Teleskop: Sejarah Awal dan Perkembangannya
Latar Belakang
Rasa keingintahuan adalah esensi dari eksistensi kita sebagai manusia, itulah sebuah kalimat yang keluar dari seorang astronot pada misi Apollo 17 yang bernama Gene Cernan. Dari kalimatnya itu, kita dapat mendefinisikan bahwa manusia selalu haus akan ilmu baru yang belum pernah mereka ketahui. Di era yang sangat erat dengan penggunaan teknologi sebagai salah satu sumber daya tak terpisahkan dari kegiatan manusia, rasa keingintahuan itu timbul bukan hanya untuk mengeksplor keindahan planet Bumi, namun lebih luas hingga akhirnya manusia mencari jawaban dari rasa keingintahuan mereka di alam semesta yang luas.
Berbicara tentang alam semesta, manusia telah melakukan beberapa ekspedisi luar angkasa yang terbilang sukses menginjakkan kaki di permukaan benda langit dekat Bumi. Namun, bagaimana cara kita untuk mengeksplorasi keindahan benda langit yang sangat jauh dan mustahil untuk kita jangkau dengan teknologi saat ini? Apakah ada alat yang mampu menjawab rasa penasaran kita dengan kandungan suatu bintang yang sangat terang?
Menjawab pertanyaan ini, manusia akhirnya berinovasi dengan menciptakan alat optik bernama teleskop yang mampu membuat manusia melihat jauh ke dalam kegelapan alam semesta. Hingga saat ini, teleskop telah berkembang menjadi berbagai tipe, mulai dari reflektor hingga teleskop refraktor. Tak hanya pada rentang gelombang visual, teleskop juga kini telah tersedia bagi para astronom pengamat frekuensi gelombang lain misalnya radio atau ultraviolet.
Perjalanan sejarah astronomi tak dapat dilepaskan dari perkembangan teleskop, sudah banyak penemuan baru yang ditemukan berkat bantuan teleskop, misalnya saja penemuan event horizon dari lubang hitam yang bahkan sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dari banyak ilmuwan yang mempelajarinya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana teleskop ini dapat berkembang hingga menjadi seperti sekarang yang mudah diakses oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Pembahasan
A. Masa Sebelum Teleskop
Astronomi Era Klasik
1. Sekilas Astronomi Era Pra-Sejarah dan Astronomi Kuno
Jika membahas tentang sejarah teleskop, tentunya dimulai dengan kelahiran ilmu astronomi di muka bumi. Astronomi merupakan ilmu yang telah terlahir sejak kelahiran manusia untuk pertama kalinya di muka bumi. Kala itu, manusia mengamati benda langit dan menjadikannya sebagai pedoman untuk berkegiatan. Contohnya, manusia prasejarah memulai kegiatan saat matahari terbit, dan kembali ke tempat tinggalnya saat matahari telah terbenam. Seiring berjalannya waktu, dengan naked-eye observation, manusia mulai menyadari keteraturan dari pergerakan benda langit yang berulang dalam rentang periode tertentu.
Berdasarkan pengamatan-pengamatan tersebut, secara berangsur-angsur manusia mulai mencatat dan mengimplementasikan hasil yang mereka dapat, yaitu dengan membuat bangunan/monumen. Dua diantaranya adalah Stonehenge yang terletak di Inggris, dan Big Horn Medicine Wheel di Wyoming; yang merupakan wujud dari pengukuran summer solstice dan kesegarisan dengan bintang-bintang terang sepert Sirius, Aldebaran dan Rigel. Hal ini menandai dimulainya era astronomi kuno.
2. Bangsa Babilonia
Pengamatan ini dilakukan dalam jangka waktu yang lama, hingga masuk kepada era klasik. Manusia pada era klasik mulai berpikir lebih jauh. Salah satu bangsa yang patut disorot kemajuannya pada era ini adalah Bangsa Babilonia, yang mulai mengenal Astronomi sekitar tahun 1800 SM.
Para astronom Babilonia meneliti Planet Jupiter sedari lama. Bangsa Babilonia yang meyakini bahwa mereka memiliki dewa pelindung yaitu Marduk (Merodakh), yang kehadirannya diwakili oleh penampakan Jupiter di langit. Sehingganya, para astronom Babilonia seringkali melacak keberadaan Jupiter, dan mencatatnya. Bahkan, ilmuwan kini menemukan bahwa isi prasasti pada sebuah sabak kecil yang merupakan peninggalan era Babilonia pada 350 SM — 50 SM, merupakan penggambaran gerakan Jupiter relatif terhadap bintang-bintang yang jauh dengan perhitungan yang modern dan akurat. Selain itu, bangsa Babilonia juga mulai melakukan penamaan benda langit, seperti konstelasi, bintang dan planet yang didasarkan pada nama-nama dewa.
3. Bangsa Mesir Kuno
Sebagai bangsa yang bertempat tinggal di sekitar sungai Nil, bangsa Mesir Kuno menggunakan ilmu astronomi untuk memprediksi waktu meluapnya sungai nil, sehingga mereka bisa menentukan kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam. Bangsa Mesir juga mulai menggunakan kalender, yang pada awalnya didasarkan pada siklus bulan. Karena penanggalan tersebut dirasa kurang tepat, bangsa Mesir menjadikan kemunculan bintang Sirius sebagai dasar penanggalan baru, yang kemudian diadopsi oleh bangsa Romawi. Sedangkan, penanggalan dengan siklus bulan diadopsi oleh bangsa Arab Kuno, yang kini kita kenal sebagai sistem kalender Hijriyah
4. Bangsa Yunani Kuno
Yunani Kuno menjadi era dimana astronom dan matematikawan mulai banyak bermunculan, dan masing-masingnya memiliki peranan yang krusial dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan pengukuran yang jelas, mulai muncul berbagai usulan untuk menggambarkan alam semesta. Seperti yang diusulkan oleh Phytagoras, yakninya alam semesta memiliki model pirosentrik, dimana bintang-bintang, matahari, bulan dan enam planet lainnya berputar di sekitar api pusat. Begitu pula dengan kemunculan model alam semesta dengan 27 lingkaran, yang dikemukakan oleh Eudoxus. Aristoteles menyempurnakan konsep 27 lingkaran ini menjadi 55 lingkaran, dan mengemukakan konsep bahwa alam semesta terbagi atas dua, yaitu bumi (tidak sempurna), dan langit (sempurna). Erastothenes, dengan konsep matematika yang telah maju, mampu memperhitungkan radius dan keliling bumi. Kemudian, muncul model geosentris yang diusulkan oleh Ptolemeus.
Model alam semesta geosentris menjadi suatu kepercayaan di masyarakat, yang juga diakui oleh gereja. Pada saat itu, menentang sesuatu yang dipercayai dan diakui oleh gereja adalah hal tabu. Sekalipun para astronom menyadari bahwa terdapat ketidaksesuaian dalam sistem ini dan mencoba memperbaikinya, sistem geosentris masih tetap dipercayai. Diantaranya, jauh sebelum Ptolemeus, terdapat Aristarchus yang mengemukakan bahwa bumi bergerak mengelilingi matahari. Ilmuwan Italia Nicholas dan Leonardo da Vinci pun berpendapat bahwa bumi bergerak, sama sekali tidak berada di pusat alam semesta, dan tidak menempati posisi yang luar biasa di dalamnya. Namun, dengan kekuasaan gereja pada saat itu, masyarakat masih enggan menentang, dan pembuktian yang meyakinkan untuk membantah teori geosentris masih belum ditemukan.
Astronomi Era Renaissance
1. Copernicus: Heleosentris
Pada akhir abad ke 15 teori Plato yang menjelaskan tentang deskripsi kosmos yang dicirikan harmoni, simetri, dan proporsi matematis di temukan oleh para sarjana humanis pada saat itu. Teori plato sangat bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh Ptolemy yaitu Geosentris. Geosentris adalah teori yang menganggap bahwa bumi menjadi pusat tata surya. Astronom Polandia Nicholas Copernicus mengemukakan kritiknya terhadap teori Ptolemy pada tahun 1514 dalam sebuah manuskrip yang disebutnya Commentariolus (A Little Commentary) yang didalamnya Copernicus juga menawarkan model planet alternatif yaitu matahari yang menjadi pusat tata surya dan bulan pada gilirannya berputar mengelilingi bumi. Model ini disebut Heliosentris, “helios” yang berarti matahari dan “kentron” yang berarti pusat. Model ini masih didasarkan pada lingkaran dan episiklus, dan tidak lebih akurat daripada model Ptolemy; Namun, ini memungkinkan penghitungan jarak ke planet dengan AU, dan memberikan penjelasan yang benar untuk gerakan retrograde atau gerakan mundur. Setelah puluhan tahun menyempurnakan teorinya, Copernicus dibujuk untuk menerbitkan karyanya. De revolutionibus orbium coelestium (Tentang revolusi bola langit) muncul pada tahun 1543, hanya dua bulan sebelum kematian Copernicus. De revolutionibus menguraikan teori Copernicus tentang alam semesta dan memberikan perhitungan matematis yang kompleks yang menjelaskan pergerakan planet-planet berdasarkan model berpusat pada Matahari. Tetapi buku tersebut di cap sebagai buku sesat oleh gereja karena tidak sepemahaman dengan gereja pada saat itu yang menganut teori Geosentris. Copernicus hanya membuktikan modelnya secara matematis karena tidak adanya data yang menyatakan bahwa Copernicus melakukan observasi.
2. Tycho Brahe
Astronom lain yang menemukan kesalahan dengan keadaan astronomi pada abad keenam belas adalah Tycho Brahe. Tycho, seorang bangsawan, tertarik pada astronomi. Sebagai seorang remaja, ia menyadari perlunya pengamatan langit yang sistematis dan berjangka panjang untuk memperbaiki kesalahan yang ditemukan dalam tabel planet dan grafik bintang yang ada. Untuk menghasilkan data yang lebih akurat, ia juga membutuhkan instrumen yang lebih baik. Tycho membujuk raja Denmark untuk memberinya wilayah kekuasaan di pulau Hven dan keuangan yang dibutuhkan untuk membangun sebuah observatorium di sana. Tycho juga merancang dan membangun instrumennya sendiri. Tycho dan asistennya yaitu Johannes Kepler melakukan beberapa pengamatan menggunakan instrumen ini sepanjang tahun 1580-an dan awal 1590-an. Tycho Brahe melakukan pengamatan mata telanjang terbaik dan paling sistematis mengumpulkan data paling akurat tentang posisi bintang dan planet hingga saat ini. Pada tahun 1572 Tycho Brahe melihat peristiwa supernova yang berasal dari konstelasi Cassiopeia.
3. Johannes Kepler
Johannes Kepler, asisten Tycho yang paling terkenal, sangat percaya pada ide-ide Platonis tentang alam semesta yang sederhana dan harmonis. Kepler ditugaskan untuk mengamati pergerakan planet Mars, yang sangat menyimpang dari model melingkar yang dibuat oleh Ptolemy. Kepler mengamatinya dengan mata telanjang karena belum adanya instrumen yang tepat pada saat itu. Setelah kematian Tycho pada tahun 1601, Kepler menggunakan catatan pengamatan Tycho, bersama dengan teori heliosentris Copernicus dan teori magnet dari filsuf Inggris William Gilbert, untuk merancang model baru orbit planet dan Matahari. Kepler menemukan bahwa orbit planet berbentuk elips daripada melingkar, dan merumuskan aturan matematika yang mengatur periode dan ukuran orbit planet.
B. Teleskop Optik
1. Teleskop Refraktor
Perjalanan inovasi teleskop merupakan sebuah proses, sebuah tahap yang memakan waktu berabad-abad. Manusia sudah lama hidup dengan penglihatan tanpa perbesaran. Sebuah teleskop dapat mendekatkan objek yang jauh, memperbolehkan manusia untuk menjelajahi alam semesta yang luas ini. Perkembangan teleskop yang semakin canggih seiring berkembangnya era ini dimulai dengan 1 objek, yaitu lensa.
Sekitar tahun 1286, kacamata pertama kali ditemukan. Sekitar tahun itu juga, digunakan bola kaca yang telah dibagi 2 untuk membantu membaca. Sekitar abad ke-15, lensa cekung mulai digunakan untuk membantu orang-orang penderita miopia.
Pada Oktober 1608, teleskop pertama mulai dipatenkan. Seorang pengrajin kacamata bernama Hans Lipperhey asal Belanda menempatkan sebuah lensa di depan lensa lainnya, mengakibatkan sebuah objek tampak membesar. Pada masa ini, teleskop masih belum digunakan untuk mengamati langit. Tahun 1608 juga merupakan era dikembangkannya binoculars atau teropong. Binoculars dibuat dengan menggabungkan lensa cekung dan cembung.
Pada tahun 1609, seorang astronom bernama Galileo Galilei membuat sebuah terobosan dalam dunia astronomi. Ia merekonstruksi teleskop versinya sendiri. Dengan menggabungkan lensa konvergen dan lensa divergen. Berbeda dengan Hans Lipperhey, Gilileo Galilei menggunakan teleskopnya untuk mengamati langit. Ia mengarahkan teleskop ke langit untuk mengamati objek langit. Dengan teleskop buatannya, ia berhasil mengamati 4 Bulan Jupiter atau galilean satellites. Galileo mengamati Venus dan mendapati bahwa Venus memiliki fase. Ketika mengamat Matahari, ia menemukan adanya sunspot pada permukaan Matahari. Pada tahun 1613, planet Neptunus diamati sebagai planet, bukan sebagai bintang. Selain itu, Galileo juga mengamati Bulan dan fase fasenya.
Dari pengamatan-pengamatan tersebut, ia mempublikasikan sebuah buku berjudul Dialogo yang berisi mengenai teori mengenai Copernican heliocentrism. Buku ini dikecam dan dilarang oleh gereja pada masa itu.
Pada tahun 1611, Johannes Kepler melakukan terobosan baru di dunia pengamatan astronomi. Ia memperbaiki teleskop Galileo dengan menggunakan 2 buah lensa cembung, bukan hanya 1. Dengan menggunakan 2 lensa cembung ini, ia berhasil menghasilkan bayangan yang lebih menyebar arah pandangnya. Akan tetapi, berbeda dengan teleskop milik Galileo, bayangan yang dihasilkan teleskop ini terbalik.
Tidak lama setelah itu, seorang bernama Christiaan Huygens juga mulai mempelajari teleskop dan membuatnya pada tahun 1655. Pada tahun 1655, ia mengamati Saturnus dengan menggunakan teleskop refraktor miliknya. Ketika sedang mengamati cincin Saturnus, ia menemukan sebuah Bulan Saturnus yang sekarang kita kenal sebagai Titan.
