Rilis Analisis dan Sikap GMNI FH UGM terhadap Kasus CLS

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM
Published in
17 min readJun 1, 2020

Miskonsepsi Oknum Dosen, Pengekangan Kebebasan Akademik, & Ketidakamanan Siber

#StandWithCLS memenuhi linimasa di media sosial beberapa hari ini. Tagar tersebut muncul sebagai sebuah reaksi atas penyerangan baik secara daring maupun luring berbentuk ancaman yang dilakukan terhadap salah satu komunitas di FH UGM, yaitu Constitutional Law Society (CLS). Penyerangan tersebut dilakukan karena diskusi yang akan dilakukan oleh CLS yang bertemakan impeachment/pemakzulan presiden. Terdapat oknum yang menganggap bahwa diskusi tersebut merupakan suatu bentuk makar dan tidak tepat. Padahal jika kita melihat ilmu hukum tata negara, tema mengenai pemakzulan merupakan suatu hal yang biasa untuk dibahas dalam ranah akademis. Permulaan dari tuduhan makar yang dilakukan oleh CLS muncul melalui salah satu dosen UGM, yaitu Ir. KPH. Bagas Pujilaksono M.Sc, Lic.Eng, PhD yang memberitakan bahwa CLS melakukan gerakan makar.[1] Kemudian peristiwa bergulir hingga pada peretasan akun media sosial dan ancaman terhadap CLS dan anggotanya. Hal ini menjadi suatu yang menyedihkan, karena pada dasarnya diskusi semacam itu merupakan bentuk kebebasan akademis yang seharusnya dijaga dan tidak boleh dibungkam dengan cara semacam itu.

A. MISKONSEPSI OKNUM DOSEN

Pada prinsipnya seluruh sivitas akademik maupun tenaga didik yang berada dalam lingkungan Universitas Gadjah Mada diikat oleh etika yang harus ditaati. Dalam Pasal 33 ayat (1) Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada Nomor 4/SK/MWA/2014 Tentang Organisasi dan Tata Kelola (Governance) Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwa UGM menjunjung tinggi etika akademik, yang salah satunya adalah asas moral berdasarkan objektivitas terhadap pendapat akademisi yang lain. Lebih lanjut lagi mengenai kode etik mengenai Dosen sebagai salah satu sivitas akademik yang berada pada lingkungan UGM diatur melalui Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 246/P/SK/HT/2004 tentang Kode Etik Dosen. Demi terwujudnya kebebasan akademik yang baik maka disusunlah ketentuan-ketentuan kode etik akademik dan integritas moral yang tercantum dalam Keputusan Rektor tersebut. Ketentuan ini utamanya ditujukan bagi para dosen selaku pendidik dengan keluhuran profesinya. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 3 Keputusan Rektor tersebut bahwa dosen diwajibkan untuk menjunjung tinggi kebebasan akademik. Dalam kasus ini, dosen wajib memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab, mandiri sesuai dengan aspirasi pribadi namun tetap dilandasi dengan norma dan kaidah keilmuan salah satunya yaitu cara berpikir ilmiah.

Begitu pula yang diatur Pasal 5 dinyatakan bahwa seorang dosen dalam berkomunikasi seharusnya menggunakan bahasa yang sopan dan santun, tidak emosional, berpikir jernih, dan tidak menyinggung perasaan orang lain.. Dengan pernyataan “Ada gerakan makar yang sedang dibangun di Yogyakarta lewat acara seminar yang temanya Wacana Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Covid-19. Poster seminar terlampir.”[2] , Ir. KPH Bagas Pudjilaksono memberikan tuduhan terhadap kegiatan diskusi tersebut sebagai suatu gerakan makar. Dengan pernyataan yang disampaikan tersebut dapat dilihat bahwa sebagai seorang dosen beliau belum mampu menunjukan cara berpikir jernih dalam menilai kegiatan diskusi tersebut. Sebaliknya, beliau justru menyinggung pihak penyelenggara acara dalam hal ini adalah CLS. Seharusnya sebagai seorang akademisi beliau dapat mengedepankan pola pikir yang jernih dengan melakukan verifikasi terhadap kegiatan tersebut melalui klarifikasi kepada pihak penyelenggara.

Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) Keputusan Rektor tersebut, disebutkan bahwa seorang dosen memiliki kewajiban untuk menjunjung tinggi kebebasan mimbar akademik dengan menyampaikan pikiran dan pendapatnya dalam forum akademik atau ceramah atau kegiatan lainnya sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan. Dengan tuduhan gerakan makar yang diutarakan oleh Ir. KPH Bagas Pudjilaksono, mengindikasikan bahwa beliau sebagai seorang akademisi belum mampu menjunjung tinggi kebebasan mimbar akademik. Penilaian diskusi yang diadakan oleh CLS tersebut dilakukan tanpa memperhatikan norma dan kaidah keilmuan dari makna terminologi ‘makar’ itu sendiri.

Adapun makar merupakan sebuah terminologi yang tersurat dalam Pasal 87 juncto Pasal 53 KUHP yang ditafsirkan dari kata aanslag. Tafsiran kata aanslag yang secara harfiah berarti “percobaan” atau “tindakan awal suatu perbuatan” dan diartikan sebagai “makar” dalam KUHP, menurut Eddy O. S. Hiariej, dimaksudkan untuk menerangkan perbedaan makar dan percobaan, dimana makar memiliki unsur niat dan permulaan pelaksanaan, namun dalam makar tidak ada klausul bahwa “tidak selesainya perbuatan yang diniati karena semata-mata suatu sebab di luar kehendak pelaku”.[3] Bagaimana MvT pembahasan pasal makar memaknai unsur makar sebagai serangan?[4] Telah dilakukannya tindak percobaan yang dapat dipidana akan disetarakan dengan tindak pidana yang telah dilakukan secara sempurna, namun tetap harus telah ada permulaan pelaksanaan dari kejahatan terkait. Sehubungan dengan percobaan, di dalam MvT-nya diuraikan (Smidt, I, hlm. 420): [5]Percobaan dapat secara umum disebut sebagai suatu perbuatan yang mengakibatkan dimulainya pelaksanaan suatu niat tertentu, namun tidak sempurna; pendeknya, permulaan pelaksanaan dari suatu perbuatan yang diniatkan.

Syarat-syarat atau kriterianya adalah: (1) niat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang ditentukan dengan undang undang sebagai kejahatan yang dapat dipidana; (2) permulaan pelaksanaan dari kejahatan; (3) tidak sempurnanya kejahatan yang dilakukan disebabkan oleh keadaan yang tidak tergantung pada kehendak pelaku sendiri. Dari situ dapat disimpulkan bahwa unsur “niat” untuk melakukan suatu kejahatan dapat terwujud dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Pasal 87 KUHP hanya menyebutkan kriteria pertama dan kedua, yaitu telah adanya permulaan pelaksanaan untuk melakukan kejahatan. Artinya, berbeda dengan tindak-tindak pidana pada umumnya, pelaku tindak pidana yang diatur di dalam Pasal 87 ini tidak akan dapat dianggap menghentikan sendiri pelaksanaan kejahatan yang telah dimulainya. Namun, percobaan tetap dibedakan dari perbuatan-perbuatan persiapan saja, karena adanya syarat permulaan pelaksanaan tersebut. Sebagaimana dijelaskan di dalam MvT-nya (Smidt, I, hlm. 528).[6]

Adapun unsur niat dan permulaan pelaksanaan tersebut memiliki sifat subjektif serta objektif. Niat secara subjektif diketahui jika secara nyata diutarakan oleh yang bersangkutan, sedangkan secara objektif maka niat tersebut diketahui atau dapat dilihat oleh orang lain melalui adanya perbuatan pelaksanaan yang bertujuan untuk mewujudkan niatan. Permulaan pelaksanaan, secara subjektif, dilihat dari niat yang tidak dapat diragukan lagi untuk mewujudkan delik yang dimaksudkan. Sedangkan secara objektif, permulaan pelaksanaan harus memiliki potensi mendekati delik yang dituju. Dibuktikannya suatu makar harus dengan diukurnya parameter unsur niat dan permulaan pelaksanaan secara objektif dengan mendasarkan bahwa niat diketahui dari adanya permulaan pelaksanaan serta permulaan pelaksanaan sudah mendekati delik yang dituju. Barulah dengan terbuktinya kedua unsur tersebut secara objektif, maka unsur “makar” dalam KUHP dapat terpenuhi.[7]

