Rasionalisasi Demokrasi

Catatan Pemilihan Umum 2014

haye
Habitat Setengah Lingkaran

--

Huru hara antisipasi Pemilihan Umum di Indonesia 2014 luar biasa seru. Saking terlalu serunya saya terus terang agak jenuh dan sudah berhenti membaca sejak beberapa minggu lalu.

Seperti biasa memang, siklus lima tahunan partisipasi publik, pendewasaan proses demokrasi butuh warna dan suara, menentukan pilihan yang dimaui semua. Kalau memang mau lebih cepat lagi cerdas dan dewasa, sebetulnya perlu dibuat lebih sering tapi pada Pemilu berikut, Pileg dan Pilpres tampaknya malah akan dilakukan berbarengan. Ah well, mungkin 2014 memang layak jadi catatan sejarah.

Tanpa mau terlalu panjang — banyak yang lebih menguasai dan punya kapasitas memberi elaborasi — dan sembari menunggu hasil Pemilu Legislatif, saya mau menambahkan catatan pendek, mungkin berguna jadi materi pergunjingan di hari yang bahagia ini.

Demokrasi memilihkan yang terbaik. Nope. Salah total. Demokrasi sebagai model dan struktur masyarakat/kepemimpinan punya banyak sekali peran. Tetapi tidak termasuk diantaranya ditujukan demi memilihkan Pemimpin yang terbaik. Demokrasi bukan Sayembara mencari juara, atau seperti lotere mencari pemenang. Demokrasi adalah proses, mencari pilihan yang paling bisa diterima semua dengan cara yang disepakati bersama. Demi tata tertib bernalar dan bermasyarakat.

Kalau anda mencari pemimpin yang maksum, ada banyak cara dan petunjuknya, tapi sudah pasti tidak akan ketemu di Senayan.

Demokrasi membutuhkan legitimasi penuh. Ini sepertinya jadi tema yang paling laris manis — karena semua peserta pemilu degdegan berat menghadapi kegalauan kelas menengah yang kebanyakan belum menentukan pilihan. Ada wacana Golput itu haram, atau malah pidana. Agak konyol.

Mereka mungkin berpikir Pemilih — Rakyat Indonesia — masih bisa dipaksa paksa menentukan pilihan. Padahal ya rakyat itu waras. Manusia itu, sebagai mahluk sosial, manusiawi untuk tertib nalar. Hak memilih jelas berbeda dengan Kewajiban memilih. Saya misalnya, karena menolak memberikan legitimasi tersebut, memilih untuk tidak menggunakan hak pilih pada Pileg.

Tidak ada, dan tidak akan pernah ada, Demokrasi dengan legitimasi absolut. Yang itu namanya autokrat, atau apalah beda lagi. Pembeda konstruksi demokrasi sebagai kerangka bermasyarakat adalah bahwa legitimasinya tidak pernah absolut: Selalu ada ruang untuk diperbaiki, selalu ada ruang untuk dibuat lebih baik.

Demokrasi murah. Ini mungkin yang paling tidak rasional. Pemimpin kok dicari yang murahan? Demokrasi pasti mahal. Demokrasi untuk negara sebesar Indonesia, pasti luar biasa mahal. Besaran biaya ini bukan refleksi sederhana distorsi proses yang (memang) masih bengkok bengkok, tapi perlu dicatat sebagai investasi besar Rakyat, Pemilih yang akan memaksa anda berbuat jadi lebih baik.

Sederhana sekali seharusnya, dan tidak perlu diberi bumbu bumbu retorika moral walaupun sedap kudapan untuk konsumsi publik. Demokrasi itu seharusnya rasional dan 2014 bisa jadi titik awal Gerakan Demokrasi Tertib Nalar di Indonesia. Lebih waras, lebih manusiawi.

Jakarta, April 9, 2014

--

--