Teleskop refraktor memiliki sebuah masalah tak terhindarkan, yaitu aberasi kromatis. Aberasi kromatis ini mengakibatkan bayangan objek yang dilihat tidak jatuh pada panjang gelombang yang sama, mengakibatkan perbedaan warna atau distorsi warna. Pada tahun 1733, Chester Moore Hall bereksperimen dan menemukan bahwa kombinasi lensa crown glass dan flint glass sudah disemir dapat mengurangi efek aberasi kromatis pada teleskop refraktor pada umumnya.
Seiring berjalannya waktu, terdapat semakin banyak penemuan menggunakan teleskop refraktor. Pada tahun 1862, ditemukan Sirius b menggunakan teleskop Dearborn. Asaph Hall menemukan satelit alami Mars, Phobos dan Deimos, menggunakan teleskop refraktor pada tahun 1877. Pada zaman sekarang, teleskop refraktor banyak digunakan oleh astronom amatir.
2. Teleskop Reflektor
Teleskop reflektor adalah jenis teleskop yang berbahan dasar cermin. Teleskop jenis ini memanfaatkan pantulan dari cermin. Berbeda dengan refraktor, teleskop reflektor tidak menimbulkan aberasi kromatis. Kebanyakan teleskop yang digunakan dalam kegiatan profesional, seperti penelitian, menggunakan teleskop reflektor.
Pada tahun 1616, seorang astronom Italia, Niccolo Zucchi mencoba mengganti lensa pada teleskop refraktor dengan sebuah cermin cekung perunggu. Namun ia tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, kemungkinan karena rendahnya kualitas cermin tersebut atau sudut kemiringannya yang tidak pas. Kemudian pada tahun 1636, Marin Mersenne mengusulkan teleskop yang terdiri dari cermin parabolik primer dan sekunder sebagai solusi untuk mengatasi aberasi sferis pada teleskop. Lalu di tahun 1663, James Gregory mendesain teleskop yang dapat mengatasi aberasi sferis dan aberasi kromatis, yaitu dengan menggunakan cermin primer parabolik dan cermin sekunder eliptik, yang selanjutnya dikenal sebagai Gregorian Telescope. Akan tetapi desain teleskop ini sangat sulit dibuat pada masa itu.
Pada tahun 1668, Isaac Newton membuat sebuah teleskop reflektor dengan menyederhanakan konsep-konsep teleskop sebelumnya. Newton membuat teleskop reflektor setelah menyadari bahwa teleskop refraktor tidak mungkin dapat lepas dari aberasi kromatis. Teleskop ini terdiri dari cermin primer cekung dan cermin diagonal datar sebagai cermin sekundernya. Selanjutnya, teleskop buatan Newton ini dikenal sebagai Newtonian Telescope. Newtonian Telescope adalah teleskop reflektor paling awal yang berhasil dibuat dan dapat digunakan.
Pada tahun 1672, Laurent Cassegrain membuat sebuah teleskop yang dikenal sebagai Cassegrain Telescope. Teleskop ini terbuat dari kombinasi cermin primer cekung dan cermin sekunder cembung. Sekitar satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 1789, William Herschel berhasil membuat teleskop reflektor dengan panjang 12 meter dan cermin berukuran 120 cm. Teleskop ini menjadi teleskop terbesar di dunia selama lebih dari 50 tahun.
Di awal abad ke-20, 60-inch Hale Telescope dan Hooker Telescope (2,5 m) menjadi awal dari berkembangnya teleskop reflektor modern berukuran besar yang digunakan untuk penelitian serta pencitraan presisi. Selanjutnya seiring dengan berkembangnya teknologi, banyak teleskop reflektor yang dibuat dalam ukuran besar untuk kegiatan penelitian yang lebih mendalam. Contohnya adalah Hale Telescope (5,1 m), BTA-6 (6 m), Hubble Space Telescope (teleskop luar angkasa), Hobby-Eberly Telescope (10 m), dan Gran Telescopio Canarias (10,4 m).
C. Teleskop Non-Optik
1. Teleskop Sinar Gamma
Teleskop sinar gamma merupakan sebuah teleskop landas Bumi yang digunakan untuk mengamati objek pada rentang panjang gelombang sinar gamma sesuai namanya. Teleskop ini biasa mendapatkan citra pada panjang gelombang 1–10 pm. Sama halnya dengan teleskop sinar-x yang nanti akan dibahas lebih lanjut, teleskop ini harus berada di luar atmosfer Bumi guna mendapatkan citra sesuai dengan yang diinginkan.
Pengamatan sinar gamma mulai dilakukan pada sekitar periode 1960- an, tetapi pengamatan ini terasa lebih sulit dibandingkan dengan pengamatan pada panjang gelombang sinar-x. Hal ini disebabkan oleh jarangnya pancaran sinar gamma dari suatu benda langit yang menyebabkan gambar hasil pengamatan menjadi lebih buran dan resolusinya rendah bila dibandingkan dengan teleskop sianr-x.
Pada tahun 1977, di tengah keberjalanan High Energy Astronomy Observatory, NASA mengumumkan mereka akan meluncurkan sebuah proyek baru yang bernama Compton Gamma Ray Observatory dengan memanfaatkan kemajuan teknologi pada detektor yang tersedia saat itu. Satelit tersebut diluncurkan pada tahun 1991, dengan beberapa instrumen yang berguna untuk memperjelas resolusi citra yang didapatkan. CGRO akhirnya mengalami beberapa kerusakan pada stabilisatornya hingga akhirnya tidak bisa beroperasi secara maksimum lagi sejak Juni 2000.
Masih sangat jarang teleskop yang digunakan untuk mengamati pancaran sinar gamma karena memang masih sulit untuk diamati dan didapat resolusi yang cukup tinggi. Beberapa misi hanya bertahan kurang lebih 3–5 tahun sebelum akhirnya diberhentikan oleh pihak yang meluncurkan satelit tersebut.
2. Teleskop Sinar-X
Teleskop sinar-x atau x-ray telescopes (XRT) adalah sebuah teleskop yang digunakan untuk mengamati sebuah objek langit pada rentang panjang gelombang sinar-x. Pada panjang gelombang yang membentang dari 10 pm hingga 10 nm ini, beberapa benda langit memancarkan sinarnya secara lebih dominan dibandingkan saat kita lihat menggunakan teleskop optik.
Dalam penggunaannya, XRT harus diletakkan di luar atmosfer Bumi agar teleskop dapat menerima sinyal gelombang sinar-x yang tidak diteruskan oleh atmosfer Bumi, sehingga dalam peluncurannya, XRT harus didampingi dan menempel di badan roket sbelum dilepaskan ketika telah melewati atmosfer Bumi.
Fokus penggunaan XRT adalah pada radiasi insiden yang terdeteksi di bidang detektor. Namun, salah satu kelemahan dari XRT adalah sudut pandang atau FOV-nya yang cukup kecil (biasanya < 1 derajat) dan lebih sempit dibanding teleskop optik atau ultraviolet. Dengan spesifikasinya, teleskop ini diutamakan untuk menghasilkan gambar yang memiliki resolusi tinggi dari teleskop dengan sensitivitas yang tinggi pula.
Peluncuran XRT pertama yang tercatat terjadi pada sekitar tahun 1963 dengan tipe teleskop Wolter I di daerah New Mexico. Peluncuran ini dimaksudkan untuk mengambil citra Matahari pada rentang 8–20 Angstrom. Setelah itu, observatorium sinar-x pertama yang bernama Observatorium Einstein (HEAO-2) mulai meluncur pada 1979, dengan hasil pengamatan pada energi 0.1–4 keV dari bintang, supernova remnant, dan beberapa galaksi lainnya.
Salah satu teleskop sinar-x yang juga terkenal dan beroperasi saat ini adalah Chandra X-Ray Observatory yang diluncurkan oleh NASA dan agensi antariksa dari Eropa, Jepang, dan Rusia. Chandra telah beroperasi selama lebih dari 20 tahun terhitung sejak 23 Juli 1999. Hingga kini, gambar yang biasa didapatkan oleh Chandra adalah citra galaksi dengan sudut pandang sekitar 0,5 detik busur, Teleskop ini sendiri juga pernah menangkap citra sinar-x dari lubang hitam Sagittarius A* yang dipercaya berada di pusat galaksi Bima Sakti.
3. Teleskop Ultraviolet
Sesuai dengan namanya, teleskop ultraviolet adalah kumpulan teleskop yang bekerja secara optimal pada rentang panjang gelombang ultraviolet (UV) sekitar 400 nm. Untuk gelombang UV sendiri, lapisan ozon pada atmosfer Bumi juga akan memblokir seluruh gelombang yang masuk apabila panjangnya kurang dari 300 nm. Karena lapisan ini terletak sekitar 25–40 km di atas permukaan tanah, maka astronom harus meluncurkan teleskop ini menggunakan roket sama seperti teleskop yang telah disebutkan sebelumnya.
Sejak tahun 1978 hingga 1996, terdapat sebuah observatorium angkasa bernama International Ultraviolet Explorer (IUE) untuk mengamati sumber gelombang ultraviolet dari benda-benda di angkasa luar.Teleskop IUR dilengkapi oleh cermin berukuran 45 cm dengan orbit yang geosinkronus (periodenya sama dengan periode rotasi Bumi).
Teleskop landas Bumi lainnya yang juga berfokus pada pengamatan gelombang UV adalah teleskop Extreme Ultraviolet Explorer (EUVE) yang beroperasi dari tahun 1992 hingga 2001 dengan rentang pengamatannya pada daerah ultraviolet ekstrim, yaitu sekitar 7–76 nm. Teleskop ini dilengkapi empat cermin berlapis emas dan juga beberapa instrumen yang membantu mendeteksi sinyal UV lemah.
Masih ada beebrapa telskop lagi yang mengamati daerah rentang ultravio-let sebagai fokusnya, misalkan saja Deep SURVEY Telescope yang mengamati pada arah anti-Matahari. Teleskop ini mengambil data dari objek langit dalam (deep-sky objects) pada bidang ekliptik sebagai bagian dari awal misinya.
Satu teleskop lain yang khusus dirancang mengamati gelombang UV jauh adalah Far Ultraviolet Spectroscopic Explorer (FUSE) yang mengamati objek pada panjang gelombang 90.5–119.5 nm dan beroperasi sejak 1999 sebelum dihentikan pada tahun 2007. Kini, teleskop optik landas Bumi pertama yaitu Teleskop Hubble juga dapat dikategorikan sebagai teleskop ultraviolet setelah ditambahkannya spektrograf yang sensitif pada rentang panjang gelombang antara 115–320 nm pada tahun 2009 lalu.
4. Teleskop Inframerah
Gelombang inframerah merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang di antara 1 μm sampai 1 mm. Bentuk dan konsep dari teleskop inframerah sebenarnya sama dengan teleskop visual, hanya saja sensor yang digunakan dapat menangkap cahaya di panjang gelombang inframerah.
Yang pertama kali memulai tren pengamatan astronomi inframerah adalah Eropa, dengan meluncurkan Infrared Astronomical Satellite (IRAS) pada tahun 1983. Proyek gabungan antara Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat ini bekerja selama 10 bulan dan menghasilkan peta langit pertama yang diambil dalam panjang gelombang inframerah. Kesuksesan IRAS membuka jalan bagi ESA’s Infrared Space Observatory (ISO) untuk meneruskan penemuan dari IRAS. Diluncurkan pada 1995, ISO merupakan observatorium inframerah di luar angkasa yang pertama kali ditujukan untuk tujuan umum.
Dilanjutkan lagi oleh NASA’s Spitzer Space Telescope yang mengorbit Bumi sejak 2003. Merupakan observatorium inframerah yang memiliki diameter sedikit lebih besar dari ISO. Selanjutnya ada Herschel, yang bisa dibilang merupakan lompatan besar dalam dunia teknologi inframerah, dengan ukuran lebih dari 4 kali lebih besar dari teleskop inframerah sebelumnya. Ukuran yang besar ini akan menghasilkan detail yang lebih baik. Herschel dapat mengamati daerah panjang gelombang di antara daerah inframerah yang diamati oleh teleskop-teleskop inframerah sebelumnya, dan teleskop radio landas bumi. Oleh karena itu, teleskop ini dapat menemukan banyak objek baru baik di dalam maupun di luar galaksi kita.
Untuk saat ini, ESA sedang bekerja sama dengan NASA dalam proyek James Webb Space Telescope, sebuah teleskop inframerah yang dirancang untuk melihat ke titik terjauh di luar angkasa, dimana cahaya visual memanjang menjadi cahaya inframerah karena pergerakannya melintasi alam semesta.
5. Teleskop Gelombang Mikro
Gelombang mikro merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang di antara 1 mm sampai 1 m. Bentuk teleskop gelombang mikro ini seperti antena parabola. Bentuk ini dipilih karena dapat mengumpulkan banyak cahaya yang datang secara efektif.
Salah satu titik balik dalam pengamatan gelombang mikro di astronomi adalah ketika Cosmic Microwave Background (CMB) pertama kali ditemukan. Penemuan ini terjadi secara tidak sengaja pada tahun 1965 ketika Arno Penzias and Robert Wilson sedang membuat penerima sinyal radio dan menemukan derau (noise). Setelah mereka teliti, ternyata derau ini datang dari segala arah. Derau itu yang kemudian kita kenal sebagai CMB.
Cosmic Microwave Background itu sendiri merupakan sisa-sisa radiasi yang dipancarkan oleh alam semesta 400000 tahun setelah big bang. Waktu itu alam semesta memiliki suhu rata-rata sekitar 3000 K. Sebagai perbandingan, suhu rata-rata alam semesta sekarang sekitar 2,73 K. Pendinginan ini terjadi karena alam semesta yang mengembang. Selain menyebabkan penurunan suhu, pengenbangan alam semesta juga menyebabkan panjang gelombang dari CMB membesar.
Apa yang kita ketahui tentang CMB sangatlah penting untuk membangun pemahaman kita terhadap asal-usul alam semesta. Oleh karena itu kita perlu meningkatkan kualitas instrumen pengamatan astronomi kita, terutama pada panjang gelombang mikro, karena CMB memancarkan cahaya dengan intensitas maksimum pada panjang gelombang mikro.
Pada tahun 1989 NASA meluncurkan misi Cosmic Background Explorer, yang berhasil membuat peta CMB pada seluruh arah. Pada 2003, Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) berhasil memberikan peta CMB yang lebih detail dari sebelumnya. Pada tahun 2013, European Space Agency’s Planck space telescope diluncurkan dan berhasil mengambil gambar paling presisi dari CMB (setidaknya untuk saat ini).
