Iuran BPJS Naik (Lagi)

Tetapi kenapa? serta bagaimana keabsahan dan solusinya?

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM

--

Beberapa watu yang lalu kita digemparkan dengan berita kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal ini dianggap sebagai upaya untuk menstabilkan neraca keuangan BPJS Kesehatan yang dalam beberapa tahun terakhir selalu saja defisit. BPJS sebenarnya punya peran yang vital dalam kesehatan masyarakat. Jika BPJS terus dalam kondisi defisit dan tidak bisa menjamin terpenuhinya jaminan kesehatan bagi pesertanya tentunya hal ini akan menjadi permasalahan. Hal ini karena seluruh warga yang tinggal di Indonesia wajib menjadi peserta BPJS.[1] Parahnya lagi kenaikan iuran BPJS dilakukan dalam kondisi darurat kesehatan akibat kondisi Pandemi COVID-19. Oleh karena itu artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai kenaikan tarif BPJS, serta kendala dalam BPJS dan alternatif solusinya terutama dalam ranah kesesehatan.

Keabsahan Kenaikan Iuran BPJS

Lewat Perpres terbaru, yaitu Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah memutuskan menaikkan kembali iuran BPJS. Kenaikan ini hampir 100 persen mulai Juli 2020 mendatang. Lahirnya Perpres yang mengerek iuran BPJS ini tentu mengagetkan banyak pihak. Bukan tanpa alasan, kenaikan iuran dilakukan ketika masyarakat tengah menghadapi tekanan ekonomi yang sulit akibat pandemi Covid-19. Jika kita kaitkan kembali sebelum muncunya Perpres ini, ternyata sudah ada putusan MA yang membatalkan Perpres 75/2019. Kalau kita lihat dari sisi yuridisnya, pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 75/2019 ketentuan kenaikan PBPU dan peserta BIP dalam pasal tsb dinilai tidak sejalan dengan Pasal 2 UU 40 Tahun 2004 yang menekankan penyelenggaraan BPJS harus sesuai asas kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan sosial, pun dilihat dari segi kenaikan upah per tahun sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia №78 Tahun 2015 hanya 5,6% sedangkan iuran BPJS naik 100%. Dari segi sosiologis, hal ini perlu adanya kajian mendalam lagi terhadap kenaikan BPJS ini, tidak seharusnya membebani masyarakat. Kalau dari segi filosofis sudah pasti, melanggar asas keadilan dan kemanfaatan.

Berkaca pada wacana kenaikan tarif yang sebelumnya diatur dalam Perpres 75/2019, terdapat beberapa dampak yang berpotensi muncul.[2] Dampak positifnya antara lain potensi peningkatan pelayanan fasilitas kesehatan dan sarana-prasarana rumah sakit, tertutupnya defisit anggaran BPJS, pertumbuhan sektor farmasi, peningkatan jangkauan kerjasama rumah sakit, peningkatan jangkauan penyakit yang dapat ditanggung, serta peningkatan sosialisasi program BPJS. Di sisi lain, terdapat potensi dampak negatif yag diperkirakan muncul, antara lain penurunan kelas peserta BPJS dan kecenderungan penumpukan peserta pada kelas perawatan III dengan tarif iuran yang rendah namun juga memiliki keterbatasan kapasitas pelayanan sehingga berpotensi merugikan kalangan masyarakat kurang mampu. Potensi negatif lainnya adalah menurunnya pembayaran iuran oleh masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh faktor pendapatan masyarakat atau kecenderungan untuk beralih pada asuransi swasta. Pada akhirnya potensi meningkatnya peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung pemerintah, sehingga beban pemerintah semakin besar.

Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 7 P/HUM/2020, Mahkamah Agung berpendapat bahwa secara sosiologis, kenaikan tarif iuran sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 75/2019 bertentangan dengan kehendak masyarakat. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa terdapat kesalahan dan kecurangan dalampengelolaan program jaminan sosial BPJS yang menyebabkan defisit pada Dana Jaminan Sosial (DJS) serta defisit tersebut tidak boleh dibebankan pada masyarakat melalui kenaikan iuran. Selain itu, secara filosofis, Mahkamah berpendapat bahwa kenaikan iuran BPJS tidak sesuai dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat dalam situasi ekonomi dunia yang sedang tidak menentu serta tidak mengikuti asas pemberian pertimbangan secara adil dan berimbang. Demikian pula terdapat permasalahan dalam penyelenggaraan program jaminan sosial nasional, yaitu adanya masalah struktur hukum dengan ego sektoral kementerian, permasalahan substansi hukum dengan adanya inkonsistensi penegakan hukum. Lebih lanjut, MA menimbang bahwa kenaikan tarif iuran BPJS memiliki cacat yuridis dan bertentangan asas kemanusiaan, asas manfaat, serta asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 2004 dan Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2011. Lalu, apakah kenaikan tarif iuran BPJS yang diatur dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 adalah bentuk “pembangkangan” pemerintah terhadap putusan MA?

Suatu pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan dapat dikategorikan sebagai ratio decidendi atau obiter dictum.[3] Pertimbangan atau pandangan yang mengenai pokok perkara secara langsung yang disebut dengan ratio decidendi akan bersifat mengikat apabila menjadi dasar dictum putusan. Sedangkan pertimbangan yang tidak secara spesifik membahas pokok perkara yang diajukan disebut dengan obiter dictum, dimana menurut Sudikno substansinya tidak relevan dengan pokok putusan, berisi peristiwa kongkrit yang “sepintas lalu” dan tidak bersifat mengikat. Menjadi menarik apabila kita mencermati bahwa substansi pertimbangan hukum putusan MA diatas menyatakan bahwa kenaikan tarif iuran BPJS bagi peserta PBPU dan BP memiliki kecacatan yuridis. Pertimbangan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis dalam putusan tersebut menjadi dasar MA dalam amar putusannya untuk menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 75/2019 bertentangan dengan Pasal 2 UU 40/2009 dan Pasal 2 UU 24/2011 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dengan perspektif konsep pertimbangan hukum diatas, pertimbangan hukum putusan MA tersebut dapat dikategorikan sebagai ratio decidendi. Argumen ini didasarkan pada uraian pertimbangan MA yang menyatakan Mahkamah berpendapat bahwa pertimbangan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis yang telah dipaparkan diatas menjadi dasar untuk mengabulkan permohonan pemohon mengenai substansi Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 75/ 2019. Dari perspektif ini, dapat dipandang bahwa seharusnya Pemerintah harus memperhatikan pertimbangan putusan MA ini dalam hal merumuskan tarif iuran BPJS bagi peserta PBPU dan BP dikemudian hari. Selanjutnya harus dicermati apakah pertimbangan hukum ini akan mengikat secara mutlak bagi pemerintah sebagai perumus kebijakan tarif iuran BPJS. Sebagai suatu negara yang tidak menganut stare decicis hal ini bisa menjadi rancu sehingga putusan tersebut tidak mengikat kepada Perpres 64/2020 yang dibuat oleh pemerintah. Tetapi Putusan MA tersebut haruslah dianggap sebagai suatu penafsiran dari Pasal 2 UU 40 Tahun 2004 dimana mengharuskan melihat dan menyesuaikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Sehingga kebijakan pemerintah yang menaikkan iuran BPJS dalam kondisi Pandemi COVID-19 ini tentunya melangar Pasal 2 UU 40 Tahun 2004.

Penyebab Iuran BPJS yang Terus Naik

BPJS Kesehatan, Banyak Permasalahan Jujur Saja. Ibu Sri Mulyani pernah ngomong bahwa dua hal yang pasti dan tidak bisa dihindari adalah kematian dan pajak. Statement itu perlu direvisi karena ada satu hal lagi yang pasti yaitu defisit anggaran BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun — meskipun defisit tahun 2016 menurun karena ada kenaikan iuran namun tahun 2017 naik 3 lipat dan naik kembali pada 2018.[4] Pada 2014 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp. 1,9 triliyun, 2015 naik jadi 9,4 triliyun. Pada 2016, sempat turun menjadi Rp. 6,4 triliyun. Namun, pada 2017 melonjak tajam dengan angka 13,8 triliyun, 2018 naik lagi menjadi 19,4 triliyun. Sampai terakhir, 2019 masuk pada kisaran angka 28,5 triliyun.[5] Ada banyak faktor yang menjadi penyebab defisit yang demikian seperti beban layanan melebihi pendapatan, kontribusi iuran masih rendah yang jauh ketimbang klaim yang disediakan, kurangnya transparansi pengelolaan keuangan BPJS kesehatan, kurang maksimalnya cakupan kepesertaan berikut kepatuhannya, beban pendanaan kesehatan untuk penyakit katastropik terus meningkat dimana pada tahun 2018 mencapai 22% dari total biaya kesehatan, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai gatekeeper belum berfungsi maksimal, dan inefisiensi rujukan berjenjang di FKRTL.[6] Dalam paparan kali ini akan dibahas mengenai beberapa permasalahan di atas yang terkategori sangat fundamental.

