Dunia Bersatu Dalam Protes

Kekacauan dan Pembangkangan

Kim Litelnoni
Hipotesa Media
6 min readNov 3, 2019

--

Hong Kong

Artikel ini ditulis oleh Emily Tahar sebagai bagian dari edaran mingguan Hipotesa

Dalam beberapa bulan ini, dunia sedang dihiasi dengan berbagai cerita mengenai kerusuhan sipil. Diseluruh benua sekarang ini, ada aksi demonstrasi yang terjadi. Bahkan di benua antartika pun terjadi. Pemicu aksi demonstrasi global ini memiliki banyak kesamaan yaitu adanya ketegangan oleh pemerintah setempat, ketidaksamarataan, dan mengenai perubahan iklim. Sayangnya, suatu kesamaan yang terjadi dari respons pemerintah-pemerintah global sering kali berakhir menggunakan tindakan keras yang banyak juga merupakan pelanggaran akan Hak Asasi Manusia (HAM) (Amnesty International, 2019). Amnesty International, salah satu organisasi non-pemerintah yang fokus untuk mempromosikan standar HAM internasional, telah “mendokumentasikan tanda-tanda pelecehan dan pelanggaran pada protes di Bolivia, Lebanon, Chili, Spanyol, Irak, Guinea, Hong Kong, Inggris, Ekuador, Kamerun dan Mesir pada bulan Oktober sejauh ini” (Amnesty International, 2019). Berikut ini ringkasan dari aksi-aksi demonstrasi yang terjadi dari berbagai benua.

Benua Asia

Hong Kong:

Para demonstran di Hong Kong turun ke jalanan sejak bulan Juni untuk menentang besarnya kekuatan Cina atas Hong Kong khususnya dalam hal proposal persetujuan ekstradisi ke Cina yang dapat merusak independensi mereka dan membahayakan masyarakat-masyarakat yang tidak setuju dengan pemerintah (Mathieson, 2019). Pada akhirnya, Rencana Undang-undang (RUU) tersebut ditarik namun, para demonstran juga ingin adanya penyelidikan independen terhadap dugaan kebrutalan polisi dan implementasi hak pilih universal yang lengkap (Amnesty International, 2019).

Lebanon:

Pemicu dari aksi demonstrasi di Lebanon adalah untuk menolak retribusi yang diajukan atas panggilan yang dilakukan melalui WhatsApp dari pemerintah (Mathieson, 2019). Para demonstran juga menginginkan pemerintah untuk mengundurkan diri serta pengusiran seluruh elit politik yang melakukan korupsi dan menghancurkan ekonomi negara (Mathieson, 2019). Setelah dua minggu aksi demonstrasi anti-pemerintah yang rusuh, akhirnya Perdana Menteri Saad Hariri mengundurkan diri. (Mathieson, 2019).

Irak:

Ribuan masyarakat Irak menentang kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah yang menewaskan setidaknya 200 orang saat aksi demonstrasi untuk protes terhadap pekerjaan dan pelayanan publik. (Mathieson, 2019)

Indonesia:

Ribuan pengunjuk rasa di Jakarta bentrok dengan polisi setelah Rencana undang-undang pidana baru (RUU KUHP) diumumkan. Para demonstran menolak RUU RKUHP tersebut karena dapat melemahkan komisi antikorupsi negara (KPK) dan beberapa perubahan yang kontradiktif untuk berbagai masalah dalam masyarakat seperti pasal penghinaan presiden, pasal aborsi, pasal kumpul kebo, dll. Meskipun pengesahan RUU RKUHP telah diperpanjang, masyarakat masih bersifat resah terhadap kemungkinan RUU RKUHP akan di sahkan (Asmara, 2019).

Suriah:

Masyarakat Suriah melakukan aksi demonstrasi dikarenakan pemulangan tentara-tentara Amerika dari Suriah. Menurut mereka, Suriah lebih rentan terhadap penyerangan dari pasukan Turki karena tidak dilindungi lagi oleh tentara-tentara Amerika tersebut (Kaplan, 2019).

Israel:

Para demonstran turun ke jalan untuk menentang peningkatan korban dari orang-orang Arab Israel (Kaplan, 2019). Bahkan dalam dua minggu, dua masyarakat Arab Israel ditembak dan dibunuh (business insider). Mereka menentang kelambanan polisi yang bisa disebut rasis (Kaplan, 2019).

Pakistan:

Aksi-aksi demonstrasi berfokus pada isu-isu yang terjadi di Kashmir serta kemarahan terhadap Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan (Chamas, 2019). Para pengunjuk rasa mengatakan pemerintahnya tidak sah, dan mengatakan dia hanya berkuasa melalui dukungan tentara (Chamas, 2019).

Benua Eropa

Perancis:

Aksi demonstrasi yang menyebut dirinya “The Yellow Vest Movement” awalnya menentang pajak bahan bakar yang lebih tinggi, berubah menjadi keluhan yang lebih luas terhadap pemerintah (Mathieson, 2019). Para pengunjuk rasa menentang ketidaksetaraan, pemotongan dalam layanan publik, dan reformasi pension (Mathieson, 2019). Ribuan demonstran masih melakukan aksi demonstrasi pada hari Sabtu namun, seringkali berakhir pada aksi kekerasan dan kerusuhan (Mathieson, 2019).

Rusia:

Moskow menjadi tempat unjuk rasa anti-Kremlin terbesar dalam tujuh tahun ini yang menentang tindakan keras oleh polisi anti huru hara dan upaya untuk memutus pergerakan demonstrasi dengan menahan para veteran pemimpin oposisi Rusia (Mathieson, 2019). Para demonstran juga memprotes pelanggaran hak-hak sipil, penurunan standar hidup dan tindakan korupsi (Mathieson, 2019).