Unsur “makar” menjadi salah satu unsur delik dalam Pasal 104, 106, serta 107 KUHP mengenai kejahatan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, kejahatan terhadap wilayah kekuasaan negara, serta kejahatan dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Berpijak pada keterangan di atas, harus dikritisi, apakah wacana diskusi CLS tersebut dapat didefinisikan sebagai makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Permasalahan yang diangkat ke publik adalah judul diskusi yang dirasa kontroversial, yakni “Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan”. Setelah adanya berbagai kritik terhadap judul tersebut, panitia penyelenggara kegiatan akhirnya mengganti judul diskusi tersebut menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan” dengan maksud untuk meluruskan persepsi masyarakat bahwa kegiatan tersebut dimaksudkan untuk meninjau ketentuan mengenai pemberhentian presiden dalam Undang-Undang Dasar 1945 dari perspektif akademis hukum tata negara Indonesia.[8] Sebagaimana diketahui, Pasal 7A dan 7B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengatur mengenai mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia.

Sebagaimana telah diterangkan diatas, bahwa terminologi “makar” yang merupakan tafsiran atas kata “aanslag” adalah suatu konsep dimana permulaan pelaksanaan suatu perbuatan mencerminkan adanya niat untuk melakukan suatu perbuatan. Dari pemahaman konsep “makar” dalam Pasal 87 juncto Pasal 53 KUHP inilah, dicantumkan unsur “makar” dalam delik-delik mengenai perbuatan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 104, 106, serta 107 KUHP. Sehingga, pernyataan bahwa diadakannya diskusi akademis dari perspektif hukum tata negara mengenai ketentuan pemberhentian presiden dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagai suatu makar dengan maksud melakukan kejahatan terhadap keamanan negara adalah opini yang perlu dikritisi dan tidak benar. Pasal 104, 106, serta 107 KUHP, menggulingkan pemerintah merupakan suatu bentuk perbuatan melanggar hukum. Sedangkan yang ingin dilakukan CLS sendiri dalam diskusinya adalah membahas mengenai UUD NRI Tahun 1945 terutama spesifik pada ketentuan impeachment/pemakzulan dan tidak bisa dianggap sebagai makar dalam Pasal 104, 106, serta 107 KUHP . Sehingga tuduhan Ir. KPH. Bagas Pujilaksono M.Sc, Lic.Eng, PhD yang menyatakan bahwa CLS melakukan “makar” yaitu mengganti pemerintah/presiden merupakan hal yang tak berdasar.

B. PENGEKANGAN KEBEBASAN AKADEMIK

Kebebasan akademik dapat diartikan sebagai hak kebebasan yang dimiliki civitas akademika terkait dengan kegiatan pengajaran dan penelitian secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Hal ini sesuai dengan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa: “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Pengaturan tersebut menjabarkan bahwa kebebasan akademik tidak merujuk pada kebebasan dalam tindakan pidato, melainkan kebebasan untuk dapat memegang setiap keyakinan yang disampaikan melalui etika akademis secara tepat.[9] Kebebasan akademis bersifat mutlak atau tanpa syarat.[10] Dalam hal ini yang dimaksudkan kebebasan akademik yang bersifat mutlak adalah hak bebas dalam menyajikan, merujuk dan berdebat untuk (atau menentang) klaim atau kepercayaan apapun.

Kebebasan akademik merupakan hak institusi. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan suatu institusi yang dirancang untuk pengajaran dan pemahaman yang tidak terhalang, karena sudah seharusnya suatu institusi seperti sebuah universitas harus memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi ide dan argumen.[11] Universitas merupakan tempat lahirnya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan, sehingga potensi untuk menunjang dapat terlaksananya dengan baik penanganan tersebut dapat terlaksana.[12]

Dalam konstitusi kita, kebebasan menyatakan gagasan, mengeluarkan pikiran serta berkumpul dan berserikat merupakan bagian dari Hak Warga Negara dan Penduduk, yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945. Pada dasarnya, lembaga pendidikan dibuat sebagai wadah untuk mempelajari ilmu seluas-luasnya. Institusi akademik terutama perguruan tinggi secara khusus, dirancang untuk mengeksplorasi ide dan argumen tanpa halangan tertentu. Namun, kebebasan mempelajari ilmu pengetahuan, juga memerlukan etika keilmuan. Etika dalam hal ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.[13]

Etika Keilmuan dan kebebasan akademik merupakan hal yang sangat berkaitan satu sama lain, sebagai bentuk hak dan kewajiban. Pentingnya kebebasan akademik ini dukung dengan asas kebebasan akademik, dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan, yang berlaku dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi, secara bebas bertanggung jawab. Untuk menjalankan kebebasan akademik, Robin Barrow merujuk kepada kebebasan untuk memegang kepercayaan, posisi teoritis apapun, serta mendukungnya dengan etika akademis yang tepat.[14] Sebagai civitas akademika, setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk menggunakan komunikasi yang terbuka, untuk menyampaikan sesuatu, dan untuk mempelajari sesuatu, sehingga tercipta individu-individu yang kritis.

Kebebasan akademik merupakan salah satu penunjang kemajuan masyarakat, yang dapat dicapai melalui proses belajar. Menurut Robert Quinn, direktur eksekutif lembaga nirlaba AS, Scholars at Risk Network, menyebutkan “kebebasan untuk melestarikan kebenaran dan berbagi informasi” dan menyatakan bahwa hal tersebut vital bagi masyarakat seperti kebebasan pers.[15] Dalam penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi, kebebasan akademik menjadi hal yang sangat penting. Serta untuk mengembangkan dan memajukan mutu pendidikan, juga memerlukan kebebasan akademik.

Pengecaman terhadap diskusi yang dilakukan CLS merupakan pengekangan terhadap kebebasan akademik. Diskusi CLS yang bertajuk “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” merupakan diskusi rutin dan ditujukan untuk kegiatan akademik di tengah pandemi. Sebenarnya, pembahasan mengenai pemakzulan presiden dalam hukum tata negara merupakan hal yang sangat lumrah. Sehingga pembungkaman dan pengecaman diskusi dalam bentuk ancaman atau melalui buzzer tersebut telah melanggar kebebasan akademik yang seharusnya didapatkan oleh CLS. Selain itu, terdapat beberapa kasus pengekangan kebebasan akademik yang terjadi di UGM, salah satunya terkait dengan diskusi LGBT.[16] Hal ini tentu mengindikasikan adanya sikap menafikan civitas akademika yang kritis sehingga terjadi pengekangan.

Maka dari itu, penting bagi seluruh pihak untuk mengetahui apa itu kebebasan akademik dan mengapa itu menjadi penting. Pengekangan kebebasan akademik perlu ditindak secara serius agar tidak berlanjut dan terjadi lagi. Diperlukannya kesadaran pula oleh semua pihak bahwa kebebasan akademik berpengaruh terhadap berkembangnya suatu ilmu pengetahuan.

C. ANCAMAN TEROR DAN PELANGGARAN PRIVASI DATA

Pembobolan akun sejumlah panitia penyelenggara diskusi ketatanegaraan yang digagas oleh CLS FH UGM menjadi sebuah sirine bahwa perlindungan data pribadi perlu mendapatkan perhatian lebih untuk diakomodir secara khusus dalam hukum positif di Indonesia. Pasalnya bukan hanya kali ini saja karena belum lama kasus peretasan juga dialami oleh Ravio Patra.[17] Ancaman gangguan privasi seperti kebocoran dan penggunaan data secara ilegal merupakan salah satu ekses negatif semakin majunya teknologi.[18] Padahal secara tegas perlindungan hak-hak pribadi, yang juga mencakup perlindungan data pribadi, diatur dalam pasal 28 G ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”

Oleh sebab itu pengaturan lebih lanjut dalam Undang-Undang seharusnya menjamin adanya perlindungan sesuai amanat konstitusi di atas karena perlindungan data pribadi merupakan hak konstitusional yang harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.

Pada tanggal 29 Mei 2020, dua nomor tidak dikenal melalui Whatsapp mengirimkan sebuah pesan pribadi kepada orang tua dari panitia diskusi CLS berisi ancaman pembunuhan.[19] Ancaman tersebut tentunya telah menimbulkan perasaan tidak aman serta ketakutan baik bagi panitia penyelenggara diskusi CLS maupun keluarga. Mengingat bahwa ancaman tersebut dikirimkan melalui pesan pribadi di media Whatsapp, maka mengenai penyampaian ancaman tersebut telah diatur secara khusus (Lex Specialis) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan Pasal 29 UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Apabila terbukti melanggar Pasal a quo, maka pelaku dapat diancam pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (Pasal 45B UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE). Adanya pengiriman ancaman pembunuhan tersebut, juga menunjukkan bahwa masih terdapat masyarakat yang tidak bijak dalam menggunakan sosial media maupun sistem elektronik. Pada kasus ini, penggunaan sistem elektronik secara tidak bijak tak hanya ditunjukkan dari adanya ancaman pembunuhan saja, hal tersebut juga dapat diamati dari adanya tindakan peretasan akun Whatsapp milik Fisco Mudjito (narahubung diskusi CLS), akun Instagram milik Aditya Halimawan, akun Instagram milik CLS, dan akun Gojek milik M. Anugrah Perdana (moderator diskusi CLS).[20] Peretasan tersebut tentunya melanggar perlindungan data pengguna sistem elektronik.

Namun, jika membicarakan mengenai perlindungan data, maka sebenarnya kita tidak bisa hanya membahas mengenai kebijaksanaan dalam menggunakan sistem elektronik, melainkan terdapat hal yang lebih krusial yaitu sistem keamanan dan tanggung jawabnya. Terutama dalam kasus yang terjadi pada CLS, terdapat beberapa media sosial yang berkaitan dengan CLS diretas. Kemudian jika melihat Press Release yang dilakukan oleh FH UGM, data pribadi dari penyelenggara diskusi juga ikut bocor. Bisa dilihat sendiri bahwa orang tua penyelenggara diskusi ikut dikirim pesan ancaman pembunuhan. Hal ini tidak boleh dianggap sepele hanya permasalahan CLS semata. Malah karena ini menunjukkan suatu fakta yang lebih besar bahwa internet dan data pribadi kita tidak sepenuhnya aman. Jika kondisinya seperti ini, jadi pertanyaan siapa yang sebenarnya memiliki tanggung jawab atas keamanan data dan akun media sosial tersebut?

Perlindungan dan keamanan dari suatu media sosial menjadi suatu hal yang sangat amat penting sebenarnya bagi penyelenggara sistem elektronik. Bahkan industri keamanan siber dapat mencapai kira-kira $125 Miliar pada tahun 2019.[21] Besarnya pasar dari industri keamanan tersebut bukan tanpa alasan. Di Amerika, perlindungan data tersebut menjadi suatu kewajiban dalam hukum, bahkan perusahaan seperti Equifax membayar sebesar $700 juta[22] dan Yahoo membayar sebesar $1175 juta dollar[23] akibat bocornya data pribadi yang dimiliki dan disimpan oleh perusahaan tersebut. Secara garis besar kelalaian tersebut dapat diukur dari beberapa standar yaitu kegagalan dalam melakukan pengamanan sesuai standar; melakukan mitigasi terhadap bocornya data; dan tidak melakukan pemberitahuan terhadap pemilik data.[24] Selain itu jika kita melihat Uni Eropa misalnya, General Data Protection Regulation 2016 (GDPR) juga mengatur hal yang serupa. Didasari pada prinsip appropriate security of the personal data, including protection against unauthorised or unlawful processing and against accidental loss, destruction or damage, ada beberapa kewajiban dari penyelenggara sistem elektronik. Penyelenggara sistem elektronik dalam GDPR sebenarnya memiliki kewajiban berupa melakukan keamanan, kerahasiaan, dan tersedianya akses dari pemilik data terhadap datanya sendiri.[25] Penyedia sistem elektronik disini juga dituntut untuk melakukan pemberitahuan paling lama 72 jam sejak tau ada kebocoran.[26] Apabila melanggar seluruh kewajiban tersebut telah tertera secara jelas apabila dapat diberikan sanksi sampai 10.000.000 EUR atau hingga 2% dari pendapatan global penyedia tersebut.[27]

Melihat dua sistem tersebut, maka dapat dilihat bahwa penyedia sistem elektronik dapat dipertanggungjawabkan atas kebocoran data. Dalam hukum Indonesia, aturan tentang pertanggungjawaban penyedia sistem terhadap sistem elektroniknya tidak begitu kompleks dan hanya ada pada satu pasal yaitu dalam Pasal 15 UU ITE. Ketentuan tersebut masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan standar perlindungan yang dibangun oleh Uni Eropa dan Amerika. Kondisi ini bisa membuat penyedia sistem elektronik tidak bertanggung jawab terhadap keamanan data, dan hanya akan menyalahkan pihak ketiga yang melakukan penjebolan data. Padahal penyedia sistem elektronik seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk memberikan rasa aman bagi penggunanya. Pertanggungjawaban terhadap akun yang hilang dan data-data pribadi yang hilang serta kerugian yang diderita pada akhirnya hanya akan ditanggung pengguna. Peretasan kemudian dapat terjadi berulang-ulang karena penyedia sistem elektronik tidak mempunyai kewajiban yang tegas oleh hukum untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan. Dalam kasus CLS, menjadi sebuah pertanyaan besar tentang bagaimana status dari akun-akun (Whatsapp, Instagram, dan Gojek) CLS dan anggotanya yang menjadi objek serangan siber.

Kemudian bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh CLS dan anggotanya untuk menangani kasus tersebut? Meskipun terdapat upaya hukum yang dapat dilakukan, namun kita tidak dapat menutup mata pada kondisi lack of rule of law yang masih terjadi di Indonesia. Perbaikan-perbaikan serta pembentukan aturan perlu untuk terus dilakukan guna melindungi pengguna sistem elektronik, khususnya terhadap keamanan data pribadinya. Dalam masa yang serba menggunakan internet, jika internet tersebut tidak aman maka penggunaan internet sebagai suatu yang fundamental harus dipertanyakan. Pembentukan aturan yang lebih tegas, jelas, dan lengkap dapat pula mendorong pertanggungjawaban penyelenggara sistem elektronik dalam melindungi data penggunanya serta dapat mendorong kesadaran masyarakat agar bijak dalam menggunakan sistem elektronik.

Saat ini belum terdapat satu Undang-Undang tersendiri terkait perlindungan data pribadi di Indonesia melainkan tersebar dalam berbagai Undang-Undang seperti Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang didalamnya diatur mengenai data pribadi nasabah hingga pada Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur data pribadi pasien. Begitu Pula dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang juga mengupayakan perlindungan terhadap data pribadi dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dari sekian banyak Undang-Undang di atas tentunya bisa membawa permasalahan penegakan hukum yang masih bersifat sektoral. Belum lagi secara materil beberapa Undang-Undang di atas bukannya tanpa masalah, contohnya dalam pasal 34i UU Pelayanan Publik memang mengatur mengenai pelaksana pelayanan publik tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai peraturan perundang-undangan. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai bentuk dokumen atau informasi yang wajib dirahasiakan dan akibat hukum apabila terdapat ‘kebocoran’.

Kelemahan ini didukung data bahwa pada tahun 2016 Indonesia merupakan negara paling rentan kedua di dunia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir terkait serangan siber yang salah satunya penyebabnya adalah kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintahan yang menyelenggarakan urusan siber karena kuatnya ego sektoral antar lembaga.[28] Tentunya atas permasalahan ini yang nantinya dirugikan adalah masyarakat karena tidak ada perlindungan secara optimal terhadap keamanan data pribadi disana. Oleh sebab itu, perlu dibuat suatu Undang-Undang tersendiri mengenai permasalahan ini yang sebenarnya sudah dibuat RUU Perlindungan Data Pribadi yang pada 24 Januari 2020 telah diserahkan Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat.[29] Tentunya diharapkan adanya political will pada para pembentuk Undang-Undang untuk segera merampungkan tahapan pembentukan Undang-Undang a quo karena secara filosofis hal ini merupakan manifestasi nyata kehadiran negara dalam memajukan kesejahteraan umum dan upaya perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara. Begitu Pula secara sosiologis apabila melihat banyaknya pengguna internet di Indonesia yang bersamaan pula banyaknya fenomena peretasan terhadap individu tertentu dapat disimpulkan materi muatan RUU ini sudah menjadi kebutuhan hukum masyarakat. Dengan disahkannya RUU ini kelak permasalahan-permasalahan mengenai ego sektoral, kejelasan kewenangan, hingga ruang lingkup pengaturan mengenai perlindungan data pribadi dapat diatasi agar memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