Mengenai kurangnya transparansi pengelolaan keuangan BPJS kesehatan yang berhubungan dengan tata kelola. Beberapa kali Presiden menyoroti tata kelola yang buruk ini sehingga mengakibatkan defisit. Lebih lanjut Pusat Kajian Jaminan Sosial UI menemukan bahwa tindakan kecurangan (fraud) dan moral hazard menjadi salah satu faktor beban pengeluaran yang ditanggung BPJS.[7] Padahal ketika kita berbicara mengenai pengelolaan keuangan haruslah sesuai asas akuntabilitas dan kehati-hatian yang digariskan pasal 4 UU BPJS, tidak boleh tidak. Selanjutnya adalah FKTP yang masih belum optimal dimana dari kajian Prakarsa Policy Brief diatas ia masih berfokus pada tindakan kuratif, bukan pelayanan promotif dan preventif. Kalau sedikit-sedikit penindakan ya pasti pengeluaran bakal banyak dong maka dari itu mencegah lebih baik, termasuk dalam hal anggaran.

Sebanyak 68% kasus di pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan adalah kasus kontrol ulang, terbanyak adalah kontrol ulang fisioterapi dan pasien penyakit kronis. Beban biaya pelayanan kesehatan yang terjadi sebesar Rp4,2 triliun, termasuk pembiayaan penyakit katastropik. Pelayanan yang rentan penyalahgunaan adalah pelayanan fisioterapi, pelayanan penyakit kronis, dan pelayanan gigi dan mulut.[8] Kemudian Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) belum berfungsi secara maksimal dan menyebabkan sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) dana kapitasi yang tidak terpakai di puskesmas oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Komisioner Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Achmad Ansori mengungkapkan, terdapat silpa di puskesmas menyebabkan dua masalah, yaitu pembiayaan yang salah dan pelayanan terhadap peserta tidak optimal. Pembiayaan yang salah, menurut Ansori, sebab BPJSK harus membayar lebih mahal dari seharusnya atau inefisiensi.

Artinya, setiap bulan BPJSK mentransfer dana kapitasi tersebut kepada puskesmas dengan besaran sesuai jumlah peserta yang tertanggung, namun nyatanya tidak terpakai seluruhnya. Persoalan lain ditemukan pada kurangnya tingkat kepatuhan peserta dalam membayar premi BPJS terutama dalam kategori PBPU. Mengenai hal ini, Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, menyatakan bahwa penerbitan Perpres 64 Tahun 2020 justru membantu masyarakat di tengah pandemi Corona, salah satunya memberikan bantuan kepada peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III mandiri. Di mana seluruh peserta ini akan mendapat subsidi sebesar Rp 16.500 per orang per bulan di tahun 2020, dan sebesar Rp 7.000 per orang per bulan di tahun 2021. Kendati demikian, kenaikan iuran yang mencapai dua kali lipat ini masih dinilai memberatkan masyarakat yang tengah kalang kabut di tengah pandemi. Diperlukan adanya alternatif pendanaan lain yang tidak memberatkan peserta untuk menambal defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS. Selain itu timing dari terbitnya kebijakan ini terasa tidak pas apalagi ketika grafik pengangguran meningkat cukup tajam akibat pandemi Corona.

Salah satu permasalahannya lainnya ialah terkait iuarn. Terdapat beberapa faktor iuran menjadi penyebab terjadinya defisit anggaran. Pertama, iuran yang masuk lebih sedikit daripada beban yang dikeluarkan. Tahun 2017 besaran iuran yang masuk sejumlah Rp74,2 Triliun tetapi beban yang dikeluarkan mencapai Rp84,44 Triliun.[9] Meskipun tren jumlah iuran yang masuk selalu naik, akan tetapi kenaikan tersebut juga diikuti dengan kenaikan beban pengeluaran pula sehingga defisit anggaran tetap terus terjadi. Kedua, besaran iuran yang ditetapkan pemerintah berada pada posisi underprice. Sejak awal berdirinya BPJS Kesehatan, Pemerintah telah keliru dalam menetapkan besaran iuran yang harus dibayarkan dimana jumlahnya terlalu kecil dan tidak sesuai dengan perhitungan aktuaria yang biasa digunakan dalam program serupa sehingga besaran iuran berada pada posisi underprice. Sebagai contoh, pada perhitungan tahun 2015 segmen peserta Pekerja Bukan Penerima Upah yang berada pada kelas III apabila sesuai dengan perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN) seharusnya membayar iuran sebesar RP53.000, akan tetapi pemerintah menetapkan iuran yang harus dibayar hanya sebesar Rp25.500. Terjadi selisih yang cukup besar hingga mencapai Rp27.500.[10] Selain itu, pada segmen peserta Penerima Bantuan Iuran, apabila sesuai dengan perhitungan aktuaria DJSN seharusnya besaran iurannya sejumlah RP36.000, akan tetapi sesuai penetapan pemerintah hanya sebesar Rp23.000.[11]

Selain itu kondisi kepersertaan juga mempengaruhi defisit dari BPJS. Banyak pihak swasta yang enggan mendaftarkan pegawainya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Hal ini dikarenakan, umumnya pihak swasta telah menyediakan asuransi kesehatan dengan kualitas lebih baik untuk para pekerjanya, selain itu penegakan hukum yang kurang tegas oleh Pemerintah juga menjadi alasan. Seharusnya ada sanksi tegas untuk pihak swasta yang tidak mendaftarkan pegawainya menjadi peserta BPJS Kesehatan.[12] Kemudian, banyak peserta yang menunggak pembayaran. Peserta yang menunggak pembayaran iuran biasanya disebabkan oleh alasan yang beragam, seperti lupa membayar, tidak mampu membayar, atau bahkan bisa saja karena sengaja tidak membayar. Besarnya tunggakan iuran yang belum dibayarkan ini sangat berpengaruh terhadap defisit atau tidaknya BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan juga dihinggapi permasalahan lain yaitu terkait dengan data peserta BPJS yang seringkali kurang update. Contohnya, banyak peserta yang sudah meninggal tapi databasenya belum terupdate sehingga mengakibatkan iuran masih terus tertagih hingga dianggap menunggak apabila belum dibayarkan. Tak hanya itu, berdasarkan audit yang dilakukan BPKP, banyak ditemukan rumah sakit rujukan yang melakuan kecurangan dengan cara pembohongan data dimana banyak rumah sakit menaikan kategori kelas untuk mendapatkan pembayaran (klaim) yang lebih banyak dari BPJS Kesehatan.

Apa yang bisa dilakukan?

Permasalahan defisit BPJS tersebut sebenarnya bisa dipadatkan menjadi beberapa permasalahan yaitu masih banyaknya iuran yang tidak terbayarkan dan orientasi promosi serta prevensi kesehatan yang kurang. Jika solusi yang dilakukan adalah terus-terusan melakukan kenaikan iuran pastinya tidak akan menyelesaikan permasalahan defisit anggaran BPJS. Solusi alternatif dibutuhkan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Berikut akan dipaparkan beberapa pemikiran dengan pendekatan yang lintas sektoral, serta mencoba melihat beberapa best practices dari negara lain.

