Perempuan Ketiga*

Fahmi Muchlis
Gelagar
Published in
3 min readOct 28, 2020

Basyasyah Nabilah | Studio Perancangan Arsitektur 4 - 2019/2020

Sampul depan buku cerita bergambar yang dijadikan sebagai format presentasi arsitekturnya.

Ulasan kali ini mengangkat isu komunikasi dalam keluarga. Ada konteks yang lebih spesifik, dimana perancangnya menggarisbawahi hubungan antara perempuan lansia dan keluarganya yang berada di kampung Ketandan. Menua sendiri dan terlupakan, sementara kampung tidak mampu berbuat apa-apa terhadap permasalahan itu. Mungkin bagi pembaca yang mengikuti seri awal dapat menemukan keterkaitan dengan topik film Darjeeling Limited. Perancang berusaha memperkaya benaknya dengan film-film lain yang memiliki topik serupa. Dan itu menjadi modal yang penting diproses setelahnya.

Dalam kacamata yang digunakan Abas untuk memahami konteks, perempuan tidak diposisikan sebagai gender. Tidak ada isu peran membesarkan anak-anak dan berkarir, apalagi tentang agenda feminisme. Yang dia coba pahami adalah keadaan emosional perempuan usia lansia, bahwa mereka butuh berkawan dengan masa lalu untuk menjaga hari esoknya tetap ada. Para lansia ingin bersama koleksi memorinya agar dia memiliki hadiah bagi orang lain. Masa lalu memprovokasi orang untuk berbuat sesuatu di masa depan. Sementara memori tertentu adalah pelajaran pengalaman bagi orang lain. Dia melihat kodrat manusia tidak menjadi sendiri, mereka akan selalu memberi.

Dari sini, saya lantas menyarankan untuk menggunakan dirinya pribadi untuk memahami situasi arsitekturalnya. Perasaan dan pikirannya adalah set terbaik untuk masuk ke dalam dimensi konteks secara paripurna. Dia mampu memproyeksikan dirinya berada di masa lalu dan masa yang akan datang. Memahami situasi dari berbagai sisi dan usia. Memanggil kembali ingatan, bagaimana arsitektur membantunya belajar hal-hal tersebut.

Tapi,…Abas justru memasuki rancangnya secara canggung. Pilihan untuk menentukan arah tujuan merancangnya menjadi konflik batin tersendiri. Saya menangkap kebingungan tatkala pemahaman kepekaan perasaan dan benak semestinya harus berjalan seiring agar membuahkan respon tepat. Ada luapan ide yang tidak terbendung, ketika ia mengetahui sisi personal seorang perancang dan obyeknya justru bisa hadir dan bertaut penuh emosional. Di saat itu tiada abstraksi yang bisa dikemukakan, semua idenya masih berupa jalinan kusut, berbagai aspek yang dia rangkul belum berpadu sesuai yang diharapkan. Karena pengalaman merancang yang dia miliki terlalu logis, tautan emosional itu tak mudah menyatu.

Jalan yang saya sarankan untuk keluar dari kondisi ini adalah memulai gambar konsep. Sebuah format kolase yang substansinya lebih imajinatif dan terbebas dari diksi arsitektur. Tahapan ini juga mungkin kali pertama bagi dirinya, tidak tahu apa yang harus disajikan dan bagaimana memulainya. Saya justru semakin yakin, kali pertama itu akan menghasilkan sesuatu yang lebih jujur sehingga tidak ada alasan untuk ragu, salah, dan jelek. Dia hanya butuh fokus untuk mengilustrasikan semua benang kusut dalam benaknya terkait konteks itu. Walau hanya imaji fragmen bukanlah jadi persoalan. Karena peran saya di situ adalah membantu menginterpretasi agar mudah mencerna.

Distorsi gambar arsitektural.

Di luar ekspektasi saya, kolase preview Abas adalah satu ilustrasi berjudul “Sight of Pluto of My Kampung”. Ada narasi yang sangat puitis di sana dengan didukung oleh gaya ilustrasi yang sangat khas, sebuah gambar imajinasi anak-anak. Kualitas arsitekturalnya tetap terlihat meski 3d model digitalnya digambar ulang secara manual di iPad. Gambar modelnya telah terdistorsi agar sesuai konteks buku cerita anak. Baik substansi dan penyajiannya dihadirkan penuh makna. Di sinilah saya tahu, buku cerita ini telah menjadi persentuhan awal anak-anak terhadap pengetahuan arsitektur secara bersahaja. Abas telah merangkum seluruh gagasannya dengan sangat baik, tak butuh penjelasan lebih panjang lagi untuk menikmatinya.

Mengimbuhkan narasi untuk membentuk presentasi arsitektural yang utuh.

*)Isi ulasan ini adalah potongan dari terbitan serial “GELAGAR Studio Perancangan Arsitektur 4 : Sinematik” di 2020. Beberapa ulasan lain akan mengisi publikasi online ini.

--

--

Fahmi Muchlis
Gelagar
Editor for

Dosen, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember