Hari Guru dan Budaya Helping Relationship: Sebuah Cita

GREDU
Kolom GREDU
Published in
3 min readNov 26, 2019

--

Guru membantu jutaan anak meraih mimpi. Siapa yang membantu guru meraih mimpinya?

Designed by Sapann-Design

Waktu masih SMA, ada tradisi unik yang dijalani sekolah saya tiap Hari Guru tiba di tanggal 25 November. Sebenarnya sederhana, hanya suatu kegiatan upacara pengibaran bendera yang lazim dilakukan pada hari besar nasional lainnya. Namun, yang membuat sekolah saya sedikit berbeda adalah karena ia memodifikasi tata cara pelaksanaan upacara bendera di sekolah (saat ini diatur di Permendikbud No. 22 Tahun 2018) dengan membuat guru berperan sebagai pejabat dan petugas upacara. Untunglah sekolah saya memiliki cukup banyak guru, sehingga jumlahnya memadai untuk menjadi pejabat dan petugas upacara, membiarkan seluruh siswa bekerja sebagai peserta.

Hal unik lainnya, yang menurut saya terasa magis, adalah ketika Kepala Sekolah sebagai pembina upacara membaca Ikrar Guru saat memberi amanat. Beliau juga mengekspresikan apresiasinya pada guru-guru, tidak hanya untuk yang di sekolah saya, tapi juga di seluruh Indonesia. Bagaimana sesama rekan guru mendukung satu sama lain, mengingatkan saya bahwa mereka juga manusia. Bahwa beban saya sebagai siswa dan mereka sebagai guru, tidak seharusnya dibanding-bandingkan, apalagi dikerdilkan. Sebab sebagaimana saya, saat itu, tiap Senin ‘dicuci otak’ dengan Janji Siswa, mereka juga punya Ikrar Guru, yang bahkan disumpah di hadapan saksi-saksi dan dinyatakan melalui hitam di atas putih.

Di lain waktu, hal magis lainnya yang pernah saya rasakan tentang guru adalah saat menjemput teman saya di kelas lain untuk pulang bersama. Kebetulan, kelas saya selesai lebih dulu, sehingga saya memilih mengintip kegiatan kelasnya dari jendela. Pelajaran PPKn (sekarang Kewarganegaraan) yang juga saya ikuti tadi pagi. Dibimbing guru yang sama, Pak Latief (kadang disebut Pak Lotso, sebab mirip tokoh Lotso di Toy Story 3). Tentang materi yang sama. Diberi tugas yang sama, mengerjakan LKS.

Suasananya pun nampak sama. Sambil bercanda, para siswa mengerjakan LKS. Kemudian, Pak Latief beranjak dari kursi dan mulai mengajar lagi, memberi arahan dalam mengerjakan LKS itu.

Caranya pun sama.

Beliau bilang, “Nomor 6 dan 7 ada jawabannya di halaman sebelumnya!”

Beliau bilang, “Faktor geografis itu berpengaruh pada ideologi.”

Beliau bilang, “Kebebasan tetap harus ada batasannya.”

Beliau mengangkat-angkat tangan kanannya, seperti waktu mengajar di kelas saya. Beliau memandang siswanya dengan pandangan sayu yang berwibawa, seperti waktu mengajar di kelas saya. Beliau tertawa pada penjelasan yang dianggapnya lucu, seperti waktu mengajar di kelas saya. Beliau juga mengakhiri pelajaran dengan cara yang sama, seperti waktu mengajar di kelas saya.

Kalau saya bosan saat di kelas, harusnya Pak Latief lebih bosan dari saya.

Guru bukan sekadar profesi. Guru adalah suatu jalan hidup yang hanya bisa diambil manusia-manusia pemberani. Bahkan, menurut artikel Humanizing Teacher Education oleh Robert Blume, seorang guru idealnya adalah mereka dengan kesehatan mental yang lebih baik dari orang biasa — a true self-actualizers yang kreatif, mampu memotivasi diri sendiri, dan mudah disukai orang lain. Hal tersebut menjadi penting karena guru yang baik, ternyata bukanlah guru yang paling pintar, tapi yang dapat membangun hubungan yang membantu (helping relationship) dengan para siswanya.

Melihat perjuangan Pak Latief, dan para guru serupa Oemar Bakrie lainnya, membuat saya menyadari bahwa guru memang bukan dinilai dari ilmu yang dimiliki atau pendidikan yang diraih saja, tapi tentang bagaimana ikhlasnya mereka membangun helping relationship berulang kali, setiap hari, untuk setahun berikutnya, dan untuk setahun berikutnya lagi, sampai tiba masa pensiun. Menerima pertanyaan yang sama, menjelaskan jawaban yang sama, memberi contoh yang sama. Barangkali, pola inilah yang membuat orang, termasuk kita, kadang lupa memberi apresiasi pada guru, ya?

Nadiem Makarim dalam pidatonya yang viral belakangan ini, secara tersirat mengajak guru memulai perubahan di dalam kelas dengan membudayakan kegiatan-kegiatan bernafas helping relationship. Namun, upaya itu sulit diwujudkan karena masalah-masalah birokrasi dan administrasi yang juga Nadiem sebutkan sebelumnya. Saya sepakat dengan Nadiem, dan karenanya memilih bergabung dengan GREDU agar bisa terlibat dalam penyelesaian masalah-masalah itu. GREDU memahami bahwa helping relationship, pada akhirnya tidak hanya dari guru ke siswa, sebab guru juga membutuhkan pertolongan. Mampu memotivasi diri sendiri, tak berarti absen dukungan orang lain.

Bentuk apresiasi GREDU kepada guru adalah dengan ‘melamarnya’ berkomitmen dalam helping relationship. Kali ini, GREDUlah yang ingin membantu. Sebab, sekali lagi, guru adalah suatu jalan hidup yang hanya bisa diambil oleh manusia-manusia pemberani.

Kalian luar biasa.

Selamat Hari Guru.

--

--

GREDU
Kolom GREDU

GREDU percaya pada Anda dan pada pendidikan yang lebih baik.