Mengenai banyaknya iuran yang tidak dibayar, hal ini salah satunya bisa dilihat dari akibat BPJS yang didesign sebagai sebuah Badan Asuransi publik dan bukan penyedia kesehatan. Lebih parahnya lagi, BPJS dibentuk dengan konsep seluruh warga Indonesia wajib untuk ikut dalam BPJS tapi pada faktanya sampai tahun 2019 peserta BPJS baru mencapai 224,1 juta orang atau 83% dari populasi.[13] Model BPJS yang seperti asuransi tentu akan sangat bergantung pada iuran yang diberikan oleh anggotanya, serta jika tidak mencapai 100% populasi akan sangat mempengaruhi keuangan BPJS. Ketiadaan sanksi yang tegas juga bisa jadi membuat orang tidak mendaftar atau membayar iuran BPJS. Konsep iuran yang seperti ini tentunya akan sangat berbeda dengan pajak dimana seluruh warga wajib membayar dan ada sanksi yang tegas jika tidak membayar.

Model yang pembiayaan yang dikembangkan oleh beberapa negara skandinavia seperti Denmark dan Swedia, semuanya mengandalkan pajak sebagai sumber pembiayaan kesehatan. Swedia misalnya, pembiayaan kesehatan sangat tergantung dari pajak, sehingga 84% pengeluaran di sektor kesehatan berasal dari pemerintah. Implikasinya tentu pajak yang akan sangat besar yaitu sekitar 56,6% penghasilan rata-rata tahun 2010.[14] Efeknya adalah pada akhirnya rata-rata warga Swedia hanya mengeluarkan sekitar dari 3% dari total biaya kesehatan yang harus dikeluarkan.[15] Denmark sendiri juga mempunyai sistem yang hampir sama, dimana rasio pajak penghasilan rata-rata 55,4% dari penghasilan.[16] Pajak penghasilan yang besar seperti ini akan menimbulkan jaminan kesehatan yang besar pula bagi warga Denmark. Dimana pada akhirnya seluruh warga Denmark memiliki jaminan kesehatan gratis yang tersedia pada rumah sakit swasta, publik, bahkan rumah sakit diluar Denmark.[17]

Denmark, dan Swedia yang menjadikan pajak menjadi dasar dari pembiayaan kesehatan akan menarik jika diterapkan di Indonesia. Konsep BPJS dimana seluruh orang yang tinggal di Indonesia harus menjadi peserta BPJS sebenarnya akan efektif jika menggunakan mekanisme seperti pajak. Sifat pajak yang wajib untuk dibayarkan dan sanksi serta penegakan yang jelas akan membuat pendanaan lebih pasti dan adil. Hal ini dapat dilakukan dengan cara salah satunya yang dilakukan Presiden. Presiden saat itu, mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang kalau kit abaca di pasal 99 dan pasal 100 disebutkan bahwa Pajak Rokok merupakan salah satu bentuk pendapatan BPJS Kesehatan yang merupakan bentuk dukungan Pemerintah Daerah. Intensifikasi pendapatan seperti di atas lah yang perlu terus diupayakan seperti optimalisasi cukai tembakau dan pajak rokok sebagai sumber pendapatan BPJS. Selain itu bisa diupayakan pula earnmarking tax lain pada pajak makanan dan minuman manis penyebab diabetes, pada lemak, garam dan minyak. Earmarking tax adalah pajak yang disishkan untuk membayar suatu proyek atau kegiatan yang telah ditetapkan tujuannya salah satunya adalah untuk menghubungkan setiap masalah yang ada yang berkaitan dengan pembayaran pajak sehingga sesuai dengan prinsip kemanfaatan pajak Apabila dilihat di atas memang makanan dan minuman manis bisa jadi merupakan faktor penyebab berbagai penyakit sehingga logis apabila pajak dari keduanya diarahkan sebagai pembiayaan BPJS.

Penggunaan pajak untuk kesehatan seharusnya bisa jadi didapat dari luar earmarking tersebut. Seperti yang dlikukan Denmark, dan Swedia, dimana pajak penghasilannya besar tapi fokus pada hal-hal seperti pendidikan dan terutama kesehatan. Akhirnya BPJS juga harus bekerja dengan kementerian lain terutama kementerian keuangan di bidang pembiayaan. Hal ini bisa jadi menghilangkan iuran dari BPJS, karena seluruhnya telah dialihkan ke pajak. Tetapi jika berdasarkan pada pajak, tentunya prioritas pemerintah terhadap hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan menjadi suatu hal yang utama.

