju inovasi. Kemudahan untuk dikomunikasikan adalah teknik yang digunakan asal gagasan itu bisa ditangkap secara luas.

4

Penggunaan masif Personal Computer komersil di awal 1990-an mengubah drastis proses arsitektur dari titik awal ide menuju titik akhir terbangun. Computer Aided Design mendukung kelanjutan semangat inovasi 1960-an yang diperkaya oleh semangat era arsitektur industri 1950-an. Kita akan menemukan gairah ekplorasi bentuk dari era Postmodern sekaligus menjadikannya sebagai produk industri. Medium digital adalah dimensi baru bagi para arsitek dalam menyampaikan gagasan secara cepat. Kecepatan adalah persoalan penting dalam industri. Komputer juga mampu menghilangkan dimensi skala, proses interatif dalam form-finding, termasuk proses mengulang dan menduplikasi. Namun cara kerja inilah yang membuat teknik ‘copy-paste’ berada dipersimpangan untuk disukai dan dibenci. Gambar digital mampu memperkaya proses desain sekaligus membuka gerbang bagi kerja berpikir yang kolaboratif dan simultan berada dalam satu medium gambar.

5

Arsitektur memasuki fase kedua dalam arsitektur digital seiring berkembangnya Revolusi Industri 4.0. Bila komputer pada fase pertama adalah sebuah alat dalam membantu memproses produk gambar desain maka perkembangan internet dan Artificial Intelligence membawa ke sesuatu yang lebih jauh. Komputer adalah partner dalam berpikir sebab proses desain bukan hanya tentang ‘digitalisasi’ ide tapi juga ‘komputerisasi’. Digitalisasi adalah memindahkan apa yang ada di benak perancang ke atas layar. Gagasan perancang adalah informasi untuk komputer, sehingga bisa berupa tentang outline sebuah denah, hingga ke data program dan luasan. Dalam proses ini, informasi akan terus ditambahkan dan disesuaikan hingga hadir bentuk final. Komputer hanya merekam aktifitas tersebut sebagai data yang bisa dilacak. Yang sering dicapai dengan perintah Undo atau Save. Sementara komputerisasi adalah tentang berhitung. Bagaimana perintah yang dimasukkan ke mesin komputer dapat diperhitungkan dan dibangkitakan dalam banyak versi peluang. Komputer mampu melakukan spekulasi melalui variabel dan langkah-langkah logis yang dimiliki perancang. Representasi arsitektur adalah tentang dunia digital dimana realitas bisa ditambahkan dengan teknologi dan kadang meniadakan gravitasi. Di level ini kita akan mendapati medium representasi gagasan adalah skala 1:1 yang semu. Dan tentu saja membuat proses merancang adalah pengalaman eksperimen spasial itu sendiri di dalamanya secara langsung.

***

Kehadiran pandemi dalam kehidupan saat ini mungkin bisa terbaca sebagai sebuah siklus yang berulang. Namun menjadi pertanyaan besar bagaimana arsitektur menghadapinya. Menyandingkan konteks di era awal 1900-an, kehadiran revolusi industri 4.0 tentu membawa dampak yang berbeda pula. Apakah arsitektur merespon dengan seketika seperti yang muncul di awal arsitektur Modern? Ataukah ada pandangan yang berbeda sebab dengan cukup jelas, internet dan komputer serta teknologi lain yang bersamanya adalah sebuah perkembangan dimana teknologi itu sendiri yang menjadi pusatnya. Arsitektur Modern bergerak dalam dimensi yang kompleks bersama gejolak yang menyertai di setiap masanya. Sementara manusia telah dipaksa untuk mengubah semua standar sesuai yang diharapkan dari sebuah peningkatan mesin. Namun di dekade terakhir, masyarakat global mulai menyadari bahwa pada akhirnya teknologi adalah untuk kebaikan dan keberlanjutan kehidupan manusia yang lebih baik dan inilah yang membawa kita pada perubahan Society 5.0. Manusia telah memperluas dimensi pergaulan sosial, eksplorasi konten untuk memperkaya pikirannya, sampai mewujudkan sebuah manifestasi. Semua hal coba dikembalikan kepada manusia sebagai pusatnya. Batasan-batasan baru akhirnya harus muncul dan bersinergi. Mendefiniskan ulang bagaimana segala hal harus berinteraksi dan terkoneksi. Dan kita sampai di masa di mana arsitektur tak terdefinisi secara jelas arahnya. Kecuali bagi dia yang memutuskan pencariannya dalam lensa yang lebih sempit namun meneropong jauh ke depan. Menjadi debu kosmik di tengah alam semesta.

--

--

Fahmi Muchlis
Gelagar
Editor for

Dosen, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember