Kumpul Keluarga : Tempat Bersandar atau Ber’standar’?

Rico Azhari Susilo
Goodwill Journal
Published in
2 min readMay 15, 2021

We’ve been told throughout our lives that family is important.

Jadi, momen lebaran ini akan jadi momen yang ditunggu-tunggu untuk sebagian orang karena lebaran waktunya pulang, ketemu keluarga dan bahagia.

Beberapa orang ada yang udah gak sabar cerita pengalaman hidupnya, tapi ada juga yang campur tegang karena takut dapet pertanyaan dan pernyataan ‘khas’ kumpul keluarga.

______________

Yang kuliah : Kuliah dimana? Kapan lulus? Kok belum lulus-lulus?

Yang kerja : Kerja dimana sekarang? Gajinya gede dong ya?

Yang meresahkan : Eeeeh kamu gendutan ya? Kurusan ya? Iteman ya? Pacarnya mana? Lebih pendek ya dibanding fotonya? Kalau keterusan mungkin sampe nanya saldo rekening terakhir.

Yang legend : Kapan nikah?

______________

Sebetulnya sah-sah aja kalau tensi dari sesi ‘interogasi’ itu masih dalam batas wajar, tapi serem kalau justru momen kumpul keluarga berubah jadi momen judgment day dan bikin jadi takut untuk terbuka dan bercerita.

Salah satu brand teh terkenal pernah melakukan survey dan menunjukkan bahwa tingkat keterbukaan keluarga Indonesia cenderung rendah. Setengah respondennya menyatakan cuma mengungkapkan bagian yang mudah dan aman untuk dibicarakan.

Seharusnya, keluarga menjadi the first and last support system yang ada di setiap fase kehidupan kita, tapi kadang keluarga justru sering menjadi sumber standar pencapaian dalam kehidupan.

Keluarga seharusnya tempat terbaik untuk melihat bentuk loving unconditionally, the place that unperfection is accepted. Bukan tempat saling menilai kekurangan, membandingkan kelebihan, intoleransi, sampai akhirnya jadi sumber sakit hati.

Konsep menilai dan memberi standar dalam keluarga bisa muncul juga dari rasa kasih sayang dan kekhawatiran jika ada anggota keluarga kita yang kesusahan kelak. Tapi penting juga memahami konsep bahwa setiap orang memiliki fase yang sedang dijalani dalam kehidupannya.

Jangan sampai kumpul keluarga hanya menyenangkan bagi mereka yang sedang berhasil, dan menguras emosi lahir batin bagi mereka yang sedang berjuang.

Padahal justru mereka yang sedang berjuanglah yang butuh keluarganya saat ini. Jangan salahkan mereka yang malas untuk bercerita atau bahkan pulang, karena untuk apa mereka pulang kalau tau hasilnya cuma mental breakdance — (baca:sakit hati).

Situasi dan kondisi yang sudah terlanjur memang sulit ditaklukan, tapi untuk menjadi supportive family bisa dimulai dari kita kok. Sesederhana mulai dari dua hal:

Respect and realize that everyone has their own phase.

Listening without judging.

Seringnya judgement itu muncul tanpa sadar, niatnya basa-basi tapi lewat boundaries-nya. Atau niatnya komentar tipis-tipis, eh hasilnya bikin pede orang lain jadi tipis.

Yuk mari kita mulai jadi anggota family yang supportive. Karena keluarga adalah tempat bersandar, bukan ber’standar’.

And family should be the place that provides us unlimited and unconditional love forever.

.

--

--