Selain negara skandinavia, sebenarnya yang menarik untuk dilihat adalah Kuba. Walaupun sebagai suatu negara yang miskin, tetapi sistem kesehatan Kuba dapat menjadi perbandingan yang menarik karena biaya kesehatannya yang gratis. Sebagai suatu negara yang sosialis hal ini menjadi suatu hal yang wajar. Tetapi menariknya adalah bagaimana kesadaran bahwa kesehatan menjadi suatu hal dasar dan perlu untuk diperjuangkan menjadi suatu hal perlu dicontoh. Implikasinya adalah kesehatan yang gratis dari pengeluaran kesehatan yang sangat besar yaitu 11,7% dari PDB pada tahun 2017. Pengeluaran Kuba sedikit melebihi Swedia (11,02% dari PDB) dan Denmark (10,11% dari PDB), dan sangat jauh dari Indonesia yaitu (2.99% dari PDB).[18] Jika melihat APBN 2020, Indonesia menghabiskan 132,2 Triliun Rupiah umtuk kesehatan (sudah termasuk dana kesehatan pusat dan daerah, serta pembangunan rumah sakit). Hal ini masih sangat jauh dari anggaran pembangunan infrastruktur yang dapat mencapai 432, 3 Triliun Rupiah.[19] Pada akhirnya prioritas negara dalam memberikan jaminan kesehatan akan sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan kesehatan.

Permasalahan berikutnya adalah mengenai orientasi promosi dan prenvensi kesehatan yang masih sangat kurang. Efeknya BPJS hanya menjadi jaring akhir dimana peserta BPJS akan selalu langsung ke Rumah Sakit karena penyakit yang diderita telah kronis, tanpa adanya pencegahan dan penggunaan FKTP (salah satunya puskesmas) yang maksimal. Konsep promosi dan prevensi kesehatan ini sebenarnya salah satunya terangkum dalam Deklarasi Alma Alta 1978 yang telah diadopsi oleh WHO. Promotive and prevention menjadi suatu bagian yang penting dalam penyediaan health care system dalam deklarasi tersebut.

Best practices dari promosi dan prevensi ini dapat dilihat di Kuba. Sistem di Kuba sebenarnya hampir sama dengan di Indonesia, dimana ada pusat kesehatan dalam setiap wilayah kesehatan yang terdiri dari 30.000 orang. Dalam pusat kesehatan tersebut akan ada beberapa general practitioners atau dokter keluarga yang menangani sekitar 500–800 orang. Hebatnya lagi dokter tersebut tidak sendirian tapi ditemani dengan perawat, psikolog, dan bahkan sosiolog. Dokter keluarga dan jajarannya tersebut akan bertanggungjawab terhadap kesehatan masyarakat di daerah tersebut.[20] Bersamaan dengan kesadaran masyarakat tentang kesehatan yang tinggi, dan serta dorongan yang kuat dari pemerintah prevensi kesehatan tersebut berhasil. Berdasarkan survei tahun 1999, pendekatan tersebut membuat Kuba menjadi salah satu negara dengan kasus HIV/AIDS yang paling rendah dibandingkan dengan negara karibia lain seperti Jamaika dan Republik Dominika.[21] Bahkan dapat dilihat pula bahwa harapan hidup orang di Kuba meningkat bersamaan dengan pendekatan promosi dan prevensi ini diterapkan.[22]

Jika melihat sistem di Kuba, maka sebenarnya yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan puskesmas sebagai bagian dari sistem jaminan kesehatan. Dalam kondisi tersebut tentunya bukan hanya BPJS yang harus terlibat langsung. Pemerintah daerah, dan Kementerian Kesehatan juga perlu pro-aktif dalam mengembangkan puskesmas. Selain itu pelbagai kementerian lain, terutama Kementerian Pendidikan, juga harus terlibat untuk memberikan promosi kesehatan yang baik kepada masyarakat. Pada akhirnya permasalahan BPJS tidak boleh hanya dianggap sebagai sebuah permasalahan BPJS saja. Permasalahan BPJS adalah permasalahan seluruh sistem kesehatan dari promosi kesehatan dan pencegahan hingga pada upaya pengobatan seseorang. BPJS sekarang hanya menjadi pemain akhir dalam sistem kesehatan (menjadi asuransi publik), dimana hanya bergerak pada saat orang sakit parah di Rumah Sakit yang notabene membutuhkan biaya besar. Sehingga apabila seluruh kasus kesehatan menumpuk di BPJS dan biayanya besar hal ini tentu akan membuat BPJS terus defisit. Pendekatan promosi dan prevensi kesehatan melalui puskesmas sebagai FKTP dapat menjadi salah satu solusi, sehingga pengobatan dengan biaya besar dapat dicegah dan mengurangi beban keuangan BPJS.