6. Teleskop Radio
Gelombang radio merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang lebih besar dari 1 m. Bentuk teleskop gelombang mikro ini seperti antena parabola. Bentuk ini dipilih karena dapat mengumpulkan banyak cahaya yang datang secara efektif.
Pengamatan teleskop radio lahir pada 1932. Awalnya pada 1928 Karl G. Jansky meneliti sumber noise statis yang mengganggu alat komunikasi radio. Setelah diteliti cukup lama, dia mendapatkan sumber noise itu dari luar tata surya yang ternyata lokasinya ada di rasi sagittarius, tempat pusat galaksi kita berada. Karena kontribusinya pada pengamatan astronomi di panjang gelombang radio, namanya diabadikan menjadi satuan yang menyatakan kekuatan emisi gelombang radio.
Pada tahun 1967, Jocelyn Bell menemukan sesuatu yang memancarkan radiasi yang kuat di panjang gelombang radio, dan berpulsasi dengan periode yang tetap, yaitu sekitar 30 kali per detik. Bell dan teman-temannya menamakan sumber ini sebagai LGM-1, karena mereka mengira radiasi ini berasal dari “Little Green Man” (Manusia Hijau Kerdil). Ternyata sumber radiasi tersebut adalah pulsar, sisa dari bintang besar yang mengalami supernova, berbentuk bintang yang seluruhnya terisi dari neutron. Bintang ini memancarkan radiasi yang kuat dari kutub-kutubnya, dan berotasi dengan laju yang sangat cepat.
Salah satu kontribusi dari pengamatan teleskop radio adalah pendeteksian calon sumber kehidupan di luar angkasa. Alam semesta kita memiliki banyak awan gas yang tersebar dan dapat berkumpul menjadi nebula. Nebula tersebut dapat “mengkerut” dan suatu saat membentuk bintang dan planet-planetnya. Salah satu lembaga yang melakukan pengamatan ini adalah Atacama Large Millimeter/submillimeter Array (ALMA). Lembaga ini berhasil menemukan molekul methyl isocyanate di Nebula Orion yang merupakan cikal bakal pembentuk DNA, yang keberadaannya dapat dideteksi menggunakan pengamatan gelombang radio.
7. Detektor Neutrino
Rusia mengerahkan teleskop raksasa ke dalam Danau Baikal di Siberia selatan yang beku untuk mencari partikel terkecil yang diketahui di alam semesta. Teleskop Baikal-GVD, dirancang untuk mencari neutrino, yang merupakan partikel subatom yang hampir tidak bermassa tanpa muatan listrik. Neutrino ada di manamana, tetapi keberadaannya sangat sulit untuk dideteksi. Itulah sebabnya para ilmuwan mencari di bawah Danau Baikal yang kedalamannya mencapai 1,7 kilometer dan merupakan danau terdalam di Bumi.
Detektor Neutrino biasanya dibangun di bawah tanah untuk melindunginya dari sinar kosmik dan sumber gangguan lainnya. Kata para peneliti kepada layanan berita AFP pada 13 Maret,
“Air tawar yang jernih dan lapisan es pelindung yang tebal menjadikan Danau Baikal tempat yang ideal untuk mencari neutrino.”
Para ilmuwan mengerahkan detektor neutrino melalui es sekitar 4 kilometer dari tepi di bagian selatan danau pada 13 Maret 2021. Kemudian menurunkan modul yang terbuat dari tali, bola kaca dan baja tahan karat hingga ke kedalaman 1.310 meter.
Baikal-GVD berukuran sekitar setengah dari ukuran detektor neutrino terbesar di Bumi, Observatorium Neutrino Kutub Selatan IceCube, yang terdiri dari jenis modul penginderaan cahaya yang sama dengan Baikal-GVD, tertanam dalam 1 km kubik Es Antartika. Menurut para ilmuwan di proyek tersebut, IceCube mendeteksi sekitar 275 neutrino dari atmosfer bumi setiap hari. Ilmuwan Rusia dan kolaboratornya di Republik Ceko, Jerman, Polandia, dan Slovakia berencana untuk memperluas Baikal-GVD ke ukuran IceCube atau lebih besar di tahun-tahun mendatang.
Kesimpulan
Pada astronomi era klasik, manusia prasejarah mengamati benda langit sebagai pedoman berkegiatan sampai pada 1800 SM Bangsa Babilonia mulai mendalami ilmu astronomi.
Pada Astronomi era Reinassance pengamatan masih dilakukan dengan mata telanjang hingga pada 1500-an muncul gagasan heliosentris yang dikemukakan oleh Copernicus, para astronom sudah melakukan perhitungan matematis dalam pengamatan astronominya.
Pada 1609 pertama kalinya pengamatan dilakukan dengan teleskop yang dilakukan oleh Galileo Galilei teleskop ini memiliki aberasi kromatis yang dapat mengganggu pengamatan.
pada tahun 1668 Isaac Newton membuat teleskop relektor dengan bahan dasar cermin sehingga tidak memiliki efek aberasi kromatis. Kemudian pada 1932 pengamatan astronomi dilakukan dalam panjang gelombang radio yang pada 1928 Karl G. Jansky meneliti sumber noise statis yang mengganggu alat komunikasi yang ternyata berasal dari luar tata surya.
