Pancasila Sebatas Slogan

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM
Published in
3 min readJun 4, 2018

Oleh: Beby Pane dan Richard Prasetya

Awal kemerdekaan Indonesia, ada beberapa ideologi yang berkembang pesat dan memiliki basis massa yang kuat. Ideologi itu adalah nasionalisme, islamisme dan komunisme. Ketiga ideologi ini seringkali mengalami pertentangan antara satu sama lain. Terkadang pertentangan itu tidak mencapai titik temu karena semuanya memiliki idealismenya masing-masing. Oleh karena itu, dibuatlah ide Nasakom untuk mempersatukan ketiga ideologi besar ini. Sebuah jalan tengah yang mampu mengakomodir pandangan dari berbagai golongan.

Ide Nasakom pada waktu itu paling sering digencarkan oleh kelompok komunis dan mendapat pertentangan dari kelompok ABRI. Keadaan ini lalu memuncak dengan bergantinya rezim yang ditandai dengan kejatuhan Sukarno. Dimulai lah sebuah rezim baru yang oleh Suharto dinamakan Orde Baru. Suharto sebagai pengganti dan pemimpin rezim ini melegitimasi kekuasaannya dengan Pancasila. Ia memberantas kelompok komunis yang ia anggap sebagai “pengkhianat” negara dan bertentangan dengan Pancasila.

Pada masa Orde Baru, Pancasila dijadikan ideologi satu-satunya yang wajib dianut oleh semua partai politik, terlebih lagi semua orang. Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal agar kompetisi politik tidak terjadi. Asas tunggal dijadikan senjata oleh Suharto untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Keadaan negara sangat tersentralistik pada sosok Suharto, siapa yang bertentangan dengannya akan dianggap sebagai musuh negara.

Melalui UU Nomor 3/1985 asas tunggal ini dilegitimasi. “Dalam rangka ini dan demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, kekuatan-kekuatan sosial politik khususnya Partai Politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.” Begitu bunyi salah satu pasal dalam UU tersebut.

Pancasila ditafsirkan sangat sempit. Ia ditafsirkan sebagai ide pakem yang tidak boleh ditafsirkan berbeda dengan yang dirumuskan penguasa pada masa itu. Pancasila sebagai asas tunggal dan ideologi satu-satunya menciptakan keadaan yang sangat statik. Pancasila hanya menjadi sebatas lima sila yang dipajang di depan ruangan tanpa pernah dimaknai seperti bagaimana ia pertama kali dirumuskan.

“Aku tidak mencipta Pancasila, saudara-saudara. Sebab sesuatu dasar negara ciptaan tidak akan bertahan lama,” ujar Sukarno dalam pidatonya di Surabaya tahun 1955. “Jikalau engkau hendak mengadakan dasar untuk sesuatu negara, jangan bikin sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam-dalamnya lautan daripada sejarah! Gali sedalam-dalamnya bumi daripada Sejarah!” Lanjutnya. Pada pidato kali ini ia menegaskan sekali lagi: ia hanyalah penggali dari Pancasila itu sendiri. Segala nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sesungguhnya hidup dalam masyarakat itu sendiri.

Jika kita melihat nilai-nilai dari Pancasila, sesungguhnya ia telah mengakar lama. Nilai-nilai Ketuhanan bangsa Indonesia telah lama sekali dipegang oleh bangsa Indonesia. Menurut Bung Karno dalam Diskursus Pancasila, bangsa Indonesia telah memegang nilai ketuhanan jauh sebelum datang agama hindu atau bahkan sejak jaman berburu dan mengumpulkan. Selain itu nilai-nilai gotong royong, kemanusiaan dan musyawarah yang telah ada mengakar pada setiap suku dan kelompok di Indonesia. Nilai-nilai ini dapat dilihat bagaimana dinamika pada setiap masyarakat yang masih memegang tradisinya. Perasaan tertindas yang sama oleh penjajahan serta keinginan untuk mencapai keadilan sosial juga menjadi dasar persatuan.

Sukarno sendiri tidak ingin Pancasila menjadi ideologi yang saklek, sebuah ideologi tunggal. Setiap orang atau kelompok sosial di masyarakat Indonesia pasti memiliki pandangannya masing-masing. Ini bukan berarti bangsa Indonesia mengabaikan Pancasila, tiap ideologi yang dianut yang berarti tiap-tiap ideologi yang dianut tersebut harus mempunyai arah dan tujuan untuk mewujudkan nilai Pancasila itu sendiri. Dalam tingkat kebangsaan Pancasila menjadi ideologi dasar (philosophisce grondslag) bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Lebih dari 30 tahun Orde Baru berkuasa, Pancasila yang hanya dijadikan sebagai alat politik mengalami reduksi pemaknaan pada tiap-tiap nilainya. Pancasila yang mempunyai nilai historis panjang serta pemaknaan luas hanya dimaknai dengan hafalan lima sila. Lalu dijabarkan secara saklek seperti peraturan yang mengikat padahal Pancasila sesungguhnya berada dalam ranah filsafati. Ia perlu direfleksikan ulang terus-menerus sesuai dengan keadaan zaman.

Dampak reduksi pemaknaan Pancasila oleh Orde Baru dapat kita lihat sampai hari ini. Masyarakat tidak lagi dapat menjelaskan bagaimana seharusnya penerapan dan perwujudan nilai dari Pancasila. Masyarakat hanya mampu menangkap pada tingkat ide dan cinta buta pada nilai-nilai Pancasila. Pada akhirnya, Pancasila sekarang cenderung hanya menjadi slogan-slogan kosong yang tidak bermakna.

--

--