Melawan (Indikasi) Korupsi dengan (Tindakan yang Bisa Memicu) Korupsi

Wahyu Dimas
Heroboyo
Published in
4 min readApr 27, 2021
Source : https://www.videogameschronicle.com/blog/remembering-the-original-european-super-league-on-dreamcast/

*disclaimer* tulisan ini merupakan opini dan guyonan pribadi penulis setelah membaca perkembangan berita di berbagai platform media sosial.

Dunia sepakbola di eropa sedang gempar akibat 12 klub top di liga-liga eropa mendeklarasikan pembentukan sebuah kompetisi yang disebut dengan European Super League (ESL) atau secara Bahasa Indonesia disebut dengan Liga Super Eropa. Ke-12 tim yang berasa dari 3 negara yaitu itu ialah Manchester United, Manchester City, Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan Tottenham Hotspur dari Inggris. Barcelona, Atletico Madris, dan Real Madrid dari Spanyol. Serta perwakilan dari Italia yaitu AC Milan, Inter Milan, dan Juventus. Tujuan dibuat nya liga super eropa ini menurut berbagai sumber diuga untuk memperbaiki financial klub yang mana terdampak pandemi dan juga ingin membuat kompetisi yang menarik dimana di liga super eropa ini akan selalu mempertemukan tim tim besar tiap minggunya.

Singkatnya, ESL ingin menjadi liga tandingan dari Uefa Champions Leagues (UCL) yang menurut Presiden Real Madrid, Florentino Perez merasa jika liga UCL bobrok penuh kontroversi dan korup. Sepertinya, Mereka mencontoh Indonesia di tahun 2010–2011 dimana terjadi dualism liga di Indonesia yaitu ISL & LPI. Walaupun, per tanggal 21 april, tim tim dari inggris mengundurkan diri (inggris adalah kunci!) yang tentunya tidak luput dari desakan fans, pemain hingga pelatih dan diikuti berbagai klub dari liga italia dan spanyol sehingga sepertinya ESL batal dilaksanakan (atau tidak dilaksanakan dalam waktu dekat), kalah dengan Indonesia dimana LPI sempat jalan selama setengah musim wkwk.

Sisi positifnya, tentu masyarakat awam di Indonesia, penikmat sepakbola layar kaca akan sangat senang karena akan melihat laga bertajuk Big-Match tiap minggunya selagi menemani hari kerja bagai quda dihantam realita. Menonton bola sedikitnya menjadi penenang bagi mereka. Namun, dalam istilah ekonomi kita mengenal yang namanya The Law of Diminishing Return, atau secara simpel nya akan mengalami titik jenuh. Big Match yang akan ditonton setiap minggunya akan tidak terasa prestisius dan akan Kembali menjadi sebuah match “biasa” yang mempertemukan kedua tim bagus saja.

Kemudian, bagaimana sisi negatifnya? Saya rasa akan sangat banyak aspek yang bisa dibahas ketika berbicara mengenai sisi negatifnya (emang dasar penulis nya kontra nih hahaha). Namun, mari kita kecilkan scope nya, kita bahas pada aspek ekosistem sepakbolanya dengan mengambil contoh di Inggris yaitu Premier League. Liverpool, Manchester United, Chelsea, dan tim yang dianggap sebagai klub besar menjadi daya tarik bagi liga negara itu sendiri. Jumlah penonton domestik maupun luar negeri yang didatangkan, kemudian sponsor yang berinvestasi, penjualan merch dan sebagainya menjadikan klub klub yang notabene bukan klub besar akan terbantu secara tidak langsung, semisal Ketika ada klub kecil bermain dengan Liverpool, mereka akan mendapatkan uang lebih dari pertandingan tersebut dan dapat “menghidupi” tim nya dari sana.

Bayangkan ketika klub-klub besar ini berkumpul jadi satu, maka uang nya akan berputar disitu-situ saja dan Liga Nasional nya bisa jadi kolaps mengingat daya tariknya hilang. Untuk saat ini, di Indonesia, ada berapa orang sih yang antusias menonton pertandingan West Ham United ketika ia menjadi juara Premier League 2021 misalnya? Tentu tidak sebanyak Liverpool ketika menjadi juara Premier League 2020 bukan? You got the point, right? Akan panjang lagi tarikannya nanti ketika kita membahas jadwal yang bertabrakan, Kesehatan pemain yang akan di push main berkali-kali dalam seminggu. Belum lagi akan menarik jika melihat bagaimana mereka bermain, akan menggunakan regulasi sendiri kah? kan Law Of The Game nya mengacu punya nya FIFA, sedangkan FIFA dan UEFA nya sendiri menolak liga tersebut.

Selain itu, ketika melihat bagaimana jajaran petingggi yang ada di ESL, saya langsung “terkejut abang terheran-heran”. Bagaimana tidak, jajaran petinggi ESL nya diisi oleh petinggi petinggi klub itu sendiri. Ada Florentino Perez, Presiden Klub Real Madrid sekaligus Presiden dari ESL, menyusul ada Andrea Agnelli dari Juventus dan Joel Glazer dari Manchester United selaku Wakil ketua pertama dan kedua.

“Kakap-kakap” semua bukan?

Belum sampai disitu, salah satu perusahaan dari amerika yaitu JP Morgan siap menyokong dana dari gelaran ESL ini, dimana setiap tim pendiri akan mendapatkan uang hingga 400 juta euro (kalo juara tapi) . Sebuah tawaran menggiurkan yang tidak bisa ditolak oleh orang orang bisnis tentunya.

Hal ini nantinya dapat memicu apa yang penulis jadikan judul diatas, dimana dengan pengawasan yang belum jelas tentunya dapat menjadi pemicu tindakan yang “tidak baik”. Penulis akan lebih setuju jika seharusnya yang dibenahi adalah FIFA atau mungkin UEFA nya jika diindakasi bobrok dan korupsi, bukan membuat liga tandingan yang tentunya dapat memicu tindakan superkorup lainnya.

Bukan tidak mungkin ini pun hanya sebagai manuver politik, dimana organisasi besar harus digertak telrbeih dahulu agar bisa bergerak. Tapi itu adalah masalah lain yang akan menarik dibahas di tulisan lainnya.

Kesimpulannya adalah, yaa bisa diambil kesimpulan sendiri dong, kan udah pada besar, ahahaha..

--

--

Wahyu Dimas
Heroboyo
Writer for

Mahasiswa yang senang bermimpi, apalagi ketika sedang tertidur.