D. SIKAP GMNI FAKULTAS HUKUM UGM

Melihat dari analisis peristiwa dan kejadian tersebut GMNI FH UGM merasa perlu untuk mengambil sikap dan posisi. Berdasarkan analisis yang dilakukan tersebut pada akhirnya GMNI FH UGM menyatakan sikap sebagai berikut:

Mengenai miskonsepsi oknum dosen UGM,

  1. Menyatakan bahwa Ir. KPH. Bagas Pujilaksono M.Sc, Lic.Eng, PhD telah salah dalam menganggap dan memberitakan bahwa diskusi yang dilakukan oleh CLS merupakan suatu bentuk perbuatan makar;
  2. Menyatakan bahwa Ir. KPH. Bagas Pujilaksono, M.Sc. Lic.Eng, Ph.D selaku dosen dan akademisi telah memberikan pernyataan yang menggiring opini publik secara negatif dan tidak mencerminkan pendapat yang objektif serta berlandaskan argumen ilmiah atas suatu wacana; dan
  3. Mendesak dan meminta agar UGM melakukan tindakan terhadap pernyataan Ir. KPH. Bagas Puji Laksono, M.Sc., Lic.Eng, Ph.D yang tidak sesuai dengan etika sebagai dosen.

Mengenai pengekangan terhadap kebebasan akademik,

  1. Menyatakan bahwa seluruh peristiwa tersebut telah mengekang kebebasan akademik yang seharusnya dijunjung tinggi dalam kampus;
  2. Meminta pihak terkait yang melakukan pengekangan agar meminta maaf kepada CLS UGM secara langsung; dan
  3. Meminta pihak yang berwenang untuk menindak tindakan terkait pengekangan kebebasan akademik karena sudah dilindungi undang-undang.

Mengenai ancaman teror dan pelanggaran privasi data,

  1. Menyatakan bahwa perbuatan teror dan pelanggaran privasi data merupakan suatu pelanggaran hukum dan dapat terkena pemidanaan;
  2. Menyayangkan dan mengecam segala bentuk teror dan pelanggaran privasi data yang dilakukan terhadap CLS dan anggotanya;
  3. Meminta kepada pemegang kekuasaan untuk senantiasa membentuk sistem perlindungan hukum yang adaptif dengan perkembangan zaman di bidang informasi serta memulai kembali untuk membahas RUU Perlindungan Data Pribadi;
  4. Menyarankan kepada penyedia sistem elektronik untuk memperhatikan dan menanggulangi peretasan-peretasan yang terjadi baik terhadap CLS dan masyarakat luas; dan
  5. Menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk berhati-hati dalam menggunakan media sosial dan internet.

Kontributor : Yeremia Dwi Hartanto, Havik Indra, Tariq Hidayat P., Shafira Dinda Ariesti, Beby Putri Adriansa Pane, Sekar Aureldina, Gaberiela Miracle, Vadyasllysaa, & Richard Prasetya.

Referensi

[1] Berita terkait dengan pemberitaan oknum dosen UGM yang memberitakan bahwa CLS merupakan gerakan makar dapat diakses di: Bagas Pujilaksono, “Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid-19”, https://www.tagar.id/gerakan-makar-di-ugm-saat-jokowi-sibuk-atasi-covid19, diakses tanggal 31 Mei 2020.

[2] Ibid.

[3] Eddy O. S.Hiariej, 2016, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm.328

[4] MvT (Memorie van Teolichting) adalah risalah atau catatan yang berisi penjelasan yang melatarbelakangi rumusan pasal-pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan sebagai sumber interpretasi hukum.

[5] ICJR, 2017, “Mengembalikan Makna “Makar” dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta, hlm. 105

[6] Ibid.

