Kesadaran yang Tidak Didasari

Rico Azhari Susilo
Goodwill Journal
Published in
3 min readJul 28, 2020

‘Jadi, ga ada alasan untuk ga bisa self-improvement di era ini’.
Kata salah satu pembicara IG Live yang saya tonton akhir pekan lalu.

Rasa penasaran mendorong saya untuk melanjutkan pencarian tentang cara memaksimalkan self-improvement. Alih-alih membaca buku, saya memilih solusi instan dan cepat dengan membaca singkat kumpulan microblog dari instagram. Dua tiga jam lebih dihabiskan, mungkin lebih dari 50 tips produktivitas saya dapatkan, puluhan nasihat tentang cara belajar & puluhan quote yang menggetarkan jiwa.

Tapi, gaada satupun yang saya terapkan. Yes, I did nothing.

Judul buku Simon Sinek kali ini masuk ke dalam pikiran, Start With Why, begitu tertulis.

Saya bertanya mengapa, lalu melakukan hal yang sama, mencari solusi instan lewat microblog dan mendapatkan puluhan jawaban, tapi tidak ada satupun yang memuaskan ‘why’ yang sedang berusaha saya jinakkan.

Setelah berjam-jam berkutat dengan si ‘why’, kalimat singkat ini menyadarkan saya. Saya tidak melakukan apapun, karena saya tidak benar-benar menginginkannya, saya cuma bilang saya mau.

Kesadaran saya muncul tanpa didasari, konten yang saya konsumsi yang mengarahkan saya untuk mencari, memikirkan dan mengetahui. Bukan saya yang benar-benar ingin memahami, menerapkan, dan menjalani.

Hal ini pernah dikemukakan Seth Godin, lewat konsepnya ‘saying-doing gap’. We say we want it, but we don’t act like we want it.

Dari sudut pandang komunikasi, konten yang saya konsumsi tadi yang menjadi dorongan. Bukan karena saya sedang ingin belajar self-improvement, tapi karena takut ketinggalan akan tren ‘self-improvement’.

Ditambah lagi saya bisa terpapar tentang self-improvement mungkin sehari tiga kali karena algoritma instagram.

Di era ini, paparan konten bisa mendorong ketakutan akan ketinggalan tren jadi lebih tinggi dibanding keinginan memenuhi diri.

Kita lebih banyak menghabiskan waktu melihat konten dibanding bicara dengan diri dan bertanya apa yang sebenarnya dibutuhkan.

Hasilnya, kita memiliki kesadaran atas apa yang kita inginkan, tapi tidak didasari oleh apa yang kita butuhkan.

Mungkin saja, untuk saat ini yang saya butuhkan justru bukan ngebut self-improvement, tapi memberi reward pada diri atas pencapaian sebelumnya. Karena takut ketinggalan tren, saya memilih memaksa diri ikut-ikutan self-improvement tanpa ada hasilnya.

Tapi, influencer kesukaan saya sedang ramai-ramainya menggaungkan tentang self improvement. Masa saya harus dengerin diri sendiri?

Terkadang ‘influencer kesukaan’ membuat kita menjadi lupa mempertanyakan segala hal. Menurut Darius Foroux, setelah punya kesukaan seringkali kita menutup kemungkinan akan pendapat lain.

Padahal, seringkali ada banyak tips influencer yang sifatnya saling kontradiktif, kita seringkali menjadi defensif akan pendapat dan gagasan lain karena konten yang kita konsumsi, hal ini bahkan bisa terjadi tanpa disadari.

Mempertanyakan segala hal bukan berarti menjadi skeptis atau terlalu kritis. Namun tujuannya untuk memiliki kesadaran yang memang didasari kebutuhan diri.

Setelah terpapar dengan tren, coba berikan pertanyaan pada diri : Mengapa saya menginginkannya? Mengapa saya melakukannya? Apakah saya memang membutuhkannya?

Hal ini akan mendorong kita merespon konten dengan perspektif yang berbeda. Memilih untuk lebih memahami sebelum menjalani & tidak terburu-buru karena terbawa arus komunikasi.

Karena menjadi audience di era ‘too much content’ bukan berarti harus menjadi pribadi yang lupa mendengarkan diri.

--

--