Collaborative Governance untuk Indonesia yang Berkelanjutan dan Berketahanan Iklim

Global FutureX
Global Future Insight
4 min readMay 6, 2024

Oleh Ghina Fadhilla

Kolaborasi merupakan suatu proses di mana seseorang atau sebuah instansi bekerjasama dengan pihak lainnya. Biasanya, kolaborasi dilakukan dengan harapan dapat menghasilkan dampak yang lebih luas dari suatu proyek. Kolaborasi dapat dilakukan dengan sektor instansi yang sama, misal sesama swasta, pemerintah, NGO dan lainnya.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, mulai berkembang bentuk kolaborasi lintas sektor yang disebut sebagai “Collaborative Governance”. Konsep ini muncul sebagai respon dari gagalnya implementasi kebijakan oleh pemerintah, salah satunya akibat kurangnya pelibatan sektor lain dalam upaya menyelesaikan masalah pembangunan.[1]

Mengambil salah satu contoh isu pembangunan di sebuah negara, isu stunting tidak akan bisa selesai apabila hanya melibatkan satu sektor instansi saja, karena tiap isu pembangunan memiliki keterkaitan dengan isu lainnya dan membutuhkan lembaga lain untuk mengumpulkan sumber daya seperti keahlian yang lebih mumpuni. Misalnya, untuk membahas isu stunting, negara tidak bisa hanya melibatkan Kementerian Kesehatan untuk menyelesaikan masalah ini.

Idealnya bagi negara untuk melaksanakan proyek pencegahan stunting, maka negara memerlukan kolaborasi lintas sektor, misalnya dengan NGO untuk penyuluhan bagi calon ibu agar memperhatikan asupan gizinya; dengan pihak swasta untuk fortifikasi makanan dengan gizi yang seimbang untuk mencegah stunting; atau dengan akademisi untuk melakukan riset mengenai rekomendasi solusi yang cocok untuk mencegah stunting yang disesuaikan dengan kearifan lokal suatu daerah maupun negara.

Selain kerjasama lintas sektor, keterlibatan dengan instansi di bidang lainnya juga perlu dipertimbangkan. Masih berkaitan dengan isu stunting, gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak ini juga berpengaruh dengan hal lainnya di luar layanan kesehatan, misalnya sanitasi. Akses terhadap air bersih bagi ibu hamil dan balita merupakan hal yang esensial untuk memastikan kesehatan dasar terpenuhi. Kemudian, lingkungan yang bersih dan bebas dari polusi udara, limbah padat maupun cair juga merupakan salah satu hal paling mendasar untuk memastikan kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang balitanya.

Photo by Gallery DS on Unsplash

Dari beberapa contoh ini, dapat dilihat bahwa selain bekerjasama dengan instansi lintas sektor untuk membahas isu pencegahan stunting, pemerintah juga harus bekerja sama dengan instansi di bidang lainnya, yaitu yang bergerak di isu sanitasi, lingkungan, dan lainnya.

Hal ini sejalan dengan konsep Health in All Policies (HiAP), yaitu sebuah pendekatan yang kolaboratif untuk mengintegrasikan faktor-faktor kesehatan dalam pembuatan kebijakan lintas sektor, dengan menitikberatkan bahwa untuk mencapai pembangunan kesehatan juga harus memperhatikan hal-hal di luar tingkat layanan kesehatan.[2] Dengan demikian, tujuan dari sebuah proyek pembangunan masyarakat dapat berjalan secara efektif dengan menjaring berbagai sumber daya dari instansi di sektor dan bidang lainnya.

Dari pengalaman bekerja secara profesional dan melakukan kegiatan pro bono di sektor pembangunan sejak menempuh pendidikan S1, lingkungan saya selalu menekankan bahwa dengan kolaborasi maka kita akan menghasilkan dampak yang lebih luas, dimulai dari bertambahnya jejaring, pendanaan, penerima manfaat, exposure dan lainnya.

Oleh karena itu kolaborasi dilihat sebagai salah satu indikator keberhasilan sebuah program. Saya pun sejalan dengan pendapat tersebut, karena dari pengalaman saya menjalankan kolaborasi di dalam organisasi, dapat melahirkan ripple effect yang bermanfaat yang tidak bisa digambarkan dengan nilai.

