BISA NYALEG TIDAK YA?

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM
Published in
5 min readJun 11, 2018

Oleh: Gregorius Utomo

Pemilihan umum merupakan salah satu indikator suatu negara dapat diberi label sebagai negara yang demokratis. Disebut demokratis karena pemilihan umum melibatkan peran aktif seluruh warga negara. Zaman dahulu ketika Yunani masih berbentuk negara polis, setiap pengambilan keputusan dilaksanakan melalui rapat besar yang dapat dihadiri oleh semua warga. Berbeda dengan sekarang, negara modern memperbarui sistem tersebut dengan menempatkan perwakilan yang dipilih oleh seluruh warga negara. Dari hal tersebut muncul apa yang dinamakan hak pilih dan hak dipilih. Semuanya melekat pada setiap warga negara sebagai hak konstitusional.

Di negara Indonesia, hak pilih atau hak dipilih dapat dicabut dari diri seseorang. Pertama hak tersebut dapat dicabut karena keputusan Hakim, kedua karena perintah undang-undang. Dicabut karena keputusan hakim berarti orang tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu tindak pidana di depan pengadilan dan dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu. Kedua dicabut karena undang-undang, berarti larangan memilih atau dipilih memang diatur tegas dalam undang-undang. Sebagai contoh pada Pasal 200 UU Pemilu tahun 2017 yang melarang anggota TNI dan Polri untuk menggunakan hak memilih dalam Pemilu.

Sekitar awal tahun 2018, pencabutan hak pilih atau hak dipilih menjadi polemik yang hangat diperbincangkan. Larangan eks koruptor untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif yang dicanangkan oleh Komisi Pemilihan Umum menjadi pemicu. Beberapa lembaga negara yaitu; DPR, Bawaslu, Kemendagri, dan Kemenkumham menentang KPU yang ingin memasukkan larangan eks koruptor mencalonkan diri sebagai caleg di Peraturan KPU.

Proses penyusunan peraturan tersebut sudah melalui pengkajian dan mekanisme tertentu. Mulai dari Uji Publik pada 5 April 2018, Rapat Dengar Pendapat antara KPU, Komisi II DPR, dan Kemendagri pada 22 Mei 2018, hingga telah disepakati dalam Rapat Pleno KPU. Rapat Dengar Pendapat yang seharusnya dijadikan momentum untuk memastikan bahwa peraturan KPU sesuai dengan makna yang terkandung dalam undang-undang tidak membuahkan kata sepakat.

Pihak DPR dan Kemendagri dalam salah satu pernyataanya malah terkesan membiarkan permasalahan tersebut bergulir untuk diputuskan oleh Kemenkumham. Dari proses tersebut akhirnya mengantarkan KPU untuk tetap mempertahankan pelarangan bagi eks koruptor untuk menjadi caleg dalam Draf Peraturan KPU. Saat ini draf tersebut telah sampai di depan meja Menteri Hukum dan HAM. Keputusan untuk mengundangkan atau mengembalikan draf tersebut berada dalam tangan Kemenkumham.

Kedua pihak sama-sama bersikukuh mengklaim bahwa alasannya paling benar. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada kata sepakat mengenai apa dan bagaimana seharusnya peraturan tersebut dibuat. Namun poin yang disepakati adalah semua ingin bersama-sama membangun sistem ketatanegaraan yang baik.

“Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: bukan Mantan Terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.” Begitu bunyi pasal yang dipermasalahkan dalam Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Mereka yang menentang Draf Peraturan KPU beralasan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dinilai bertentangan karena dalam Undang-Undang Pemilu tidak dijelaskan secara eksplisit larangan eks koruptor mencalonkan diri menjadi caleg, oleh karena itu mereka menilai KPU telah menabrak undang-undang. Keempat lembaga negara tadi juga menambahkan bahwa pencabutan hak-hak tertentu, dalam hal ini hak dipilih, merupakan ranah seorang hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi mengadili.

KPU berdalih aturan tersebut dibuat untuk sinkronisasi syarat dalam membuat peraturan. Apabila pemilihan presiden dan pemilihan anggota DPD menggunakan syarat tersebut, maka harus berlaku juga untuk DPR sebagai lembaga yang sederajat. Urgensi pencantuman pasal tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa.

