Business Idea Validation dengan Prinsip Service Design
Merancang Layanan Edukasi Online Pra-Pandemi (2019)
Pertama-tama, apa itu Service Design?
Secara harfiah, terjemahan Bahasa Indonesianya adalah Rancangan Jasa. Seperti halnya produk atau software, layanan (service) juga tentunya harus dirancang supaya menyelesaikan permasalahan pelanggan dan memenuhi kebutuhannya dengan memuaskan (delightful).
Mengapa Service Design?
Mari kita ambil persepsi bisnis: Bayangkan Anda harus membuat suatu gebrakan untuk bisnis Anda; presentasi konsep bisnis Anda sudah keren, namun tiap kali meeting dengan para rekan dan atasan Anda, bahasannya masih seputar ide-ide liar dan sepertinya tidak juga kunjung membahas strategi implementasinya.
Dengan pendekatan Service Design, Anda bisa mengefektifkan tenaga Anda dengan segera; kita bisa menguji untuk memahami apakah konsep layanan baru ini layak untuk dikerjakan atau tidak, sebelum menggelontorkan modal untuk implementasi lebih jauh seperti membangun toko, memasang iklan atau membeli aset-aset lainnya.
Bagaimana dengan Business Model Canvas?
Service Design melalui “Service Blueprint” (akan dijelaskan di artikel lain) bisa menjadi langkah untuk menterjemahkan konsep bisnis ke tahap yang lebih praktikal.
Business Model Canvas adalah pemetaan strategi ide besar atau payung besar (The umbrella idea), sementara Service Blueprint adalah pemetaan praktikal yang mendetail bagaimana konsep bisnis tersebut diterjemahkan menjadi layanan, langkah per langkah.
Business Idea Validation Case Study: Mentify
Background
Pada kuarter akhir 2019, Giza Lab menemukan insights menarik bahwa terdapat untapped market untuk bisnis training UI UX Design di Indonesia, mereka adalah para UX enthusiast, UX Designer dan pekerja kreatif yang tinggal diluar kota Jakarta dan Bandung.
Konteks
Pada tahun tersebut yang populer adalah format training atau workshop on-site, dimana pada umumnya pelatihan atau workshop dilakukan di dalam satu ruangan yang sama.
(Masya Allah, karena pandemi saya ‘nggak percaya sekarang saya harus menulis definisi workshop seperti ini…)
Para peminat training atau workshop yang berasal dari luar kota Jakarta ini umumnya harus mengeluarkan biaya akomodasi dan transportasi tambahan yang lumayan tinggi tergantung jarak kota mereka ke lokasi training.
Sebelum pandemi COVID19, online training adalah format training yang tidak populer. Bahkan, konsep ini dipandang sebelah mata ketika kami presentasikan ke salah satu juri dalam suatu event Business Incubator Pitching.
Permasalahan
Daya beli target market untuk training on-site tergolong rendah untuk kota-kota domisili mereka, seperti Kota Malang, Yogyakarta, Surabaya dan lain-lain. Imbasnya adalah harga training yang dinilai layak bagi penyelenggara dan pengajar di Jakarta, menjadi terlalu mahal bagi mereka. Begitupun juga sebaliknya, jika besaran biaya training tersebut diturunkan, harga jualnya tidak bisa menutup biaya operasional pihak penyelenggara.
Pendekatan Solusi
Melihat permasalahan-permasalahan di atas, terbersitlah ide awal untuk mengoptimalisasi pendidikan online, namun dengan tamabahan bahwa experience belajarnya harus mirip dengan pendidikan secara on-site (offline) dengan harapan hasil pembelajarannya lebih melekat di kepala para pesertanya nanti.
Lantas bagaimana caranya? Kami menggunakan mindset Customer-centric dan metode-metode dalam Service Design untuk merancang dan menguji konsep training online ini.
Dalam prosesnya, kami menggunakan pendekatan siklus kontinyu seperti ini: Understanding → Defining → Prototyping → Validating → Prototyping → dst…
UNDERSTANDING
Tahap ini adalah tahap untuk mencari peluang pasar. Yang kami kerjakan pertama-tama adalah secondary research serta online survey. Kemudian berdasarkan data, kami memiliki hipotesa bahwa respon dari sampel untuk online training ini cukup untuk melangkah ke tahap uji coba.
