Membedah Tagar Tolak RKUHP

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM

--

“Jangan sekali-kali anda memprotes dan membandingkan dengan negara luar, yang mau kita bangun ini RUU HP yang multietnik, multireligi, multikultural,” ujar Prof. Edward O. S. Hiariej, salah satu perumus Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP).

Pada Jumat (11–10) GMNI Komisariat Fakultas Hukum UGM mengadakan diskusi ilmiah “Membedah #TolakRKUHP” yang berlangsung di Ruang Bulaksumur, University Club UGM. Diskusi ini mengundang tiga pembicara, yaitu Prof. Dr. Edward O. S. Hiariej, S.H., M.Hum, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono S.H., L.LM.(HR), Ph.D, Dosen Pidana Fakultas Hukum UGM, dan Richardus Prasetya Adipadma seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM serta Kader GMNI.

Diskusi berlangsung dengan dinamis dan hangat. Pembicara pertama, Richard, membahas pasal-pasal bermasalah yang menuai perdebatan di berbagai kalangan masyarakat. Beberapa di antaranya adalah tentang delik adat, perzinahan, penghinaan presiden, aborsi, gelandangan, kontrasepsi, penghinaan terhadap pengadilan, dan tindak pidana korupsi. “Isu ini bukan lagi menjadi isu elitis, tetapi isu berbagai golongan termasuk golongan bawah,” tuturnya setelah bercerita tentang teman kampung dan bapaknya yang bertanya terkait isu RUU HP ini.

Selanjutnya, pembicara kedua, Sri Wiyanti Eddyono atau yang kerap disapa mahasiswa Bu Iyik, menjelaskan pentingnya RUU HP ini. “RUU HP jika sudah disahkan bukan lagi milik orang hukum, tetapi milik orang Indonesia,” ucapnya. Beliau menjelaskan RUU HP yang berperspektif korban dan keadilan gender. Undang-undang merupakan produk politik karena berisi diskusi dan negosiasi sebagai titik temu berbagai kepentingan. Hal ini sangat penting di Indonesia karena bisa dilihat perdebatannya ke arah mana, tetapi jika berspektif korban dan gender akan dipengaruhi oleh moralitas yang berbeda. “Dalam hal itu, kepentingannya bisa macam-macam,” ucapnya lagi.

Lebih lanjutnya, dijelaskan mengenai pentingnya melihat RUU HP ini secara komprehensif. Naskah akademik tahun 2015 meletakan perspektif baru: hak korban dan kesetaraan gender. Arah hukum pidana nasional Indonesia berada di titik tengah yang berusaha melihat keseimbangan antara pelaku dan korban, hak asasi dan kewajiban, nilai nasional dan universal. “Jalan tengah itu baik dan menimbulkan diskursus, namun ada kelompok rentan dan diskriminatif. Jadi, tidak bisa selalu jalan tengah.”

Sudah banyak hal baik dalam RUU HP ini, salah satunya pemerkosaan sudah masuk tindak pidana terhadap tubuh yang tadinya tindak pidana kesusilaan. Lalu, perbuatan cabul yang sudah diperjelas dan bersifat netral gender. Terakhir, Bu Iyik mengapresiasi tim perumus RUU HP yang dulu banyak catatan penting, tetapi sekarang sudah banyak perkembangan yang baik.

Pembicara ketiga, Prof. Eddy, mengatakan bahwa kekurangan RUU HP adalah kurangnya sosialisasi. RUU HP tidak dibuat tergesa-gesa karena sejarah pembuatannya yang panjang, dan sudah berasal dari aspirasi masyarakat serta melihat inventarisasi masalah. “KUHP yang sekarang dipakai untuk menghukum jutaan orang tidak memiliki kepastian hukum, berarti orang yang demo itu mempertahankan status quo dan warisan kolonial.” Namun, ia melanjutkan bahwa demo oleh mahasiswa dan masyarakat juga penting sebagai kritik.

Beliau membahas alasan-alasan logis dari tim perumus RUU HP terkait dengan pasal-pasal yang menuai kontroversi. Misalnya terkait hukuman mati, perdebatan hadir pada aktivis hak asasi manusia dan aktivis koruptor dan dirumuskan sebuah jalan tengah, yaitu dijatuhkan pidana mati percobaan. Lalu, beliau juga tidak setuju dengan beberapa pasal yang ada di RUU HP, salah satunya terkait perzinahan. “Jika ada pasal perzinahan diuji di Mahkamah Konstitusi, saya tidak akan mau menjadi ahlinya,” ujarnya menunjukan ketidaksetujuan.

Dalam diskusi kali ini, dibuka sesi tanya jawab bagi para peserta. Muncul beberapa pertanyaan mengenai delik adat dalam peraturan daerah yang kemungkinan diskriminatif, pasal tentang gelandangan yang lebih baik diselesaikan secara sosial. Selain itu, ada juga bung Diasma dari Pusat Studi Pancasila yang melihat dalam perspektif pembuatan hukum yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

Diskusi ini diselenggarakan dengan tujuan membangun diskursus terkait isu RUU HP ini. Pembangunan ruang diskusi agar dapat melihat dari banyak perspektif, dan membangun nalar berpikir kritis. Diharapkan peserta yang hadir mendapat banyak manfaat dari acara ini. Akhir kata, MERDEKA!

--

--

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM

cerita, pengalaman, dan tulisan teman-teman GMNI FH UGM