AKU, ORANG TUAKU, DAN MASA DEPANKU

agengsantoso
Heroboyo
Published in
5 min readJun 6, 2021

Di suatu malam yang hening, dengan suara katak yang selalu setia menemani setiap malamnya. Aku mengistirahatkan diri sejenak dari urusan duniawi dan menikmati kesunyian di kampung halaman malam itu. Dengan perasaan yang diselimuti rasa cemas, namun tetap menikmatinya dengan jiwa santuy yang selalu menguasai jiwa. Sejenak merenung dan bertanya dalam diri, masa depan (cita-cita) saya bagaimana dan akan bekerja sebagai apa?. Ketika waktu kecil ditanya “apa cita-citamu?” dengan lantang aku menjawab “menjadi pemain sepakbola”. Demikianlah seorang anak yang sewaktu masih kecil senantiasa ditekankan untuk selalu bermimpi setinggi langit. Sehinga mereka dengan mudahnya menjawab berbagai pertanyaan yang kaitannya dengan masa depan mereka. Ketika orang tua mendengar dan melihat semangat seorang anak sewaktu masih kecil, mereka selalu memberikan support terhadap apa yang menjadi keinginan anaknya sewaktu masih kecil baik dari sektor finansial atau moral. Hal demikianlah yang semestinya harus dilakukan oleh orang tua. Karena dari apa yang pernah aku kutip dari apa yang disampaikan oleh orang tuaku “Kita (orang tua) hanya bisa mendukung sepenuhnya apa yang menjadi keinginan anak untuk masa depannya, karena orang tua tidak bisa menentukan masa depan dari seorang anak.” Mereka menyadari bahwasanya yang menjalani adalah anaknya, sehingga ketika segala sesuatu dipaksakan yang bisa berakibat pada timbulnya ketidaknyamanan dalam diri seorang anak. Hal demikianlah yang sudah semestinya disadari oleh orang tua dan keluarga yang merupakan salah satu supporting system dalam perjalanan hidup seorang anak.

Setiap manusia dari yang muda hingga yang tua pasti memiliki keyakinan dan kemampuan untuk merealisasikan cita-cita yang telah direncanakan. Cita-cita setiap orang akan berkembang seiring dengan kebutuhan dan realitas dalam kehidupannya. Seiring dengan bertambahnya usia yang bersamaan dengan berkembangnya pola pikir dalam diri setiap manusia. Bukan hanya soal mau melakukan apa hari ini, tapi juga tentang mau jadi apa di masa yang akan datang. Cita-cita bukan hanya soal meraih suatu hal besar dalam hidup, namun cita-cita juga bisa berupa hal kecil yang menjadi tujuan dalam hidupnya. Dengan semakin tinggi jenjang pendidikan yang aku tempuh, cita-cita bukan lagi hanya soal angan-angan atau sebatas mimpi saja, namun harus berupa tujuan yang realistis. Dimana yang dimaksud dari tujuan realistis adalah sebuah hasil dari apa yang kita lakukan sekarang, bukan apa yang kita mimpikan sekarang, karena segala hal yang kita inginkan belum tentu terjadi dan terwujud sesuai denga napa yang menjadi keinginan dalam diri kita. Oleh karenanya manusia hidup di dunia ini haruslah mempunyai tujuan dan cita-cita sebagai arah dalam perjalanan hidupnya. Sehingga perjalanan dalam hidup lebih terstruktur dan mengetahui apa yang harus mereka lakukan dalam menjalani kehidupan.

