Sharing Pelayanan — TPS (Tim Pembimbing Siswa)

Gohan Parningotan
Gohan Parningotan
Published in
3 min readApr 11, 2018
@PSKJ_Depok

Pelayanan Siswa di masa Mahasiswa?

Satu hal yang terbayang oleh saya ketika akan menjadi seorang mahasiswa adalah lingkungan dan aturan yang bebas. Dua belas tahun kita menempuh pendidikan SD sampai SMA merupakan proses pendidikan yang sangat ketat. Tidak boleh bolos sekolah, harus menggunakan seragam rapih lengkap dengan berbagai atributnya, tidak mengerjakan PR berarti dimarahi guru, dan berbagai aturan ketat lainnya. Aturan-aturan ketat seperti ini tidak akan lagi kamu temukan di Universitas dan ketika saya masuk Fakultas Ilmu Komputer UI, hal ini terbukti. Mahasiswa adalah seorang yang bebas menentukan kegiatan yang diinginkannya dan apa yang ingin dikejarnya.

Dunia mahasiswa memang berbeda dengan dunia siswa, tetapi sebetulnya ada satu hal yang selalu sama dalam dunia siswa dan mahasiswa, yaitu kita orang yang sudah menerima Kristus dipanggil untuk terus melayani Allah. Ketika lulus SMA, saya memang sudah sangat rindu untuk bergabung dengan pelayanan siswa di Persekutuan Siswa Kristen Depok. Di suatu sore, dua orang kakak TPS (Tim Pembimbing Siswa) ­dan staf siswa PSKJ Depok waktu itu (sebut saja Bang Zeki) mengajak saya bertemu untuk cerita tentang pelayanan ini dan saya sudah punya jawaban untuk pergumulan ini. Dalam hati saya, saya sudah sangat yakin untuk melayani di persekutuan siswa Depok dan Jakarta selama empat tahun masa kuliah saya.

Ketika bergumul untuk menjadi TPS, saya diteguhkan oleh sebuah tulisan yang saya baca. Tulisan itu berisi tentang sejarah hidup seorang ustad yang dulunya adalah seorang siswa Rohkris. Kisahnya bermula dari pergulan iman siswa tersebut mencari jawaban tentang siapa Allah. Dia bertanya kepada teman dan guru agamanya, namun sayangnya dia tidak mendapatkan jawaban yang jelas tentang iman Kristennya dan mereka justru meminta anak itu untuk tidak mempertanyakan iman Kristennya dan cukup percaya saja tanpa perlu mendalami iman Kristennya. Anak itu pun bingung terhadap jawaban teman dan gurunya itu, hingga akhirnya dia menemui seorang pemuka agama lain dan akhirnya memutuskan untuk berpindah keyakinan. Dari situlah saya sadar bahwa masih ada begitu banyak siswa yang butuh dilayani dan masih banyak Rohkris di Jakarta, Depok, bahkan kota-kota lain yang butuh diberitakan Injil dengan lantang. Siswa merupakan seorang yang masih mencari jawaban tentang banyak hal dan itu adalah masa yang tepat untuk mereka mendengar Injil sebelum hal-hal lain merusak pemahaman mereka.

Saya bersyukur bisa mendapatkan konfirmasi yang mendalam untuk melayani siswa kembali, tetapi masa mahasiswa yang bebas itu memberikan saya berbagai opsi lain yang sangat menarik. Ketika memulai semester pertama saya, saya sadar bahwa saya dikelilingi banyak peluang-peluang berharga, seperti menjadi kepala di suatu organisasi bergengsi di fakultas/universitas, pertukaran pelajar ke luar negeri, menjadi ambassador suatu perusahaan ternama serta mendapat pelatihan kepmimpinan, dan memenangkan kompetisi teknologi berskala nasional bahkan internasional. Saat itu saya berpikir bahwa tentu mengikuti hal tersebut bukanlah hal yang buruk dan justru bisa menambah kemampuan saya dalam berbagai bidang.

Dalam perenungan, saya akhirnya sadar ada satu hal yang saya pelajari melalui pelayanan, yang tidak saya dapat dari mengikuti berbagai peluang tersebut. Pelayanan mengajarkan saya untuk mengasihi, berkorban bagi orang lain. Ketika banyak mahasiswa mengejar nama baik dan banyaknya organisasi di CV, Allah menolong saya mengerti bahwa melalui pelayanan saya bisa belajar hal yang lebih penting dibanding itu semua. Saya belajar mengasihi, secara khusus mengasihi siswa. Belajar mengasihi begitu penting karena tanpa kasih sesungguhnya kita tidak akan bisa menjadi seorang pemimpin atau menjadi seorang alumni Kristen yang berkorban untuk bangsa ini dan justru menjadi alumni yang mengejar hal-hal dunia, seperti kuasa, nama baik, dan uang.

Saya bukannya orang yang anti dengan berbagai peluang luar biasa tersebut dan saya justru mempunyai prinsip bahwa seorang yang melayani juga harus memiliki prestasi yang bagus di kuliahnya. Pelayanan seharusnya tidak menjadi alasan bagi seorang mahasiswa Kristen untuk memiliki prestasi yang lebih buruk dibanding mahasiswa lain. Selama menjadi mahasiswa saya sempat menjadi panitia acara paling bergengsi di kampus, beberapa kali mengikuti kompetisi teknologi bersama tim saya, dan juga mengerjakan beberapa proyek lain untuk menambah uang jajan dan ongkos pelayanan, tetapi saya sadar bahwa panggilan saya yang utama tetap sama, yaitu untuk setia melayani Allah baik ketika siswa maupun mahasiswa.

Ya, dunia mahasiswa memang bebas sekali dan seorang mahasiswa punya sangat banyak opsi yang dapat dipilihnya. Tapi saya sebagai mahasiswa yang sudah dipanggil menjadi murid Kristus, pundak saya memikul dua hal. Studi di sebelah kanan dan pelayanan di sebelah kiri. Untuk kamu calon mahasiswa, selamat memilih! — Gohan Parningotan

--

--