Kontributor

  • Richardus Prasetya Adipadma
  • Tariq Hidayat Pangestu
  • Antonius Havik Indradi
  • Shafira Dinda Ariefti
  • Gabriella Miracle
  • Adryani K. Hendarto

Referensi

[1] Pasal 14 UU Nomor 24 Tahun 2001

[2] Lulus Wijayanti, et. al., “Dampak Kebijakan Kenaikan Iuran BPJS terhadap Pengguna BPJS”, ISOQUANT : Jurnal Ekonomi, Manajeman, dan Akuntansi”, Vol. 4, №1, Tahun 2020, Hal. 58–68.

[3] Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 54.

[4] Dewan Jaminan Kesehatan Nasional, 2018, Defisit (Struktural) JKN 2014–2018 dan Restrukturisasi JKN, Kalaidoskop SJSN, Jakarta.

[5] Caesar Akbar, “2019, Defisit BPJS Kesehatan Diestimasikan Capai Rp 28,5 Triliun”, https://bisnis.tempo.co/read/1238806/2019-defisit-bpjs-kesehatan-diestimasikan-capai-rp-285-triliun, diakses tanggal 25 Mei 2020.

[6] Prakarsa Policy Brief, 2020, Defisit JKN : Usulan Alternatif Pendaan Berkelanjutan

[7] PKJS UI dalamstudiKajian Sumber PendanaanJKN, 2018

2 Ringkasan Eksekutif Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan Sosial Kesehatan Tahun 2016, h. 12.

[9] Kekeu Kirani Firdaus, Ludovicus Sensi Wondabio, Analisis Iuran dan Beban Kesehatan dalam Rangka Evaluasi Program Jaminan Kesehatan, Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11, №1, 2019

[10] BPJS Kesehatan, Ringkasan Eksekutif Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan Sosial Kesehatan Tahun 2016, hlm. 3

[11] Ibid.

[12] Atnike Nova Sigiro, dkk, 2018, Laporan Penelitian Formulasi dan Pelaksanaan Kepesertaan BPJS Kesehatan dan Implikasinya Terhadap Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia, Lokataru, Jakarta, hlm. 49

[13] Agatha Olivia Victoria, “Baru 83%, Peserta BPJS Kesehatan per Akhir 2019 Capai 224 Juta Jiwa” , https://katadata.co.id/berita/2020/01/06/baru-83-peserta-bpjs-kesehatan-per-akhir-2019-capai-224-juta-jiwa, diakses 30 Mei 2020.

[14] Mustaqiem Dr.,SH.,M.Si, Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia (Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta, 2014), hlm. 15.

[15] Natalia dan Marczewska, 2011, “Swedish Healthcare: Overview of the Health System”, ICU Management & Practices, Volume 11, Issue 1, Spring.

[16] Mustaqiem Dr.,SH.,M.Si, Loc.cit.

[17] Colophon, 2017, Healthcare in Denmark — An Overview, Ministry of Health, København, hlm. 7.

[18] World Health Organization Global Health Expenditure database, “Current health expenditure (% of GDP) — Cuba”, https://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.CHEX.GD.ZS?locations=CU&most_recent_value_desc=false, diakses tanggal 30 Mei 2020.

[19] Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “APBN 2020”, https://www.kemenkeu.go.id/apbn2020, diakses tanggal 30 Mei 2020.

[20] Pol De Vos, ““No One Left Abandoned”: Cuba’s National

Health System Since The 1959 Revolution”, International Journal of Health Services, Volume 35, Number 1, Pages 189–207, 2005, hlm. 193.

[21] Ruby Greene, “Effective community health participation strategies: a Cuban example International Journal Of Health Planning And Management”, Volume 18, pp 105–116, Hlm. 114.

[22] Ibid.

--

--

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM

cerita, pengalaman, dan tulisan teman-teman GMNI FH UGM