HIJUP Engineering Culture

Pahlevi Fikri Auliya
HIJUP Engineering
Published in
2 min readDec 21, 2018

3.5 tahun lalu, ketika saya join HIJUP, saat itu hanya ada 2 Software Engineers. Dengan jumlah segitu, jelas tidak ada pembagian frontend, backend, maupun SRE. Melelahkan? Iya. Tapi mari lihat dari sisi lain: great learning experiences! Dari eksplorasi React hingga Kubernetes sebelum mereka hype, hingga mencoba berbagai macam cloud: Heroku, AWS, Google Cloud.

Dalam perjalanan 3.5 tahun, banyak hal yang worth sharing, baik teknikal, managerial, hiring experience. Tapi mari kita mulai dari Culture.

Learning, self-learning, self-driven-learning

Hutang budi saya banyak pada buku ini Pure Mathematics. Dia menemani masa SMA mempersiapkan admission test NTU. Karena secara kurikulum sangat berbeda dengan kurikulum nasional, banyak hal yang harus self-learning. Tanpa guru, hanya buku dan latihan soal (dan terkadang bimbingan senior). Learning curvenya memang tinggi, tapi once bisa lewati curamnya curve di awal, belajar menjadi seru. Karena seru, akhirnya menjadi self-driven. Niatnya tidak hanya mempersiapkan admission test, tapi simply “asyik saja belajarnya”.

Culture yang sama yang kami coba bangun di HIJUP Engineering team. Dimulai dari hiring: big no untuk yang pengalamannya 5–7 tahun namun tidak tahu hal-hal baru. Sebaliknya, sangat terbuka untuk fresh graduate (atau yang tidak mengenyam pendidikan university sekalipun), tapi sangat self-driven to learn.

Asking is encouraged, sharing is appreciated

Kami cukup sering mengadakan internal techtalk, terutama jika ada hal-hal baru yang team member pelajari. Leveraging relatively small team, topiknya sangat beragam, mulai dari UI/UX, frontend, digital marketing, ops, hingga hal-hal baru yang simply sedang diexplore (e.g. KNative). Dan semenjak beberapa bulan lalu, semua talk direkam dan dipublikasikan di Facebook for Workplace, agar jadi asset yang bisa dinikmati new hires.

Kehadiran members di external techtalk juga cukup tinggi (again, motivasinya self-driven). Dari yang diadakan community/partner (e.g. JakartaJS, GoJakarta, Google Cloud, AWS, RubyConf) maupun start up lain.

Dalam hal pekerjaan, bertanya sangat disarankan (dan sebaliknya: malu bertanya akan dipenalized). Don’t spend time figuring out something that someone else has.

Growth Mindset

Tidak ada pembagian secara formal soal frontend, backend, maupun SRE. Semua engineer diexpect tahu fullstack (yang banyak dishare di internal techtalk), walaupun tidak diharuskan mengerjakan pekerjaan fullstack. Spesialisasi ada, tapi spesialisasi tidak melimit <coret>job scope</coret> learning opportunities. Sebagai contoh, spesialisasi frontend sangat terbuka untuk mencoba configure Kubernetes jika memiliki passion di situ (again must be self driven to learn)

Sebagai pembantu umum 3 tim: data, product, dan engineer, salah satu OKR saya adalah belajar sebanyak-banyak mengenai ketiga hal tersebut. Dengan key result: Finish 1 book related to data/product/engineering per 2 weeks (wish me luck!)

Be Lazy

Terkadang, beberapa hal bisa sangat disimply dengan tools yang tepat. Kami big fan Zapier, banyak hal diotomatisasi dengannya (e.g. upload Sheet ke GDrive yang mentrigger API call, insert row di Google Sheet dengan Slack bot).

Terkadang, vim macro sudah cukup tanpa harus menulis code. Untuk case lain, Spreadsheet formula lebih cepat dibuat daripada code. Membuat Slack bot lebih cepat (dan less code to maintain) daripada membuat UI yang bagus buat internal operation. Menggunakan third party CMS (e.g. Strapi) lebih cepat daripada membuat custom dashboard.

Aim for lazy solution whenever possible

Obligatory hiring remark

We are hiring various positions, internship/fulltime

--

--