Pada 1965, ketika Cosmic Microwave Background (CMB) ditemukan oleh Arno Penzias dan Robert Wilson, pengamatan astronomi dilakukan dalam panjang gelombang mikro, hingga pada 1983, tren pengamatan dalam inframerah pertama kali dilakukan oleh Eropa dengan meluncurkan Infrared Astronomical Satelite (IRAS).
Referensi
- Abraham, P. (2008). home.europa.com. Diambil kembali dari http://home.europa.com/~telscope/binotele.htm
- Aprilia. (t.thn.). Powerpoint PAM dan Pendahuluan Astrofisika 1.
- Biathlonmordovia. (t.thn.). biathlonmordovia.ru. Diambil kembali dari https://biathlonmordovia.ru/id/fritters/prezentaciya-na-temu-etapy-razvitiyaastronomii-istoriya-razvitiya/
- Bombelli, L. (2012, September 4). www.phy.olemiss.edu. Diambil kembali dari http://www.phy.olemiss.edu/~luca/astr/Topics-Introduction/Renaissance-N.html
- Britannica. (t.thn.). britannica.com. Diambil kembali dari https://www.britannica.com/topic/Marduk
- Britannica, T. E. (t.thn.). www.britannica.com. Diambil kembali dari https://www.britannica.com/biography/Chester-Moor-Hall
- ESA. (t.thn.). Diambil kembali dari https://www.esa.int/Science_Exploration/Space_Science/Herschel/History_of_infrared_astronomy
- European Space Agency. (2012). www.esa.int. Diambil kembali dari https://www.esa.int/About_Us/ESA_history/Christiaan_Huygens_Discoverer_of_Titan
- Gallup, M. (t.thn.). net.lib.byu.edu. Diambil kembali dari https://net.lib.byu.edu/scm/astronomy/tycho_kepler.html
- History of Telescope. (2021). www.historyoftelescope.com. Diambil kembali dari http://www.historyoftelescope.com/telescope-history/telescope-timeline/
- Howell, E. (2018). Diambil kembali dari https://www.space.com/amp/33892-cosmicmicrowave-background.html
- IK-PTZ. (2017). ik-ptz.ru. Diambil kembali dari https://ik-ptz.ru/id/testy-ege---2017-pomatematike/kakoe-razvitie-poluchila-astronomiya-v-drevnei-greciiastronomicheskaya-deyatelnost-v-drevnem-mire-kl.html
- Institute, Mount Wilson. (2021). Diambil kembali dari https://www.mtwilson.edu/60- telescope/
- National Geographic. (t.thn.). nationalgeographic.grid.id. Diambil kembali dari 1. https://nationalgeographic.grid.id/read/13303638/jejak-astronomi-modern-ditemukandi-babilonia-kuno?page=all
- National Radio Astronomy Observatory. (t.thn.). public.nrao.edu. Diambil kembali dari https://www.google.co.id/amp/s/public.nrao.edu/radio-astronomy/the-history-ofradio-astronomy/%3famp
- Nature Publishing Group. (2001). sites.astro.caltech.edu. Diambil kembali dari https://sites.astro.caltech.edu/~george/ay122/telescopes-history.pdf
- Northwestern University. (2021). Diambil kembali dari https://physics.northwestern.edu/about/dearborn-observatory/history.html
- Polashenski, M. J. (2001). www.ifa.hawaii.edu. Diambil kembali dari http://www.ifa.hawaii.edu/~meech/mp/A_Brief_History.pdf
- Rochayati, E. (t.thn.). uinsby.ac.id. Diambil kembali dari http://digilib.uinsby.ac.id/27178/1/Erma%20Rochayati_A92214081.pdf
- Simmons, M. (2021). Diambil kembali dari https://www.mtwilson.edu/building-the-100-inch-telescope/
- Telescope Nerd. (t.thn.). www.telescopenerd.com. Diambil kembali dari http://www.telescopenerd.com/telescope-timeline.htm
- Universitas Atma Jaya Yogyakarta. (t.thn.). uajy.ac.id. Diambil kembali dari http://ejournal.uajy.ac.id/8462/3/TA213573.pdf
- Universitas Indonesia. (t.thn.). lib.ui.itb.ac.id. Diambil kembali dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20160803-RB07R120pPiramida%20peninggalan.pdf
- Watson, F. (2001). home.europa.com. Diambil kembali dari http://home.europa.com/~telscope/watsonbinastr.txt
- Wilson, R. N. (1996). Reflecting Telescope Optics I. Basic Design Theory and its Historical Development. New York: Springer.
Artikel ini disusun oleh Kelompok “Dragon Army” PAM Himastron ITB 2021.
Penyusun: Novan Saputra Haryana, Argya Rangga Wicaksono, Alin Hafizhah Adira, Ferry Yap, Sultan Hadi Kusuma, M. Akmal Husain, Dian Aisyah Pammasse