Apa Itu Pencitraan?

Tindakan Pembentukan Persepsi

Kim Litelnoni
Hipotesa Media
2 min readOct 17, 2019

--

Artikel ini adalah transkrip video yang dapat ditonton di chanel Youtube “Hipotesa”

Pemilu atau tidak pemilu, kampanye atau tidak kampanye seperti biasanya, kita akan dihadapkan dengan pencitraan politikus. Kita mungkin bertanya, bagaimanakah kita dapat menentukan suatu aksi sebagai pencitraan? kenapa politikus gemar melakukannya?

Pencitraan politik adalah segala upaya yang mengedepankan sebuah “citra” yang positif untuk memperkuat kedudukan sebuah pejabat atau menggalang dukungan dari massa. Pencitraan tidak didasarkan dengan kerja nyata atau hasil yang substantif tapi hanya dari tampilan luar.

Teknik yang digunakan pun bermacam-macam, seperti memanfaatkan momentum dengan membesar-besarkannya atau memberikan sebuah narasi bahwa dirinya berada di pihak masyarakat untuk melawan sebuah kambing hitam.

Dengan meningkatnya teknologi, praktik pencitraan politik bisa dilakukan dengan lebih mudah seperti lewat media sosial. Para penguasa biasanya memiliki atau disokong oleh sekelompok pendukung dari dunia maya yang bertugas untuk menebar citra positif seorang pemimpin. Orang2 tersebut mendapat sebutan sebagai buzzer.

Tak jarang, Buzzer juga bisa dibayar untuk menebar citra negatif dari lawan seperti yang dilakukan oleh Muslim Cyber Army dan Saracen. Selain itu, media mainstream, perusahaan periklanan dan lembaga survey kerap dipakai untuk menghimpun opini, menyusun data, dan menampilkan citra baik itu positif atau negatif.

Bagaimana dengan taktik pencitraan kedua calon Presiden Jokowi dan Prabowo dalam Pemilu 2019 yang lalu? Dengan menggunakan analogi militer, Direktur Eksekutif Media, Rico Marbun mengatakan bahwa Jokowi cenderung menggunakan taktik bumi hangus dan blockade sementara Prabowo menggunakan taktik perang gerilya.

Jokowi menggunakan hampir semua kegiatannya sebagai lading untuk menarik simpati dari pemilih. Ketika Jokowi berkunjung ke Korea Selatan, beliau menyempatkan diri untuk mengambil foto dengan grup K-Pop Super Junior, Suju. Hal ini dinilai sebagai upaya untuk menarik simpati dari kaum millennial dan penggemar K-Pop di Indonesia. Selain kunjungan kerja, kuis berhadiah, blusukan, dan berbagai macam pemberian hadiah juga sering dilakukan Jokowi bahkan ketika dia masih menjabat sebagai walikota Solo.

Di lain pihak, Prabowo dinilai sebagai seorang gerilyawan, yaitu meyakinkan masyarakat akan kewajiban moral yang gagal dicapai oleh lawan sehingga satu satunya cara adalah untuk memilih dirinya. Dengan strategi ini, Prabowo-Sandi tidak perlu fokus untuk meyakinkan masyarakat bahwa dirinya lebih baik, melainkan cukup membuktikan bahwa Jokowi tidak cukup layak untuk memimpin Indonesia.

Baik dari Jokowi maupun Prabowo, pencitraan terkadang membuat kita memiliki pengharapan akan ditepatinya janji-janji dan kinerja dari pejabat tersebut. Sayangnya, ketika pencitraan politik tersebut tidak dapat ditepati, yang tersisa hanyalah politik kebohongan.

Kita tidak perlu mengelak, dalam demokrasi di mana dukungan massa sangat diperlukan, pencitraan merupakan sebuah hal yang wajar. Di negara otoriter sekalipun, pencitraan tetap dilakukan untuk menyenangkan warga. Ada yang menabur citra sebagai pemimpin yang kuat, dan ada juga yang sebagai reformis dan damai. Ketika memilih pemimpin nanti, pencitraan siapa yang akan kamu percayai?

Sumber:

Dhani, A. (2019). Bagaimana Jokowi Menjual Citra — Tirto.ID. Retrieved 17 October 2019, from https://tirto.id/bagaimana-jokowi-menjual-citra-clCc

Ibrahim, G. (2019). Kerasnya Strategi Jokowi-Ma’ruf Vs Prabowo-Sandiaga. Retrieved 17 October 2019, from https://news.detik.com/berita/4211729/kerasnya-strategi-jokowi-maruf-vs-prabowo-sandiaga

K, A. (2018). Politik Pencitraan, Medsos dan Sifat Masyarakat Terdidik Indonesia. Retrieved 17 October 2019, from https://rmol.id/read/2018/02/27/328488/

--

--