Tantangan dalam Menata dan Mengelola Sektor Kesehatan

Global FutureX
Global Future Insight
3 min readMay 1, 2024

Oleh Ivan Meidika Kurnia

Photo by Mufid Majnun on Unsplash

Sepulang dari pertemuan dengan seorang kolega saat dulu ‘berperang’ melawan pandemi sebagai dokter di garda terdepan, terdengar senandung dari radio kendaraan yang saya tumpangi. Suara familiar Bob Dylan membuat saya teringat lagunya yang terkenal, Forever Young. Sembari menyanyi kecil, muncul pertanyaan di benak saya, “Bagaimana jika besok terjadi pandemi lagi, apakah tata kelola kesehatan Indonesia sudah lebih baik dari saat pandemi COVID-19?”

Apakah akan terulang kembali, negara yang ‘terlambat’ berinovasi harus bergantung dengan belas kasihan negara penghasil obat/vaksin untuk penanganan pandemi? Meskipun sudah ada COVAX, namun ego tiap negara menyebabkan ketimpangan akses terhadap vaksin. Saya ingat WHO mencatat pada Juli 2022, hampir 3 tahun setelah deklarasi pandemi COVID-19, 70% masyarakat di negara maju sudah mendapat setidaknya satu dosis vaksin COVID-19, sedangkan di negara berpenghasilan rendah, indikator tersebut hanya mencapai angka 20%.

Ole Petter Ottersen, et al (2014) berpendapat bahwa globalisasi berimplikasi terhadap semakin berkurangnya policy space sebuah negara, bahkan mengakibatkan ketimpangan kesehatan yang semakin besar. Sayangnya, seperti yang disampaikan oleh Buse, Mays, dan Walt (2005), tidak ada kebijakan tanpa unsur politik. Tentu saja ‘gonjang ganjing’ yang terjadi di level global, misalnya saat ini negosiasi mengenai Pandemic Accord, juga mengandung muatan politis dan membutuhkan kemampuan diplomasi yang mumpuni.

Namun, tidak kalah penting adalah tata kelola yang mumpuni di dalam negeri. Koordinasi 280 juta jiwa, 38 provinsi, hingga 74.961 desa dengan segala karakteristik dan kondisi yang beragam bukanlah hal mudah. Mendapat bantuan tabung oksigen tidak otomatis membuat rumah sakit siap menerima pasien tambahan untuk dirawat. Mendapat hibah vaksin tidak otomatis mengatasi masalah logistik distribusi vaksin. Mendapat kesepakatan di level global tidak otomatis membuat Indonesia lebih tangguh terhadap ancaman kesehatan global. Translasi kesepakatan di level global menjadi strategi, kebijakan, dan implementasi yang terukur di dalam negeri sama pentingnya dengan diplomasi luar negeri.

Salah satu hal yang bisa dilakukan pemerintah pusat adalah mengadopsi pendekatan Health in All Policies dalam proses pembuatan kebijakan (WHO, 2014). Misalnya, kolaborasi antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perdagangan menjadi tidak kalah penting karena kebijakan di level global memengaruhi ruang gerak kebijakan Kementerian Kesehatan. Kita melihat realitanya saat pandemi COVID-19 terjadi sengketa mengenai TRIPS waiver yang diampu oleh WTO, mensinyalir bahwa kekuatannya tidak berada di dalam sektor kesehatan.

Hal ini yang juga memengaruhi keputusan sebuah negara, misalnya dalam kebijakan mengenai rokok. Benjamin Hawkins dan Chris Holden (2016) menuliskan salah satu kasus Investor-State Dispute Settlement (ISDS), yaitu ketika pemerintah Australia menetapkan kebijakan keharusan desain polos pada bungkus rokok, namun digugat oleh Philip Morris menggunakan klausul Technical Barriers to Trade (TBT) dan Bilateral Investment Treaties (BITs) untuk memblokir regulasi Australia dan memberikan chilling effect bagi negara lain (Hawkins, 2016).

Pada akhirnya, kapasitas sebuah negara untuk mengelola sektor perdagangan, berpengaruh terhadap ruang gerak sektor kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tata kelola saat ini, usaha untuk melindungi kesehatan masih menduduki prioritas yang lebih rendah dibandingkan tujuan lain di sebuah negara.

Indonesia yang bahkan belum selesai dari masalah tembakau tradisional, sudah dihadapkan pada realita e-cigarette, vape, dan ragam lainnya. Indonesia yang masih berusaha menurunkan angka penyakit menular, sudah harus dihadapkan pada realita bahwa penyakit tidak menular (PTM) terus meningkat dan menjadi beban utama BPJS. Belum lagi ditambah potensi pandemi yang terus menghantui.

Sekarang saya bisa memahami pandangan dari Ilona Kickbusch yang saya baca beberapa waktu lalu, bahwasanya tantangan utama dari krisis kesehatan di dunia saat ini bukanlah mengenai penyakit, tapi mengenai tata kelola. Dari jendela kendaraan yang sedang mengantre di lampu merah, mengingatkan saya pada lirik lagu Bob Dylan lainnya pun menutup refleksi malam itu: May God bless and keep you always, may your wishes all come true, may you always do for others, and let others do for you.

Profil Penulis

Ivan Meidika Kurnia adalah praktisi kesehatan global yang sedang mengenyam pendidikan MSc — Global Health Policy di London School of Hygiene and Tropical Medicine. Saat ini, Ivan juga bekerja sebagai bagian dari tim Government Advisory di Tony Blair Institute (TBI) Indonesia. Pekerjaan Ivan selama ini terkait bidang diplomasi vaksin, reformasi sistem kesehatan, dan industri kesehatan bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sebelumnya, Ivan bekerja sebagai Technical Officer dari WHO Indonesia untuk Presidensi G20 Indonesia.

Ivan dapat dihubungi melalui alamat surel berikut: i.kurnia@institute.global

Editor: Anthony M. Dermawan

--

--

Global FutureX
Global Future Insight

Global FutureX is a Collaborative Ecosystem for amplifying future-fit actions and knowledge. globalfuturex.org