[7] Eddy O. S. Hiariej, “Makar, Hasut, atau Hoaks”, Kompas, 15 Mei 2019.

[8] Kumparan.com, “Diskusi ‘Pemecatan Presiden’ di UGM Berbuntut Teror ke Pengisi dan Panitia Acara”, https://kumparan.com/kumparannews/diskusi-pemecatan-presiden-di-ugm-berbuntut-teror-ke-pengisi-dan-panitia-acara-1tVm6oBG901, diakses 31 Mei 2020.

[9] Robin Barrow, “Academic Freedom: Its Nature, Extent and Value”, British Journal of Educational Studies, Vol. 57, №2, June, 2009, hlm. 178

[10] Ibid.

[11] Ibid, hlm. 181.

[12] Sulistyowati Irianto, “Kebebasan Akademik Itu…”, https://edukasi.kompas.com/read/2012/05/05/1237102/kebebasan.akademik.itu?page=all, diakses pada 31 Mei 2019

[13] Natangsa Surbakti, S.H., M.Hum., Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan dalam Hukum Indonesia”, Jurisprudence, Vol. 1, №2, September 2006, Hal 166.

[14] Robin Barrow, “Academic Freedom: Its Nature, Extent and Value”, British Journal of Educational Studies, Vol. 57, №2, June, 2009, hlm. 180

[15] Emily Louise Bowman, “Academic freedom matters for everyone”, diakses melalui https://share.america.gov/academic-freedom-matters-for-everyone/, 31 Mei 2020

[16] Rizma Riyandi, “Diskusi LGBT dibatalkan di UGM, ini kata Panitia”, https://republika.co.id/berita/ofhfpl377/diskusi-lgbt-dibatalkan-di-ugm-ini-kata-panitia, diakses tanggal 31 Mei 2020.

[17] Kumparan, https://kumparan.com/kumparannews/ahli-digital-forensik-kasus-ravio-motif-peretasan-baru-di-indonesia-1tK7ifuiRQG diakses pada 30 Mei 2020.

[18] European Panel for Future Science and Technology, “Harmful Internet Use, Part II: Impact on Culture and Society”, cet. 1, hlm 13.

[19] Press Release Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Perihal Diskusi Mahasiswa Constitutional Law Society, 29 Mei 2020.

[20] Press Release Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Nomor 001/PRSRLS/CLS/2020 Perihal Press Release Pembatalan Kegiatan Diskusi dan Silaturahmi bersama Negarawan tanggal 30 Mei 2020.

[21] Eric Rosenbaum, “Tech spending will near $4 trillion this year. Here’s where all the money is going and why”, https://www.cnbc.com/2019/04/08/4-trillion-in-tech-spending-in-2019-heres-where-the-money-is-going.html, diakses tanggal 31 Mei 2020.

[22] Tony Room, “Equifax to pay up to $700 million to settle state and federal investigations into 2017 security breach”, https://www.washingtonpost.com/technology/2019/07/22/equifax-pay-up-million-settle-state-federal-investigations-into-security-breach/, diakses tanggal 31 Mei 2020.

[23] Jonathan Stempel, “Yahoo strikes $117.5 million data breach settlement after earlier accord rejected”, https://www.reuters.com/article/us-verizon-yahoo/yahoo-strikes-117-5-million-data-breach-settlement-after-earlier-accord-rejected-idUSKCN1RL1H1, diakses tanggal 31 Mei 2020.

[24] Thompson Reuters, “Who is liable when a data breach occurs?”, https://legal.thomsonreuters.com/en/insights/articles/data-breach-liability, diakses tanggal 31 Mei 2020.

[25] Article 25 bis Article 32 GDPR

[26] Article 33 GDPR

[27] Article 83 GDPR

[28] Leonardus Nugraha dan Dinanti Putri, 2016, Mapping the Cyber Policy Landscape: Indonesia, London: Global Partner Digital. hlm. 8.

[29] Mochamad Januar Rizki https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e314822acef0/telah-diserahkan-ke-dpr--ini-materi-muatan-ruu-perlindungan-data-pribadi/, diakses pada 30 Mei 2020.

--

--

GMNI FH UGM
GMNI FH UGM

cerita, pengalaman, dan tulisan teman-teman GMNI FH UGM