Argumen KPU yang menyatakan Peraturan KPU merupakan upaya sinkronisasi peraturan sangat masuk akal dan logis. Pemilihan presiden selaku lembaga eksekutif harus memenuhi syarat bukan merupakan mantan terpidana korupsi, mengapa hal tersebut tidak diberlakukan juga terhadap lembaga legislatif?

Dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Anggota DPD-pun juga diatur mengenai larangan tersebut. Apabila tidak diberlakukan juga terhadap calon anggota legislatif, sungguh mereka menjadi anak emas dan diistimewakan. Ingat bahwa hanya DPR bersama Pemerintah yang dapat merancang undang-undang. Oleh karena itu yang paling diuntungkan apabila Peraturan KPU tidak diundangkan adalah lembaga legislatif itu sendiri.

Alasan DPR dan Pemerintah yang menyatakan KPU telah menabrak undang-undang menurut saya tidak lebih dari sekadar ungkapan kepanikan sebab mereka telah dilangkahi. Bukan berarti saya setuju peraturan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, karena untuk menyatakan suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak terhadap undang-undang adalah kewenangan Mahkamah Agung.

Bertentangan dengan undang-undang yang dimaksud yaitu Undang-Undang Pemilu belum mengatur secara tegas larangan eks koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Apabila demikian, yang dilakukan KPU dapat dianggap sebagai diskresi dalam rangka mengisi kekosongan hukum. Disisi lain pasal tersebut merupakan perwujudan lebih lanjut dari Pasal 240 ayat (1) huruf f UU Pemilu yang pada intinya menyatakan bakal calon anggota DPR harus memenuhi persyaratan setia kepada Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana bisa seorang koruptor dianggap setia terhadap Pancasila maupun UUD 1945?

Faktanya, ada dua peraturan yang belum diatur dalam UU Pemilu, yaitu larangan mencalonkan diri bagi mantan terpidana kasus kejahatan seksual terhadap anak dan kasus korupsi. Perihal pelecehan seksual terhadap anak ternyata tidak seviral korupsi. Apabila pelarangan tersebut berkaitan dengan alasan etis dan moral sehingga dianggap tidak bertentangan dengan undang-undang, bukankah korupsi juga demikian.

Kasus Wisma Atlet, Kasus Alih Fungsi Hutan Lindung, Kasus E-KTP, dan kasus-kasus lain yang luput dari pikiran saya tentunya bukan tindakan yang etis dan bermoral. Tidak ada alasan untuk menganggap pelarangan terhadap eks koruptor bertentangan dengan undang-undang terkait dengan pencabutan hak karena tindak pidana tersebut.

Pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Apabila pelarangan terhadap eks koruptor lolos dari pengundangan, harus menunggu maksimal lima tahun lagi untuk memperjuangkan larangan tersebut. Walaupun caleg yang bukan mantan terpidana korupsi juga tidak menjamin Ia tidak akan korupsi, tetapi merasa lebih aman apabila mantan terpidana korupsi tidak diperbolehkan menjadi caleg (ambil contoh kasus SN).

Pelarangan tersebut juga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap DPR yang pada tahun 2017 termasuk dalam tiga lembaga negara terbawah dalam survei kepercayaan publik. Kepercayaan publik penting agar setiap keputusan dan kebijakan DPR selalu didukung masyarakat, sehingga benar-benar menjadi lembaga yang merepresentasikan rakyat.

Sejak awal kita sepakat ingin mewujudkan sistem ketatanegaraan yang baik. Salah satu perwujudannya adalah melarang mantan koruptor memangku jabatan publik. Sudah saatnya peraturan tegas dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan agar menimbulkan efek psikologis. Kita harus mengawal agar Pemerintah dan DPR mengambil keputusan sesuai yang mereka katakan.

Apabila DPR dan Pemerintah berani menyatakan larangan eks koruptor menjadi caleg dalam Peraturan KPU bertentangan dengan undang-undang, sepatutnya dan selaiknya mereka juga harus berani melakukan revisi terbatas terhadap Undang-Undang Pemilu untuk memasukkan larangan tersebut. Jangan sampai negara jatuh dalam lubang yang sama. KPU menawarkan perubahan dengan gebrakannya, jangan sampai hal tersebut menjadi sia-sia.

--

--

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM

cerita, pengalaman, dan tulisan teman-teman GMNI FH UGM