Setelah merefleksikannya, aku sadar bahwa manusia hidup ini tidak selamanya harus seperti air di sungai yang mengalir begitu saja. Namun terkadang juga perlu challenge dalam diri sebagai wujud dari usaha yang seharusnya dilakukan. Disertai dengan ketekunan dalam usaha unruk menggapai tujuan yang telah ditentukan akan dapat berbuah menjadi suatu cita-cita yang diinginkan. Tidak peduli seberapa besar atau kecilnya cita-cita kita, namun semuanya bergantung pada kemauan yang kuat dalam diri (strong why). Cita-cita ibarat sebagai suatu tanaman yang kita tanam, jika kita mampu merawat tanaman itu dengan baik maka kita akan menikmati buahnya. Begitupun cita-cita, jika kita sudah memiliki niat yang kuat dan diiringi dengan usaha yang maksimal, maka kita akan menikmati apa yang menjadi tujuan dalam hidup (life goals) kita. Namun tidak sedikit juga hal yang dijumpai di sekitar kita kata-kata yang terucap adalah “usaha yang aku lakukan udah maksimal, tapi kenapa aku masih belum dapat menggapai apa yang menjadi keinginan atau cita-citaku.” Jika berbicara mengenai akan hal itu, sudah saatnya kita merefleksikan diri dan bertanya kembali dalam diri “usaha ke berapa yang sudah aku lakukan?”, “sudah berapa kali aku gagal?”, “sudah berapa banyak pengorbanan yang sudah aku berikan?”. Pertanyaan-pertanyaan itu sudah sepantasnya kita tanyakan ke dalam diri kita ketika usaha yang telah dilakukan masih belum membuahkan hasil. Karena kita tidak mengetahui usaha yang ke berapa, pengorbanan mana yang akan membuahkan hasil sesuai dengan tujuan kita. Tugas dari manusia hanyalah berikhtiar dan bertawakkal kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Singkat cerita dalam diriku dalam memperjuangkan jenjang pendidikanku. Dimana aku bukan anak yang terlahir di tengah keluarga karir dan memiliki jenjang pendidikan yang mentereng, melainkan hanya seorang anak buruh yang memiliki keinginan kuat lahir sebagai anak yang terdidik. Dengan dukungan orang tua yang luar biasa kepada anaknya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun dalam mengarungi perjalanan memperjuangkan karir di dunia pendidikan sejauh ini tidak semulus jalan aspal yang masih baru. Akupun menyadari bahwa keberhasilan seorang anak dalam menggapai tujuan hidup adalah bukan semata-mata tentang kerja keras yang dilakukannya. Melainkan ada hal lain yang selalu memberikan semangat setiap langkahnya, yakni doa dan dukungan dari orang tua. Aku sendiri merasa tidak lengkap jika dalam setiap langkah yang kulakukan belum mendapat izin dan restu dari orang tua. Sebab restu orang tua merupakan hal utama yang harus kita dapatkan sebelum melangkah lebih jauh. Singkat cerita dalam perjalanan hidup saya dalam berjuang di dunia pendidikan, ketika apa yang menjadi keinginanku tidak selaras dengan apa yang menjadi keinginan dari orang tua. Namun sebagai seorang pemuda yang memiliki keidealisan cukup tinggi, aku tetap memaksakan perguruan tinggi pilihanku. Orang tua dan keluarga dengan berbagai pertimbangan yang ada, tidak ingin melepas putra pertamanya ini untuk merantau di luar jawa timur. Dan ketika aku memaksakan akan pilihanku, hasilnya aku diterpa berbagai ujian dan pada akhirnya aku mencoba untuk merefleksikan diri dan mengevaluasi diri. Karena dalam hati masih memiliki niat yang kuat dan minat tinggi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, saya pun berusaha untuk meminta restu dari orang tua kembali. Dan ketika saya mencoba untuk sedikit menurunkan ego dan idealisme, disitu saya merasakan suasana yang lebih damai dan bisa menikmati setiap langkah yang saya lakukan. Dan dari sini juga saya merasakan apa makna dibalik “Rencana Tuhan jauh lebih besar dibanding rencana manusia.” Sebab jika kita melibatkan Tuhan Yang Maha Esa dan orang tua dalam setiap langkah kita, sejatinya makna dari kegagalan sendiri adalah keberhasilan yang tertunda. Dan yang perlu diingat juga dalah kita hidup di dunia ini bukan hanya soal menyoal tentang hasil belaka, namun siapakah yang lebih baik amalannya. Sebagaimana apa yang pernah dititipkan orang tua kepadaku, jangan pernah mengukur perjuanganmu dengan nilai, namun ukurlah perjuanganmu dengan pembelajaran dan ilmu yang kamu dapatkan. Hal itu juga tercermin dalam diriku sebagai seorang pembelajar, hasil belajar bukan soal nilai yang diberikan kepadaku, melainkan seberapa ilmu yang aku dapatkan dalam melakukan pembelajaran itu. Oleh karenanya sudah saatnya mereformasi dalam diri mengenai mindset untuk menggapai tujuan hidup. Memaknai segala sesuatu dengan positif dan melibatkan orang tua dalam setiap langkahnya. Karena kurang lengkap rasanya jika dalam setiap langkah untuk menggapai masa depan tanpa restu orang tua.

--

--