Namun, dari pengalaman-pengalaman kolaborasi tersebut pun semuanya tidak luput dari tantangan yang dihadapi. Sebuah kerjasama lintas sektor terdiri dari berbagai pemangku kepentingan dengan budaya yang berbeda, kepemilikan kuasa dan informasi yang asimetris, visi dan misi yang mungkin dalam beberapa hal bertabrakan, serta objektif program yang bisa saja ternyata tidak sejalan seiring dengan berjalannya kolaborasi.[3]

Melihat kembali pengalaman saya berkolaborasi dengan instansi lain, salah satu hambatan yang sering dihadapi adalah komunikasi dan birokrasi. Masalah komunikasi sering terjadi apabila satu pihak memiliki suatu ekspektasi, tetapi ekspektasi tersebut tidak disampaikan dengan jelas dengan pihak lainnya, sehingga hasil yang diberikan tidak sesuai dengan harapan dan memicu kekecewaan. Kemudian, birokrasi yang kaku juga dapat menghambat berjalannya suatu proyek, terlebih lagi dalam suatu kolaborasi yang dapat menimbulkan keberjalanan proyek yang kurang efektif.

Kedua hal tersebut sebenarnya dapat dihindari apabila setiap pihak, di awal perjanjian, dapat menyampaikan kondisi yang ada pada saat ini, ekspektasi yang diharapkan, dan menetapkan secara jelas batasan-batasan yang tidak bisa dilakukan. Namun, menurut saya hal-hal ini adalah kondisi ideal yang “easier said than done,” karena saat kolaborasi pun tiap pihak harus bisa berempati dan melihat sudut pandang dari berbagai perspektif.

Pembelajaran mengenai empati pada kolaborasi justru baru saya dapatkan pada program Collaborative Governance Bootcamp ini, meskipun saya sudah berkecimpung di NGO selama beberapa tahun terakhir dan telah melakukan berbagai kolaborasi. Pada kegiatan bootcamp ini, saya sangat tercerahkan dari sesi-sesi diskusi di mana saya bisa mendengarkan secara langsung dari rekan-rekan yang bergerak di sektor lain seperti pemerintah, swasta, akademisi, dan lainnya mengenai alasan dibalik sebuah aksi maupun reaksi yang mereka berikan dalam sebuah kolaborasi. Selain itu, saya juga dapat mengetahui dinamika yang dihadapi oleh pihak di berbagai sektor tersebut, di mana hal ini tidak selalu bisa didapatkan dari sumber bacaan maupun kolaborasi itu sendiri.

Kemudian, pada kegiatan ini, saya tergabung ke kelompok yang terdiri dari individu-individu yang berasal dari sektor yang berbeda, tetapi memiliki latar belakang profesional maupun pendidikan yang sama, yaitu energi. Dengan latar belakang saya yang dominan di bidang keberlanjutan lingkungan, saya senang karena dapat berdiskusi dan mendengarkan mengenai transisi energi, khususnya di Indonesia.

Dari pengalaman ini, saya percaya bahwa apabila ada sekelompok individu yang memiliki ambisi yang sama untuk membawa Indonesia ke masa depan yang lebih baik, entah itu dari segi energi, pangan, kesehatan, maupun sektor lainnya, saya yakin bahwa penerapan collaborative governance dengan komunikasi yang baik dapat menjadi sebuah wadah menuju Indonesia yang berkelanjutan dan berketahanan iklim.

[1] Douglas Wegner dan Jorge Verschoore, “Network Governance in Action: Functions and Practices to Foster Collaborative Environments”, Administration and Society, Vol. 54 №3, 2022, hal. 480.

[2] Ghina Fadhilla, “HiAP Innovation Bootcamp, Wadah Pegiat SDGs Wujudkan Kolaborasi Lintas Sektor”, (https://cisdi.org/artikel/wadah-pegiat-sdgs-indonesia, diakses pada 29 Maret 2024, 2024).

[3] Wegner dan Verschoore, Loc. Cit.

Profil Penulis

Ghina Fadhilla adalah Program Officer berdedikasi dengan pengalaman profesional dan sukarelawan lebih dari 6 tahun. Ia berkecimpung di berbagai sektor LSM, termasuk kepemimpinan pemuda, lingkungan hidup, dan kesehatan masyarakat. Ghina aktif meningkatkan kesadaran tentang isu-isu tersebut di kalangan pemangku kepentingan di Indonesia dan mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia.

Editor: Anthony M. Dermawan

--

--

Global FutureX
Global Future Insight

Global FutureX is a Collaborative Ecosystem for amplifying future-fit actions and knowledge. globalfuturex.org