Seandainya COVID-19 ini Manusia. Kamu Mau Bilang Apa?

Rico Azhari Susilo
Goodwill Journal
Published in
3 min readSep 13, 2020

“Gimana pak, pandemi ini?”, kata supir taksi yang sedang saya tumpangi.

Saya enggan menjawab, tapi kata demi kata keluar begitu saja dari mulut saya. Berbuntut obrolan panjang sampai kita ditujuan.

Belakangan ini, topik pembicaraan saya dengan orang baru masih cenderung jatuh pada pandemi COVID-19. Meskipun rasanya bosan, tapi anehnya topik ini masih punya akar panjang yang bisa dibahas hingga berjam-jam. Mulai dari obrolan grup whatsapp sampai obrolan di workshop online.

Dari situ terpikir oleh saya untuk membahas pandemi ini dengan cara yang lebih ringan, seperti gosip.

Mengutip Megan Robbins, asisten professor psikologi di The University of California, [Gosip] adalah sesuatu yang datang secara alami. Nah untuk bisa ngegosip, kita harus mengibaratkan si pandemi COVID-19 ini sebagai manusia.

Kalau pandemi COVID-19 ini dianalogikan jadi manusia, apa yang mau disampaikan?

Si Pembuat Onar

Tentu sudah jelas, manusia yang satu ini telah menerima miliaran ejekan setiap harinya dari seluruh penjuru dunia. Karena onar yang dibuatnya merugikan seluruh dunia.

Ada banyak perspektif tentangnya. Tapi untuk saya, si pembuat onar ini jelas punya skala onar yang sangat besar. Saya sendiri tidak tau persis berapa besar dampak yang dihasilkannya.

Ketidaknyamanan

Manusia yang satu ini juga sukses menciptakan berbagai kondisi tidak nyaman.

Mengutip cerita salah satu teman saya yang baru selesai dari pendidikan tingginya, kondisi tidak nyaman dialaminya karena harus terus diam dirumah bersama dengan orang tua yang selalu bertanya ‘’kamu ga cari kerja?’ atau ‘kapan kamu dapat kerja?’.

Ditambah sindiran-sindiran kecil setiap hari ketika melihat anaknya sedang menonton serial netflix kesukaannya, ‘Enak ya, kerjaan kamu cuma nonton aja’. Jelas rasanya sangat tidak nyaman.

Padahal bukan berarti teman saya ini tidak berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan atau bahkan untuk produktif. Segala usaha telah dilakukannya, tapi kondisi yang disebabkan pandemi COVID-19 yang kita analogikan sebagai manusia ini yang juga menyebabkan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai.

Masih banyak lagi cerita ketidaknyamanan yang dialami teman saya, atau bahkan saya sendiri. Jika semua dikutip, mungkin tulisan ini akan jadi lebih tebal dari tesis.

Memunculkan Empati

Tapi secara tidak langsung, kondisi tidak nyaman itu mengajarkan kita untuk saling berempati. Ya, si pandemi ini juga memaksa kita untuk tidak memandang suatu kejadian secara instan. Banyak empati yang harus dialirkan sebelum mengkoreksi.

Contohnya, ketika seorang team leader dari divisi penjualan produk merasa performa anggotanya menurun, dia tidak langsung menghakimi. Ternyata, ketika dicari tahu lebih dalam, si anggota harus mengurus 3 anaknya yang terpaksa sekolah online, mulai dari level taman kanak-kanak hingga SMP. Karena empati, si team leader memberi keringanan dengan menurunkan target penjualan.

Menguji Kepercayaan & Ketidakpercayaan

Si pandemi ini juga menguji kepercayaan dan ketidakpercayaan. Tentu si pandemi sering diisukan erat dengan konspirasi.

Ada banyak gerakan-gerakan penentangan protokol kesehatan, hingga ketidakpercayaan akan hadirnya si pandemi ini. Dari kejadian-kejadian itu, kita diminta memilih percaya siapa atau bahkan percaya apa. Tapi tenang, tulisan ini tidak akan membahas ada atau tidaknya si pandemi ini. Berat.

Pemantik Kebaikan & Kepedulian

Mengesampingkan emosi, saya mencoba netral dan melihat si pandemi ini dari sudut pandang yang lain.

Ternyata, ia juga menjadi pemantik lahirnya banyak kebaikan dan kepedulian diseluruh penjuru dunia. Mulai dari aktivis hingga brand yang menggalang dana untuk meringankan beban mereka yang terdampak, bagi-bagi makanan gratis di perempatan jalan, sampai hotel-hotel yang dialih fungsikan menjadi tempat tinggal sementara bagi tenaga medis.

Ada banyak juga kebaikan yang terjadi tanpa kita sadari, meskipun terkadang luput dari pandangan karena besarnya onar yang dibuat si pandemi ini.

Mempersiapkan Kondisi Anomali

Si pandemi juga mengingatkan kita untuk mempersiapkan kondisi anomali. Hal-hal yang tidak terduga, hal-hal yang tidak dapat di prediksi.

Sehingga ambisi dan mimpi bisa di susun rapi agar apinya tidak seketika hancur ketika ada kondisi anomali. Ia mengajarkan kita untuk siap ada di kondisi terbaik dan terburuk, dan tanpa sadar juga mengajarkan kita untuk beradaptasi ke berbagai kondisi.

Jadi, seandainya pandemi ini seorang manusia, apa yang ingin disampaikan?

Kalau saya sederhana :

“Ingin rasanya pandemi ini segera pergi, tapi kebaikan dan kepedulian yang disebabkannya tetap tinggal disini”.

--

--