Menjadi Teman untuk Anak

Arman
Heroboyo
Published in
4 min readMay 23, 2021

Setiap orangtua pasti ingin anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik. Segala cara orangtua lakukan demi mewujudkan hal ini tersebut termasuk memberikan arahan dan nasihat agar anak berkembang ke arah yang orangtua inginkan. Banyak orangtua mungkin telah sadar agar anak mau dengan mudah mengikuti arahan dan nasihat, orangtua harus menjadi teman bagi anak. Yang dimaksud disini adalah bagaimana caranya orangtua mampu membuat anak nyaman dengan mereka, termasuk membuat anak nyaman berkeluh kesah dan mengutarakan apapun yang anak alami serta rasakan. Bila mencapai posisi seperti ini, orangtua akan lebih memahami bagaimana sesungguhnya perilaku dan kepribadian anak mereka serta masalah yang setiap hari dialaminya. Saat informasi ini didapatkan orangtua bisa merajut arahan dan nasihat untuk membentuk anak dengan optimal, sangat disarankan juga melalui diskusi dengan anak, dan tetap melihat kebutuhan anak. Anak akan lebih mau mendengarkan dan mengikuti perkataan orangtua karena merasa didengarkan dan dipahami. Masalahnya sekarang, banyak orangtua mungkin telah memahami dan bertekad menciptakan hubungan semacam ini. Namun pada praktiknya orangtua secara tidak sadar justru melakukan hal sebaliknya. Setelah lama berlalu mereka baru bertanya-tanya, “mengapa anakku menjadi seperti ini?”.

Terdapat perilaku-perilaku yang secara tidak sadar orangtua lakukan dan secara tidak langsung merusak hubungan pertemanan antara orangtua dan anak. Perilaku yang pertama adalah meremehkan pikiran anak. Hal ini sering terjadi karena orangtua, secara natural, merasa lebih banyak tahu dan lebih bijak karena telah melalui apa yang belum anak lalui. Dengan modal pikiran ini orangtua langsung membalas perkataan anak dengan respon seperti, “kamu ini masih kecil belum tahu apa-apa” atau “udah lah dengerin aja omongan mama, mama ini tahu yang paling baik buat kamu”. Parahnya, anak mungkin belum menyelesaikan seluruh ceritanya dan sudah mendapatkan respon semacam itu. Bagaimana bisa anda, sebagai orangtua, berharap anak mau memahami perkataan anda sedangkan anda sendiri bahkan tidak mau mendengarkan pendapat anak?. Perilaku yang kedua adalah membandingkan anak. Kita harus memahami bahwa setiap anak itu tidak ada yang identik. Anak memiliki kemampuan bawaan masing-masing dan dibesarkan dengan cara berbeda. Akan sangat tidak adil bagi anak, yang misalkan, memiliki keahlian menggambar dan di bandingkan dengan anak tetangga yang ahli di bidang matematika. Pun juga misalkan orangtua membandingkan anak yang memiliki keunggulan di bidang yang sama. Misalkan sama-sama unggul di bidang matematika namun anak tetangga jauh lebih pintar. Bisa jadi anak tetangga yang anda jadikan pembanding memiliki lebih banyak waktu luang untuk belajar dibandingkan anak anda yang setiap hari anda beri tanggung jawab dirumah seperti mencuci pakaian dan menyetrika baju. Salah satu efek dari perilaku ini adalah anak merasa tidak dihargai. Karena membandingkan ini tidak akan ada habisnya. Anak anda akan selalu merasa kurang baik dan usaha yang dilakukan terasa sia-sia karena orangtua selalu bisa mencari celah kekurangan dalam diri anak. Perilaku selanjutnya adalah mematikan emosi anak. Misalkan anak laki-laki anda menangis akibat jatuh dari sepeda. Seketika respon anda adalah memarahi dan berkata, “gausah nangis! Masa anak cowok gitu aja nangis?”. Tidak mungkin anak anda membalas dengan berkata, “wah baik mama, terima kasih responnya. Sakitnya langsung hilang dan aku tidak menangis lagi”. Anak akan merasa orangtuanya tidak peka terhadap kebutuhan mereka dan jika sikap seperti itu terus dilakukan, anak menjadi sulit untuk mengendalikan emosi karena selalu diberitahu untuk seketika memendamnya. Perilaku terakhir adalah menegur anak di depan orang lain atau di media sosial. Mungkin hal ini dilakukan untuk menunjukan ke orang lain bahwa anda tegas dalam mendidik anak. Namun efeknya, anak justru merasa orangtua memiliki niat untuk mempermalukan mereka di depan umum.

Setelah mengetahui perilaku diatas, sekarang mari melihat perilaku yang bisa diterapkan untuk membangun hubungan pertemanan orangtua dan anak. Perilaku pertama adalah jadwalkan waktu luang bersama anak anda. Sering kali orangtua mendaftarkan anak-anak mereka ke berbagai macam kursus sepulang sekolah sehingga jadwal anak setiap hari dalam seminggu menjadi padat. Misalkan hari senin kursus matematika, hari selasa kursus piano, hari rabu latihan karate, dan seterusnya. Hal ini dilakukan biasanya dengan alasan kursus-kursus tadi akan bermanfaat bagi anak di masa depan. Bila orangtua sehari-hari sibuk bekerja dan anak dibuat sibuk juga oleh orangtua dengan sederet kursus tadi, kapan orangtua dan anak bisa berinteraksi dan membangun hubungan untuk saling memahami?. Perilaku kedua adalah jangan paksa anak untuk menjadi sempurna, namun ajarkan anak untuk menerima kekurangan dan mengasah keunggulan dalam diri. Orangtua perlu mengingat bahwa mereka sedang membesarkan seorang manusia dan bukan anak dewa. Mengasah anak menjadi yang terbaik bukan berarti menjadikan anak manusia paling sempurna. Terbaik disini harus diartikan membentuk anak untuk memenuhi potensi diri sesuai minat dan kemampuan bawaan serta menanamkan nilai-nilai kebaikan seusai norma budaya dan agama. Bila orangtua memaksa anak untuk menjadi sempurna, kehidupan sehari-hari anak akan dilanda ketidakpuasan karena ada ekspektasi tinggi orangtua yang harus diraih dan ini tidak ada habisnya. Anak hanya akan memandang orangtua sebagai seseorang yang harus dipuaskan keinginannya daripada dipandang sebagai teman. Perilaku terakhir mungkin agak klise namun harus selalu ditanamkan betul dalam hati, yaitu nikmati kehadiran anak dalam hidup anda.

Membangun hubungan pertemanan antara orangtua dan anak memiliki satu kunci utama, yaitu konsisten. Konsistensi pula yang menjadi tantangan terbesar. Orangtua bisa mengikuti puluhan seminar parenting namun mungkin tetap gagal membangun hubungan ini. Ilmu yang sudah di dapat hanya dipraktikan sekali atau bahkan tidak sama sekali. Alasan klasik yang dilontarkan para orangtua salah satunya adalah mereka lelah bekerja sehingga saat sampai di rumah ingin mengistirahatkan diri. Mengistirahatkan diri dari seharian bekerja memang tidak ada masalah. Menjadi masalah apabila saat itu mereka juga mengistirahatkan diri dari menerapkan ilmu parenting yang didapat. Bila memang orangtua serius dalam hal ini, seharusnya berbagai alasan yang muncul dapat dicari jalan keluarnya dan kembali ke alasan awal kenapa hal tersebut dilakukan.

--

--