Membangun Kolaborasi Pentahelix untuk Pembangunan Kesehatan Berkelanjutan

Global FutureX
Global Future Insight
4 min readApr 20, 2024

Sebuah Catatan Refleksi Collaborative Governance Bootcamp oleh Deni Frayoga (Government Relations Lead — CISDI)

Sebagai seorang ahli Kesehatan Masyarakat, saya sangat fokus pada isu Pembangunan Kesehatan di Indonesia. Selama mengikuti program Collaborative Governance Bootcamp Global Future X saya berefleksi terhadap Pembangunan Kesehatan, yang dalam praktiknya masih belum maksimal dan berkelanjutan. Sementara itu, isu Climate Change menjadi ancaman nyata untuk berbagai aspek kehidupan terutama Kesehatan.

Peningkatan kasus Demam berdarah Dengue (DBD) di beberapa daerah saat ini dipengaruhi oleh meningkatnya populasi nyamuk vector penyakit DBD akibat cuaca ekstrem yang terjadi.

Photo by Hacı Elmas on Unsplash

Pada sektor gizi, fenomena kekeringan yang berkepanjangan mengakibatkan gagal panen dikalangan petani. Hal ini mengakibatkan harga pangan meningkat dan suplai yang berkurang. Akibatnya asupan gizi, terutama pada kelompok rentan secara Kesehatan dan ekonomi, menjadi tidak terpenuhi — sehingga stunting dan gizi buruk semakin sulit ditekan.

Pada aspek tata kelola saat ini, kita masih dihadapkan pada permasalahan klasik seperti kolaborasi hanya sekedar formalitas di atas kertas atau foto dokumentasi yang terpublikasi di akun sosial media pemerintahan. Namun pada pelaksanaannya masih banyak ditemuin praktik-praktik ego sektoral; serta program maupun proyek dijalankan secara bussines-as-usual untuk memaksimalkan penyerapan anggaran tanpa berfokus pada kualitas maupun dampak programnya.

Upaya kolaborasi dalam Pembangunan Kesehatan di Indonesia bukan tidak baik dalam konsep dan perencanannya, sudah baik — akan tetapi praktik atau pelaksanaannya yang masih perlu strategi perbaikan. Kita mengenal Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) yang dikuatkan oleh Inpres nomor 1 tahun 2017, kemudian pada isu stunting ada Aksi Konvergensi yang mengatur semua peran Kementerian/ Lembaga dari pusat hingga daerah bahkan tingkat kecamatan dan kelurahan/desa, semua ini sudah jelas targetnya dan kembali yang perlu dibenahi tatakelolanya.

Pada tulisan refleksi ini saya menerjemahkan materi dari kelas bootcamp ke dalam startegi yang lebih operasional yang dapat dilakukan dalam praktik perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan dan evaluasi pembangunan.

1. Saling berempati antar sektor, tentu ini adalah hal yang mendasar namun sulit dilaksanakan. Dalam praktiknya dapat dimulai dengan memetakan tugas dan fungsi (task) dan hambatan serta kesulitan dari masing-masing sektor.

Sebagai contoh organisasi pemerintah untuk tugas dan fungsi dalam Pembangunan Kesehatan memang berbeda-beda, tidak hanya ada di Kementerian Kesehatan maupun dinas Kesehatan saja akan tetapi penyelesaian masalah hulu (determinan Kesehatan) ada di luar sektor Kesehatan. Hambatan dan kesulitan tidak berhenti pada istilah birokrasi yang rumit akan tetapi perlu dispesifikkan. Proses pemetaan empati ini perlu dilakukan melalui forum yang setidaknya melibatkan pemerintahan, masyarakat sipil (CSO, NGO, Think tank), sektor bisnis, akademisi, dan media. Semua sektor harus saling terbuka mengutarakan tugas fungsinya dan hambatan serta kesulitannya.

Photo by Redd F on Unsplash

2. Setelah terbentuk Empaty Map, maka yang perlu dilakukan adalah proses ko-kreasi dalam perencanaan. Pada tahapan ini terjadi proses diskusi dan menyepakati perencanaan Pembangunan serta peran masing-masing dari unsur pemerintahan yang kemudian di-breakdown menjadi turunan program di masing-masing Kementerian/Lembaga (pusat) atau OPD (daerah), masyarakat sipil, akademisi, sektor bisnis dan media. Pada proses ko-kreasi juga, selain outputnya berupa pembagian peran, adalah yang terpenting menyepakati indikator Pembangunan Kesehatan mulai dari jangka pendek dan minimal sampai jangka menengah.

3. Dikuatkan dengan regulasi, jika di tingkat pusat perlu adanya Inpres, provinsi melalui kepgub dan kota melalui kepwal serta kepbup untuk Kabupaten. Ini jauh lebih efektif dibadingkan dengan kegiatan seremonial tandatangan komitmen pada banner.

4. Pengawasan dan evaluasi (monev) secara berkala dan dikuatkan melalui instrumen serta platform yang jelas. Beberapa strategi pengawasan dan evaluasi yang harus dilakukan adalah:

a. Pembuatan dan utilisasi instrumen monev, dalam hal ini masyarakat sipil, akademisi dan litbang pemerintah harus berperan dominan.

b. Periode monev yang harus diubah. Praktik monev selama ini dilakukan triwulan melalui pertemuan di hotel. Tapi belajar dari penanganan COVID-19, monev yang efektif dan efisien adalah dilakukan secara mingguan. Ini membuat kita, pelaku Pembangunan, memiliki target mingguan yang jelas — mulai dari teknis di lapangan sampai level manajerial.

c. Peningkatan akuntablitas lewat digitalisasi, seperti dashboard, yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Publikasi media tetap dilakukan sebagai bentuk transparansi dan diseminasi kepada masyarakat secara luas.

d. Evaluasi dampak, praktik ini belum banyak dilakukan di proyek-proyek Pembangunan. Evaluasi dampak dilakukan untuk menilai dampak dari proyek dan juga untuk mendapatkan pembelajaran yang kemudian menjadi bahan rekomendasi perbaikan dalam program Pembangunan selanjutnya. Dalam pelaksanaan Evaluasi dampak, akademisi punya peranan penting mulai dari membangun kerangka riset hingga pelaksanaan sampai pelaporannya.

e. Pengembangan atau inovasi, pemerintah mungkin saja terbatas kemampuannya dalam hal ini, akan tetapi keterlibatan masyarakat sipil seperti NGO, CSO dan think tank penting. Karena mereka memiliki kapasitas lebih dalam membangun inovasi.

Profil Penulis

Deni Frayoga lahir pada 5 Desember 1993 di Tasikmalaya. Lulusan S-1 Kesehatan Masyarakat dari Universitas Lambung Mangkurat tahun 2015, Deni kini menjabat sebagai Kepala Hubungan Pemerintah di CISDI sejak Maret 2024. Sebelumnya, ia memimpin proyek Puskesmas Terpadu dan Juara (PUSPA) dan berpengalaman dalam pengelolaan kesehatan primer dan tanggap COVID-19. Deni juga pernah bekerja sebagai fasilitator program kesehatan dengan SEAMEO RECFON dan UNICEF Indonesia serta Kementerian Kesehatan RI. Ia telah menulis beberapa buku panduan kesehatan, yang berkontribusi pada peningkatan layanan kesehatan di Indonesia.

Editor: Anthony M. Dermawan

--

--

Global FutureX
Global Future Insight

Global FutureX is a Collaborative Ecosystem for amplifying future-fit actions and knowledge. globalfuturex.org