Peran Vital Serikat Pekerja Pasca Undang-Undang Cipta Kerja

Divisi Keilmuan dan Kajian DPK GMNI FH UGM

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM
Published in
7 min readMay 11, 2021

--

Dalam hubungan kerja yakni antara pekerja dan pengusaha terdapat kondisi saling ketergantungan dimana pengusaha dan pekerja saling membutuhkan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Akan tetapi, apabila ditelisik lebih jauh, kondisinya tidak sepenuhnya demikian. Seorang pekerja apabila tidak diberikan pekerjaan oleh pengusaha, tidak bisa mendapatkan penghasilan. Di satu sisi, apabila seorang pekerja tidak bekerja untuk pengusaha, bisa saja pengusaha tidak memperoleh pemasukan, akan tetapi seorang pengusaha masih memiliki modal untuk mempertahankan kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, kedudukan antara pekerja dan pengusaha tidaklah setara. Pengusaha memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan pekerja yang lebih lemah. Terdapat gap yang membatasi keduanya[1]. Hubungan yang tidak setara ini kemudian menimbulkan ekses-ekses baik dalam hubungan industrial hingga kehidupan sosial. Dalam hubungan industrial, seorang pekerja yang berada di kondisi lemah tidak bisa memperjuangkan hak-haknya secara maksimal apabila hanya seorang diri. Harus ada kesatuan di antara para pekerja untuk memaksimalkan kekuatan supaya bisa meraih tujuan dan hak-haknya. Kesatuan tersebut mewujud dalam serikat pekerja, yang akan membantu pekerja dalam mewujudkan tujuan dan memperoleh apa yang menjadi hak-haknya[2].

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang dimaksud dengan serikat pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Secara konstitusional, Serikat Pekerja mendasarkan pembentukannya pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan hak pada setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Serikat Pekerja kemudian mulai diatur dalam undang-undang pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU Serikat Pekerja). Undang-undang a quo pada dasarnya mengatur mengenai konsep awal, keanggotaan, persyaratan, hak dan kewajiban, serta beberapa batasan-batasan mendasar dari Serikat Pekerja.

Dalam prosesnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) juga turut memberikan beberapa legitimasi terhadap fungsi Serikat Pekerja dalam kehidupan pekerja. Sekalipun tujuan awal disahkannya UU Ketenagakerjaan menjelaskan secara lebih spesifik beberapa pengaturan-pengaturan dasar yang sebelumnya telah disusun dalam UU Serikat Pekerja. Fakta bahwa UU Ketenagakerjaan menempatkan Serikat Pekerja sebagai salah satu hal sentral yang perlu diatur, sebenarnya menunjukkan bahwa Serikat Pekerja memiliki posisi yang krusial dalam pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia.

Secara definitif, UU Serikat Pekerja menekankan bahwa tanggung jawab Serikat Pekerja ada dalam hal memperjuangkan, membela, dan melindungi kepentingan pekerja demi kesejahteraan pekerja serta keluarganya. Untuk melaksanakan tanggung jawabnya, undang-undang a quo turut memberikan Serikat Pekerja beberapa hak, seperti hak untuk mewakili pekerja dalam penyelesaian kasus perselisihan, membentuk lembaga dan melakukan kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan pekerja, membuat Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha, dan sebagainya.

Satu hak Serikat Pekerja yang krusial dan membedakannya dengan organisasi lain adalah kewenangannya untuk turut serta dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Hak ini memperoleh legitimasi dari Pasal 116 UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 14 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. Sebagai instrumen hukum yang kuat dalam sebuah perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama mengatur hal-hal pokok berkaitan dengan kondisi kerja dan persyaratan kerja yang pada hakikatnya turut berpengaruh terhadap berbagai aspek penting dari kehidupan pekerja, pengusaha, serta kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri[3] Sehingga, dari sini dapat dipahami bahwa peraturan perundang-undangan sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menempatkan Serikat Pekerja dalam posisi yang penting dalam dunia ketenagakerjaan.

Pada 5 Oktober 2020 lalu, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) resmi disahkan. Sesuai dengan sebutannya yakni undang-undang sapu jagat, UU Cipta Kerja hadir dengan berisikan muatan perubahan berbagai undang-undang yang ada, tak terkecuali Undang-Undang Ketenagakerjaan yang kemudian berimplikasi besar pada dunia ketenagakerjaan[4]. Dalam ranah ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja membawa beberapa perubahan seperti pembatasan jenis pekerjaan yang boleh diterapkan outsourcing menjadi dihapus; tidak adanya ketentuan yang secara eksplisit memperhitungkan kebutuhan hidup layak dalam penentuan upah mininum; pasal terkait istirahat panjang yang sebelumnya diwajibkan oleh undang-undang kemudian diubah menjadi dikembalikan kepada kesepakatan para pihak, melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun perjanjian kerja bersama; dan penghapusan batasan waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)[5]. Berkenaan dengan batasan waktu PKWT, pada akhirnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Isirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, jangka waktu PKWT dibatasi menjadi 5 tahun.

Dari beberapa ketentuan pasal-pasal ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pengaturan ketenagakerjaan dalam UU a quo banyak yang melepaskan tanggung jawab negara terhadap hubungan kerja dan lebih menyerahkan mekanismenya kepada para pihak sehingga terlihat bahwa sifat privat dari hukum ketenagakerjaan begitu menonjol setelah UU Cipta Kerja ini[6]. Negara tidak lagi berperan dan justru menarik diri. Hal ini sepertinya didasarkan pada pemahaman yang keliru dengan menganggap bahwa posisi pekerja dan pengusaha berada pada tingkatan yang setara. Penyusun undang-undang tampaknya lupa bahwa kedudukan pekerja dan pengusaha sangat tidak setara sehingga membuat ketentuan yang demikian.

Melihat bahwa negara menarik diri dari ranah ketenagakerjaan dan membiarkan hal-hal yang menyangkut hubungan kerja dikembalikan kepada kesepakatan para pihak, upaya yang bisa dilakukan pekerja supaya kesepakatan yang dibuat menguntungkan pihak pekerja adalah melalui collective bargaining/kesepakatan kolektif yang bisa dilakukan secara efektif melalui serikat pekerja[7]. Collective barganing merupakan prinsip mendasar dan merupakan hak dalam hubungan kerja dimana terjadi proses negosiasi yang dilakukan oleh serikat pekerja dengan pemberi kerja untuk menghasilkan kesepakatan mengenai ketentuan-ketentuan dalam hubungan kerja[8]. Collective barganing telah dijamin keberadaannya melalui salah satu konvensi International Labour Organization (ILO) yakni The Right to Organize and Collective Bargaining Convention, 1949 (№98). Sebagai salah satu inti dari apa yang dilakukan oleh serikat pekerja, collective bargaining merupakan hal yang penting dan bahkan dapat dikatakan bahwa serikat pekerja yang tidak mengambil peran dalam collective bargaining berpotensi besar kehilangan pengakuan dan peranan yang ‘istimewa’ sebagai suatu serikat pekerja[9].

Apabila dikontekstualisasikan dengan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, collective bargaining mewujud dalam perjanjian kerja bersama. Sebagaimana ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja bersama dapat dibuat manakala ada serikat pekerja dalam suatu perusahaan[10]. Perjanjian kerja bersama ini lebih dapat melindungi pekerja dan lebih representatif terhadap kebutuhan pekerja apabila dibandingkan dengan perjanjian kerja yang dibuat berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh saja serta apabila dibandingkan juga dengan peraturan perusahaan yang pembuatannya hanya dilakukan oleh pihak pengusaha[11]. Melihat bagaimana pentingnya serikat pekerja dalam proses pembuatan perjanjian kerja bersama, yang mana merupakan perjanjian yang lebih berpihak pada pekerja, maka kehadiran serikat pekerja amat dibutuhkan untuk turut membantu para pekerja supaya tetap dapat memperoleh hak-haknya dan memperjuangkan kepentingannya.

