Distraksi Kepercayaan Diri

Rico Azhari Susilo
Goodwill Journal
Published in
3 min readJun 14, 2020

Waktu kecil, pernah ada suatu masa dimana kita merasa bisa melakukan apapun. Hal-hal yang keren selalu ada dalam benak kita, dan kita selalu percaya bahwa kita bisa melakukan semuanya. Seperti melompati pagar setinggi dua meter, berlari secepat kilat, mengendarai sepeda gunung, atau melakukan break dance seperti layaknya profesional — meskipun kenyataannya tidak begitu.

Saat di bangku sekolah dasar, mungkin kita pernah merasa memiliki geng terkeren seantero jagat raya, yang masing-masing anggotanya memiliki julukan masing-masing. Entah siapa yang memberikan, tapi semua terasa menyenangkan. Ya, waktu kecil kita memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Kita terbiasa hidup dengan pujian, ketika berhasil menjawab pertanyaan di depan kelas, ketika berhasil menyelesaikan puzzle sticker, afirmasi positif selalu datang. Baik dari teman, orang tua, guru, maupun support system lainnya.

Namun ketika kita mulai memasuki fase berkarir, kita akan dihadapkan dengan berbagai pilihan hidup yang memiliki konsekuensi. Menerima kenyataan bahwa dunia terkadang tidak lembut, mengetahui bahwa ada lingkungan yang kompetitif.

Kita akan merindukan afirmasi positif yang belakangan ini jarang berkunjung. Pada saat itulah muncul distraksi kepercayaan diri.

Jika kita ambil contoh, ada seorang fresh graduate yang memulai karirnya di sebuah perusahaan. Disana ia dihadapkan dengan berbagai macam target atau yang sering disebut KPI, juga berbagai metode dan culture kerja yang baru. Butuh waktu untuk bisa selaras dengan metode baru. Ketika tidak kunjung sesuai, distraksi kepercayaan diri cenderung muncul. Tidak ada lagi sumber afirmasi mengakibatnya tumbuhnya perasaan negatif, gelisah akan salah dan khawatir tidak memiliki kapabilitas mendekatkan diri pada perasaan depresi.

Padahal, pemain bola yang baru pertama kali bermain di tim profesional pun butuh waktu untuk selaras dengan tim. Jangankan mencetak gol, ia mungkin akan terlihat kaku dan kebingungan dalam permainan.

Namun, distraksi ini didukung oleh standarisasi penilaian dari perusahaan yang mungkin keliru, tolak ukur yang diseragamkan memunculkan adanya komparasi antara satu individu dengan individu lain. Kolaborasi seringkali menjadi fana, individu yang terbaik dalam lingkungan tersebut akan dijadikan contoh. Individu lain diminta untuk mengikutinya. Ya, mengikuti, mengikuti caranya, mengikuti sikapnya, mengikuti metodenya, dengan harapan hasilnya sama. Dampaknya, kepercayaan diri menghilang perlahan.

Ditambah lagi dengan budaya ‘approval’ yang berlebihan, tujuannya menjaga standar tapi dampaknya malah membunuh inisiasi dan ide. Jangankan diminta untuk mengeluarkan ide, untuk berkomentar pun rasanya tidak layak, gelisah akan salah, kepercayaan diri terdistraksi ke titik optimal dan lama lama hilang.

Kita mungkin pernah mengalami fase distraksi tersebut. Kabar buruknya, kehilangan kepercayaan diri bisa berdampak panjang, meskipun telah masuk ke ekosistem yang baru, takut akan mengemukakan pendapat dan ideologi bisa jadi terus berlanjut.

Penting bagi kita untuk selalu mengetahui tujuan dari setiap fase kehidupan yang kita jalani. Selalu ingat bahwa bukan hanya organisasi yang kita tempati yang punya tujuan, tapi kita sebagai insan juga punya tujuan. Semua orang pasti ingin sukses, namun definisi sukses disini pasti berbeda-beda, karenanya cara untuk mencapainya pun berbeda.

Metode ada untuk di cerna, bukan hanya untuk diikuti, lihat bagaimana metode tersebut membantu kita mencapai tujuan. Jika metode hanya untuk diikuti, kita semua mungkin akan jadi produk dengan keunggulan dan cacat yang seragam.

Percayalah, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi pasti punya cara menendang bola yang berbeda meskipun tujuan keduanya adalah untuk mencetak gol.

Penting rasanya untuk mengenal diri sendiri, karena sumber afirmasi juga ada dari dalam diri.

Ketika distraksi tersebut mulai muncul, segera berikan afirmasi positif pada diri. Temukan support system yang mendukung tujuan yang kita bangun sejak awal. Butuh waktu memang, tapi coba mulai dari hal terkecil, jadikan diri sendiri bagian dari support system tersebut.

Membangun diri memang tidak mudah, karena kita semua pasti pernah salah. Namun percayalah, kita semua ditunggu untuk berdaya, jadi teruslah berupaya.

--

--