DEFINING
Seperti yang telah dijelaskan di atas, kami telah mengumpulkan cukup respon untuk edukasi online ini, namun dengan catatan bahwa edukasi yang kami bayangkan bukan sekedar belajar secara pasif seperti menonton video, namun experiencenya harus sebanding dengan pengalaman belajar onsite.
Note: di kemudian hari, hal ini ada yang menggunakan istilah Live Online Class atau MiCC (Micro Community Class). MiCC ini sedang dipopulerkan oleh Alen Faljic, founder dari d.MBA.
Langkah selanjutnya dalam defining ini adalah bagaimana merancang eksekusi proses edukasi online ini. Oleh karenanya, kami menggunakan kanvas bernama Service Blueprint untuk memetakan bagaimana layanan online training ini harus dipersiapkan. Bagaimana customer facing-nya, bagaimana backend activity yang harus dipersiapkan dan sebagainya.
Defining Success Metrics
Untuk bisa mengukur apakah layanan yang kami rancang ini layak untuk dilakukan, kami harus mendapatkan jawaban dari pertanyaan:
- Bagaimana cara mengukur apakah online training ini diminati oleh target market? Tentu bukan sekedar survey “Yes/No”, namun buktinya harus terukur secara tangible.
- Bagaimana menguji proses layanan online training dengan Live Class ini dan mencari tahu potential problems sebelum training online dengan siswa/pelanggan sebenarnya.
PROTOTYPING
Dry Run
Melalukan simulasi dengan tim internal. Mencoba bagaimana training online bisa dikerjakan dengan seefisien mungkin.
Service Prototyping: Membuat Eksperimen Online Training
Untuk bisa menjawab Pertanyaan Kedua dari Success Metrics, kami harus membuat event nyata dan harus berbayar, karena berminat tidaknya customer adalah dari aksi dan komitmen nyata mereka yang dinyatakan dengan cara melakukan pembayaran terhadap event online ini.
Konsep prototyping-nya adalah dengan membuat acara online berbayar untuk para aspiring UX Designer yang sedang mencari kerja serta mahasiswa UX-enthusiasts.
Kami membuat event dengan 2 pertemuan: Pertemuan Materi & Mentoring (cek progress). Kami sengaja membuat dua pertemuan untuk menguji retention rate para customer. Dari jumlah awal pendaftar, kami memiliki asumsi apakah akan ada drop-rate yang terjadi setelah sekian pertemuan? Dan berapa persen drop rate-nya?
VALIDATING
Setelah sesi prototyping yang memakan waktu sekitar 3 minggu, kami mendapatkan hasil sebagai berikut: dari target 20 slot peserta, ada 15 orang (75%) yang mendaftar dan membayar Rp300.000 untuk total 4 jam pertemuan online.
Hal Yang Kami Pelajari
- Asumsi kami tervalidasi bahwa market untuk training desain, bisa dilakukan secara online terutama bagi customer yang jaraknya jauh. Mereka happy karena jadi memiliki jalan untuk belajar dan berinteraksi dengan mentor walaupun terpisah jarak.
- Di kemudian hari, kami menemukan bahwa online training pun diminati karena mengurangi jam commute.
- Perlu adanya recorded material sebelum pertemuan dimulai, karena memang waktunya terasa pendek dalam pertemuan tersebut.
- Pandemi datang, dan online class menjadi cara paling populer untuk tetap bergulirnya pendidikan di dunia.
- Menggunakan Service Blueprint & melakukan simulasi (Service Prototyping) memudahkan untuk trial & error layanan baru.
- Seperti juga product, layanan juga harus terus disempurnakan agar bisnis terus berjalan. Oleh karenanya Pengalaman Layanan (Service Experience) harus terus ditingkatkan. Service Blueprint pun harus terus diupdate seiring waktu.
Punya konsep bisnis yang ingin divalidasi? Email ke info@gizalab.co