Dilemma Pers Dalam Aksi 212

Liput Salah, TIdak Liput Pun Salah

Kim Litelnoni
Hipotesa Media
4 min readOct 17, 2019

--

Artikel ini merupakan transkrip video yang bisa ditonton di channel Youtube “Hipotesa”

Jakarta, 2 Desember 2018. Jalanan sekitar Monas dipenuhi oleh kerumunan berbaju putih yang mengikuti Reuni 212. Seketika juga, suara bising dari kendaraan ditenggelamkan oleh Teriakan massa dan pidato dari berbagai tokoh.

Aksi yang dulu digunakan sebagai tuas untuk menjatuhkan Gubernur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), kini telah menjadi topik berbagai perdebatan, apakah aksi ini berbau politis atau secara murni agamais? Dan terlebih dari itu, Kenapa tidak ada Media yang meliput secara langsung?

Menjadi seorang jurnalis dan pers bukanlah sebuah profesi tanpa resiko.

Meliput sebuah event dengan atmosfer politis memberikan resiko yang signifikan bagi para jurnalis atau reporter.

Apakah profesi Jurnalisme hanya sekedar datang dan menyorot cahaya kepada apa saja yang terkesan heboh, atau dapatkah mereka memilih untuk tidak memberitakan sesuatu.

Meskipun aksi ini sangat sulit untuk di-lewatkan, hampir tidak ada peliputan dari media mainstream seperti Metro TV. Kurangnya kehadiran media ini membuat marah Capres no 2 Prabowo Subianto yang menyatakan kekesalannya bahwa aksi yang didatangi “11 juta” orang itu tidak diliput. Media dituduhnya sebagai alat penguasa yang tidak netral karena tidak meliput aksinya tersebut (Wicaksono, 2018) .

Pernyataan serupa dilontarkan oleh Rocky Gerung dalam acara Indonesia Lawyers Club. Dia mengatakan bahwa absensi media dalam aksi tersebut adalah sebuah bentuk “penggelapan sejarah”. Media telah disamakan sebagai humas pemerintah oleh tenaga pengajar UI tersebut (Tambak, 2018).

Bahkan, panitia penyelenggara aksi 212 tersebut meminta klarifikasi kenapa pers tidak hadir untuk meliputi aksi mereka (daryono, 2018).

Di berbagai belahan dunia, jurnalis dan reporter selalu menjadi korban ancaman, penangkapan, bahkan pembunuhan. Meskipun tidak se-tragis kasus pembunuhan jurnalis asal Arab Saudi, Jamal khashoggi.

kita tidak bisa melupakan gertakan dan ancaman yang dialami oleh reporter Metro TV dan Kompas TV ketika meliput aksi 212 dua tahun yang lalu.

Terdengar teriakan “usir” atau “tipu” ketika iringan reporter tersebut dikerumuni oleh masa yang menolak kehadiran mereka (Fadillah, 2017).

Sepertinya, Selalu saja ada kesalahan yang dikaitkan dengan mereka baik itu meliput atau tidak meliput. Mengingat bahaya yang harus dihadapi oleh media, majalah TIME menyematkan kategori “person of the year” bagi mereka yang membahayakan nyawanya untuk menyiarkan berita.

Di cover majalah tersebut, tertera wajah ikonik Jamal Khashoggi yang diberitakan meninggal di konsul Arab Saudi di Turki. Berdasarkan beberapa laporan, Jamal meregang nyawa dengan cara di-mutilasi secara keji selama tujuh menit lebih.

Jauh di Timur, pemerintahan Myanmar me-menjarakan jurnalis Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, yang juga muncul di majalah Time. Di tuntut, di-musuhi, siksa atau dibunuh, kehidupan seorang pemberita pers selalu penuh dengan resiko (AP, 2018).

Sayangnya, Indonesia belum maksimal dalam melindungi kebebasan pers. Berdasarkan peringkat Reporters Without Borders, Indonesia berada dalam peringkat 124 dari 180 negara dengan nilai 39 dari 100 (“2018 World Press Freedom Index | RSF”, 2018).

Ini tidaklah mengejutkan. 30 tahun otoritarianisme dan demokrasi yang masih diselingi oleh hasutan menjadi faktor pembentuk perilaku masyarakat terhadap pres.

Perilaku Prabowo Subianto yang terkesan anti terhadap media telah menjadi sebuah contoh bagi pengikutnya seperti partisipan 212. “Media sekuler” atau seperti yang dikatakan Rocky Gerung “humas pemerintah” merupakan tuduhan yang sering dilontarkan ke media mainstream. Sifat ini menyerupai presiden AS, Donald Trump. Yang telah mengucilkan media dan pers di dalam pernyataan-pernyataan.

Bila kesan negatif selalu diberikan bagi pers Indonesia, bagaimana mungkin mereka berharap pers akan meliput kegiatan mereka? Apabila pers dikatakan sebagai pembohong, kenapa mereka diharapkan untuk menyebar kebohongan mereka?

Tentu saja, kondisi ini telah menjadi dilemma tersendiri. Maju kena, mundur kena.

Sumber:

2018 World Press Freedom Index | RSF. (2018). Retrieved from https://rsf.org/en/ranking_table

· AP. (2018). Slain Jamal Khashoggi, jailed Myanmar journalists and newspaper named Time’s Person of the Year | The Japan Times. Retrieved from https://www.japantimes.co.jp/news/2018/12/12/world/slain-jamal-khashoggi-jailed-myanmar-journalists-newspaper-named-times-person-year/#.XBDvfdsza01

· Daryono, A. (2018). Panitia Akan Minta Klarifikasi Media yang Tak Liput Reuni 212. Retrieved from https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/panitia-akan-minta-klarifikasi-media-yang-tak-liput-reuni-212/ar-BBQDmQc

· Fadillah, R. (2017). Saat wartawan MetroTV jadi sasaran massa di berbagai aksi bela Islam | merdeka.com. Retrieved from https://www.merdeka.com/peristiwa/saat-wartawan-metrotv-jadi-sasaran-massa-di-berbagai-aksi-bela-islam.html

· Tambak, R. (2018). Rocky Gerung: Kalau Pers Nasional Tidak Beritakan Reuni 212, Itu Artinya Penggelapan Sejarah. Retrieved from https://politik.rmol.co/read/2018/12/05/369419/Rocky-Gerung:-Kalau-Pers-Nasional-Tidak-Beritakan-Reuni-212,-Itu-Artinya-Penggelapan-Sejarah-

Wicaksono, A. (2018). Prabowo Marah Media Tak Ungkap Jumlah 11 Juta Massa Reuni 212. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181205145724-32-351348/prabowo-marah-media-tak-ungkap-jumlah-11-juta-massa-reuni-212

Aksi 212: Rizieq Shihab datang dan menyeru ‘penjarakan Ahok’. (2017). Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39035135

--

--