Antara Bapak, Ibu

haye
Habitat Setengah Lingkaran
3 min readOct 4, 2014

Belakangan ini berita domestik penuh cerita. Sepotong sepotong terlihat seperti sepele; melihat seutuhnya, bisa maklum kalau merasa ada kegentingan yang mendesak.

Sejujurnya kebanyakan orang bisa jadi memang sudah lelah dengan demokrasi. Mulai dari Pemilu legislatif di awal tahun, orang Indonesia dikuras energi dan harapannya untuk memilih masa depan. Melelahkan dan perlu jeda untuk rekonsiliasi antara cita cita dan realita. Maklum.

Titik baliknya mungkin sekitar dua mingguan lalu, pada periode sidang terakhir dari masa jabatan paling menyedihkan dalam sejarahnya, DPR tergesa gesa mengesahkan sejejeran Undang Undang yang dijamin mewariskan masa depan lebih suram. DPR yang baru tidak tampil menjanjikan, langsung bikin heboh pada hari pelantikan segera setelah sumpahnya diambil.

Yang paling menyakitkan untuk orang banyak mungkin adalah diambilnya hak pilih rakyat lewat pengesahan RUU Pilkada 2014. Caranya juga konyol dan dilakukan pada masa kadaluwarsa, saat DPR juga sudah kehabisan sisa legitimasinya. Basi dan bau busuknya menyesakkan.

Untuk politikus dan pengambil keputusan, yang terasa paling menohok mungkin adalah saat berebut kursi pimpinan DPR 2014–2019. Undang Undangnya gres baru dimodifikasi beberapa minggu sebelumnya: pemimpin lembaga dan aparaturnya ditunjuk lewat koalisi terbesar. PDI-P yang menang juara pertama di Pemilu Legislatif dan kandidatnya juara Presiden tidak dapat kursi dalam kepemimpinan parlemen.

Konsekwensinya tidak terlalu jelas — SBY yang dulu menang dengan suara jauh lebih besar dan partainya punya kendali mayoritas justru terjerumus dalam sumur blunder dan kadernya banyak diterali. Koalisinya tidak pernah lebih dari fatamorgana politik, gagal secara substansial dan berantakan secara visual. Masa pemerintahan Presiden Jokowi pasti akan mulai dengan kegaduhan. Maklum kalau banyak yang gelisah.

Paling sering orang bertanya, “Kenapa Ibu Mega tidak terima saja telpun dari Pak SBY?” — atau sekaligus ketemu, misalnya. Spekulasi politiknya banyak, tentang kenapa kedua Presiden Republik gagal total berkomunikasi. Terorinya biasa sarat dengan bumbu dan kegaduhan asumsi.

Sejujurnya, saya juga tidak tahu karena sama sekali tidak kenal dengan beliau beliau. Alasannya pasti banyak dan panjang lebar.

Yang membingungkan (buat saya) adalah asumsi bahwa masalah Indonesia akan kemudian bisa selesai kalau dua Presiden Republik mau saling bertelpunan. Seakan akan Indonesia ini pasangan yang tidak akur dan ketahuan selingkuh — macam Presiden Amerika — dan kalau dua orang ini bisa akur lalu akan memulihkan harapan seperti cita cita.

Mungkin karena bias gender dalam komunikasi orang Jawa. Seakan akan perempuan harus selalu mengalah dan mengangkat telepun. Tidak mempermalukan atau menempatkan lawannya dalam posisi yang terkompromi di ruang publik. Bukan teori saya tapi ada yang berpandangan demikian. Perempuan suka keras kepala, “Namanya juga betina,” kalau lagunya Iwan Fals.

Tapi bisa juga melihat dari kepala yang berbeda. Presiden Yudhoyono juga bukan figur yang bisa disebut biasa. Sepuluh tahun kepresidennya terbukti sarat retorika tapi jauh dari realita. “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” jargon reformasi yang dulu jadi judul besar legitimasi SBY sekarang direalisasikan tiap hari di layar televisi pada segmen kriminalitas. Satu dekade penuh inkompetensi sekarang yang mulai terasa mahalnya dan menakutkan masa depannya. Anggaran, infrastruktur, ekonomi, kriminalitas, kesejahteraan anak dan macam macam lain instrumen kelas menengah yang dijanjikan tampil babak belur, jauh dari yang dijanjikan.

Apa jaminannya janji dari yang sudah tidak bisa dipercaya lagi? Apalagi sekarang — segera — beliau sudah bukan Presiden lagi. Sama seperti saya, anda, Bu Mega, dan ratusan juta orang Indonesia lain. Sepuluh tahun jadi Presiden, hasilnya besar pasak dari tiang, kenapa sekarang lalu tiba tiba bisa?

Konsistensi Bu Mega dan kebiasaan PDI-Perjuangan jadi oposisi kekuasaan bisa jadi adalah aset paling besar untuk Presiden Jokowi: Saat ini, rakyat masih bisa percaya, belum tentu lima tahun lagi masih sama.

Masalahnya banyak dan tantangannya tidak sedikit. Republik begini besar dan perlu perangkat banyak. Tidak akan ada solusi sederhana untuk sekaligus menyelesaikan semuanya. Tidak bisa dengan telpun telpunan, tidak juga dengan turun turun ke jalan bawa bawa bendera. Demokrasi Indonesia harus bisa lebih waras dan bermartabat. Perlu juga lebih cerdas dan waspada, supaya tidak terus terusan jadi korban suasana.

Banyak dan panjang lebar. Yep.

--

--