Jatuhnya Masa Keemasan Media Sosial

Rayhan Rusyd
hidupmudah
Published in
4 min readMay 23, 2020

Ada waktu ketika media sosial menemui masa keemasannya.

myspace.com pada masa keemasannya.

Dulu media sosial pernah menjadi sebuah tempat yang menyenangkan bagi kita untuk bebas memilih akan menjadi siapa dan berteman dengan siapa. Pada saat itu, media sosial juga memberikan kebebasan kepada para penggunanya untuk dengan bebas mengkustomisasi laman pribadinya, menjadikan media sosial sebagai tempat untuk menunjukkan siapa kita dan apa yang dapat kita lakukan. Begitu pula dengan forum-forum daring yang ada pada saat itu, memberikan kebebasan bagi kita untuk menjamin hak anonimitas ketika sedang menggunakannya. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Mengapa sekarang sudah tidak dapat lagi disebut sebagai masa keemasan media sosial? Padahal pengguna media sosial sekarang lebih banyak dibandingkan pada zaman myspace.com kan?

Memang benar pada saat ini (dan seterusnya) pengguna media sosial akan terus meningkat. Tapi, tentunya dengan meningkatnya pengguna biasa, maka akan ikut meningkat juga para pengguna yang ‘tidak biasa’. Siapakah mereka para pengguna yang tidak biasa ini? Ada beberapa macam pengguna yang tidak biasa dan merekalah yang menyebabkan jatuhnya masa keemasan media sosial. Para pengguna itu antara lain para penjahat (bisa penculik, peretas, dan semacamnya), instansi pemerintah (mereka yang mengendalikan keluar-masuknya informasi), dan perusahaan media sosial itu sendiri.

Adanya para penjahat di media sosial dapat dikaitkan dengan maraknya kasus catfishing. Singkatnya, catfishing adalah kejahatan ketika penjahat menggunakan akun media sosial dengan profil palsu yang mengaku sebagai orang yang baik, padahal ia hanya ingin memanfaatkan orang yang ditipunya agar dapat melakukan pemerasan dan hal tidak pantas lainnya. Para penjahat inilah yang seharusnya dapat menyadarkan kita kembali bahwa dalam menggunakan media sosial, kita memiliki hak untuk menjaga anonimitas kita. Jangan sampai kita dengan mudah mengumbarkan seluruh kehidupan pribadi kita.

Instansi pemerintah pun memberikan dampak yang sama kepada keberadaan media sosial. Dengan masuknya instansi pemerintah ke dalam ranah media sosial, maka pemerintah dapat dengan mudah mengendalikan apa saja yang boleh dipublikasikan ataupun yang tidak boleh. Bisa berupa fakta yang ditutup-tutupi, ataupun menjatuhkan lawan kandidat ketika sedang adanya pemilu. Tapi, keberadaan instansi pemerintah ini juga bukan tanpa alasan yang baik (walaupun yang buruknya lebih parah). Dengan adanya instansi pemerintah dalam media sosial, kita dapat dengan mudah berkomunikasi dengan pemerintah ataupun merasakan transparasi kegiatan maupun data-data yang dimiliki oleh pemerintah, walaupun tidak ada jaminan apa yang di”transparasikan” itu merupakan hasil sortiran dari begitu banyak hal yang seharusnya tidak publik lihat.

Dan yang sebenarnya cukup berbahaya ialah perusahaan media sosial itu sendiri. Kita tahu perusahaan media sosial seperti Facebook, menggunakan data kita sebagai pengguna dipergunakan untuk kepentingan dalam pemasangan iklan. Memang terkesan sepele, tapi apa kita yakin bahwa data kita akan aman-aman saja di tangan perusahaan iklan? Ingat, mereka adalah perusahaan periklanan, bukan perusahaan keamanan siber. Kalau begitu, apa bedanya model perusahaan seperti Facebook dengan pendahulunya seperti Myspace ataupun Friendster?

Kita dapat melihat perbedaannya yaitu dari para penggunanya dan tampilan utamanya. Bila kita melihat para penggunanya, kita akan melihat kebanyakan mereka adalah orang-orang yang dengan mudah menybarkan data pribadi (seperti umur, tempat tinggal, tanggal lahir) dan kehidupan pribadi mereka. Mungkin kita dapat saja dengan mudah berkata bahwa hal seperti itu kembali kepada sikap masing-masing pengguna itu sendiri. Tapi apa iya? Para pengguna itu secara tiba-tiba ketika menggunakan media sosial akan langsung dengan mudah menyebarkan informasi pribadinya? Pasti ada sesuatu yang memicunya kan?

Tentu saja ada. Hal ini berkaitan dengan bagaimana media sosial ini derepresentasikan dengan tampilan utamanya. Singkatnya, tampilan utama media sosial memang secara khusus dibuat agar para penggunanya terus menerus menggunakannya dan dengan sengaja mengunggah kehidupan pribadinya agar dapat dilihat orang lain. Mungkin kita tidak menyadarinya, tapi itulah mengapa hal-hal kecil seperti penempatan gambar, bentuk tombol, pewarnaan sangat mempengaruhi apa yang akan kita lakukan di media sosial.

Tapi, tampilan utama tidak hanya mempengaruhi apa yang akan kita unggah ke media sosial, melainkan bagaimana kita menampilkan identitas kita di media sosial. Bila dulu forum-forum daring memberikan tampilan yang sangat mendukung identitas anonim, sekarang sudah banyak forum daring yang membuat penggunanya merasa malu bila harus menggunakan identitas anonim. Begitu pula media sosial yang umum digunakan. Tampilan media sosial yang sekarang membuat kebanyakan pengguna enggan untuk menggunakan identitas secara anonim karena merasa “aneh dengan lingkungannya”. Artinya, media sosial itu telah berhasil memaksa para penggunanya agar menggunakan identitas asli di media sosial mereka.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai pengguna biasa media sosial? Mudah saja, cukup berhenti mempublikasikan hal yang tidak perlu, dan jaga identitas diri agar tidak terlalu terbuka kepada khalayak umum. Karena, ada aturan baku yang penting dan harus kita ingat mulai sekarang, yaitu kita harus mempertahankan anonimitas kita di dunia maya. Kita tidak tahu, kapan dan apa yang akan para “pengguna tidak biasa” itu lakukan bila mereka mengetahui siapa kita sebagai pengguna media sosial.

Sekian, hatur nuhun.

--

--

Rayhan Rusyd
hidupmudah

Selain menulis menggunakan bahasa pemrograman, juga menulis menggunakan bahasa manusia.