Selain keberadaan dari serikat pekerja itu sendiri, hal penting lain yang kemudian harus diperhatikan ialah mengenai kekuatan serikat pekerja utamanya dalam perannya sebagai salah satu unsur yang terlibat dalam pembuatan perjanjian kerja bersama. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan supaya serikat pekerja dapat berjalan dengan baik. Pertama, semangat persatuan dalam internal serikat pekerja adalah hal yang paling esensial bagi suatu serikat pekerja. Kesatuan yang dimulai dari dalam internal serikat pekerja akan menguatkan keutuhan serikat pekerja dan memberikan dampak positif terhadap kinerjanya. Kedua, kapasitas dan kemampuan yang mumpuni dari serikat pekerja. Sebagai pemegang peranan penting dalam perlindungan hak dan kepentingan pekerja, di dalam proses berjalannya serikat pekerja haruslah berbekal pada kapasitas dan kemampuan bekerja yang baik. Hal tersebut dapat ditunjukkan salah satunya melalui pemaparan gagasan-gagasan dengan berbasis data yang dilakukan serikat pekerja terutama pada saat memperjuangkan haknya. Argumen maupun gagasan yang berbasis data akan memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan argumen atau gagasan tanpa landasan ilmiah. Hal ini tentu akan menguatkan narasi yang dibangun oleh serikat pekerja. Akan tetapi, hal yang harus diingat adalah bahwa tanggungjawab dalam penyediaan data yang berkualitas tidak sepenuhnya berada pada serikat pekerja, tapi juga menjadi tanggungjawab pemerintah. Kemampuan mumpuni para anggota serikat pekerja dalam memahami isu-isu yang berkaitan dengan ketenagakerjaan juga akan jadi pondasi yang kuat untuk membangun posisi serikat pekerja[12].

Ketiga, serikat pekerja harus selalu aktif terutama dalam memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa collective bargaining secara efektif dapat terwujud melalui serikat pekerja, maka dari itu supaya output dari collective bargaining berpihak pada pekerja, serikat pekerja haruslah aktif dan bergerak dengan langkah-langkah yang inovatif. Tak hanya itu, sebagai salah satu upaya memperkuat posisi, serikat pekerja juga bisa berkoalisi dengan serikat pekerja yang lain apabila memang diperlukan dan berada dalam kondisi yang tepat. Dengan dilakukannya koalisi oleh beberapa serikat pekerja, porsi keterwakilan para pekerja akan semakin representatif karena terdapat lebih dari satu jenis serikat pekerja yang berkoalisi dan memiliki tujuan yang sama[13]. Hal ini akan mampu mendulang kekuatan sehingga menguatkan posisi serikat pekerja dalam memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja.

Referensi

[1] Ari Hernawan, “Faktor-Faktor Penyebab Belum Terbentuknya Serikat Pekerja Unit Kerja Perusahaan di Kabupaten Sleman”, Mimbar Hukum, Vol. 20, №1, Februari 2008

[2] Ibid.

[3] Sridadi, A. R, 2016, Pedoman Perjanjian Kerja Bersama, Empat Dua Media, Malang, hlm. 6–7.

[4] Zakki Amali, “Kronologi Omnibus Law Disahkan hingga Jokowi Terima UU Cipta Kerja”, https://tirto.id/kronologi-omnibus-law-disahkan-hingga-jokowi-terima-uu-cipta-kerja-f5YM, diakses pada 1 Maret 2021.

[5] Nabiyla Risfa Izzati dalam Diskusi Virtual “Persepsi Online: Zona Abu-Abu Perlindungan Tenaga Kerja dan Investasi dalam Omnibus Law Cipta Kerja”, 25 November 2020.

[6] Ibid.

[7] Nabiyla Risfa Izzati dalam Diskusi Virtual “Menelisik Pola Pemberangusan Serikat (Union Busting) di Indonesia”, 24 Februari 2021.

[8] Jelle Viser, “What Happened to Collective Bargaining During the Great Recession?”, IZA Journal of Labor Policy, Vol. 5, 2016.

[9] Guy Mundlak, 2020, Organizing Matters Two Logics of Trade Union Representation, Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham, hlm. 18.

[10] Lihat Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

[11] Nabiyla Risfa Izzati dalam Diskusi Virtual “Menelisik Pola Pemberangusan Serikat (Union Busting) di Indonesia”, 24 Februari 2021.

[12] International Labour Organization, 2015, National Employment Policies: A guide for workers’ organisations, International Labour Office, Geneva, hlm. 1

[13] Ibid, hlm. 2

--

--