Belanda:

Ribuan petani berdemonstrasi untuk memprotes klaim dari anggota parlemen Belanda bahwa pertanian bertanggung jawab atas emisi tinggi, dan bahwa beberapa peternakan sapi harus ditutup, dengan mengendarai traktor-traktor mereka di jalan raya (Kaplan, 2019). Para pengunjuk rasa merasa bahwa industry penerbangan juga harus bertanggung jawab atas emisi yang tinggi, tidak hanya industri pertanian (Kaplan, 2019).

Catalonia:

Protes yang terjadi dipicu oleh putusan Mahkamah Agung yang memberi sembilan politisi dan aktivis separatis terkemuka, hukuman penjara yang panjang karena upaya ilegal yang tidak berhasil untuk melepaskan diri dari Spanyol pada tahun 2017 (Chamas, 2019).

Benua Afrika

Aljazair:

Masyarakat aljazair awalnya memprotes tawaran terpilih kembali Abdelaziz Bouteflika, salah satu pemimpin terlama di Afrika Utara, Namun setelah Bouteflika mengundurkan diri, para pengunjuk rasa juga meminta perubahan dari sejumlah perwira elit tentara, pengusaha dan pejabat partai yang telah mendominasi politik di penganggotaan OPEC selama beberapa decade (Mathieson, 2019).

Benua Amerika Selatan

Chile:
Unjuk rasa dipicu oleh kenaikan kecil ongkos angkutan umum, namun berubah menjadi protes akan melambungnya biaya hidup, ketimpangan, memburuknya sistem kesehatan dan pendidikan dan, khususnya dalam kasus korupsi besar yang terjadi di Brasil (Mathieson, 2019). Diperkirakan lebih dari 15% total populasi Chile turun ke jalan untuk unjuk rasa (Mathieson, 2019).

Ekuador:

Demonstrasi dan kerusuhan dipicu oleh Presiden Lenin Moreno yang mengakhiri subsidi bahan bakar sebagai bagian dari kesepakatan kredit dengan Dana Moneter Internasional (Mathieson, 2019). Protes menarik berbagai pendukung termasuk masyarakat adat, mahasiswa dan serikat buruh. Unjuk rasa yang terjadi membuat pemerintahan sementara dipindahkan ke kota pesisir Guayaquil, dan juga kembalinya subsidi bahan bakar (Mathieson, 2019).

Peru:               Unjuk rasa di Peru dipicu oleh para pembuat undang-undang yang berusaha agar Presiden Peru, Martin Vizcarra dipindahkan, dan menunjuk Wakil Presiden Mercedes Araoz untuk mengambil alih sebagai presiden. (Kaplan, 2019). Presiden Vizcarra, awalnya mencoba untuk membubarkan kongres negara setelah upaya berbulan-bulan untuk memberantas korupsi namun tidak membuahkan hasil karena para anggota parlemen sayap kanan menghalangi kebijakan baru. Ketidakpastian akan jabatan Presiden Vizcarra membuat protes massa (Kaplan, 2019).

Benua Amerika Utara

Haiti:
Para pengunjuk rasa meminta Presiden Jovenel Moïse untuk mengundurkan diri atas kekurangan yang terjadi di Haiti dan korupsi yang meluas (Kaplan, 2019).

Benua Australia:

“Australia Extinction Rebellion”:

Extinction Rebellion adalah gerakan di seluruh dunia yang menggambarkan protesnya sebagai pembangkangan sipil tanpa adanya kekerasan. Gerakan demonstrasi ini memiliki anggota di seluruh dunia yang fokus untuk menjadi gerakan yang menanggapi minimnya tindakan akan masalah tentang perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya seperti naiknya lautan hingga kerawanan pangan (Chamas, 2019)

Demonstrasi Global:

Para pelajar di seluruh dunia berdemonstrasi dengan tidak masuk sekolah untuk bergabung dengan apa yang dikenal sebagai serangan iklim (Climate Strikes) di lebih dari 200 negara, untuk menuntut tindakan yang lebih besar dari pemerintah-pemerintah untuk memerangi perubahan iklim (Mathieson, 2019). Greta Thunberg, seorang remaja dari Swedia bisa dibilang sebagai “ketua” atau pelopor dari gerakan ini, namun gerakan ini bisa dibilang dapat berjalan sendiri secara independen (Mathieson, 2019).

Editor: Kim Egberth Litelnoni

Sumber:

Amnesty International. (2019). “Hong Kong’s Protests Explained”. Amnesty International. Retrieved from https://www.amnesty.org/en/latest/news/2019/09/hong-kong-protests-explained/

Amnesty International. (2019). “Protests around the world explained”. Amnesty International. Retrieved from https://www.amnesty.org/en/latest/news/2019/10/protests-around-the-world-explained/

Asmara, C. G. (2019). “Simak! Sederet Pasal Kontroversial RUU KUHP — KPK”. CNBC Indonesia. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/news/20190926081224-4-102313/simak-sederet-pasal-kontroversial-ruu-kuhp--kpk

Chamas, Zena. (2019). “Prostest are erupting around the world, but what’s sparking them?” ABC News. Retrieved from https://www.abc.net.au/news/2019-10-29/protests-around-the-world-explained/11645682

Kaplan, J., Akhtar, A. (2019). “A world on fire: Here are all the major protests happening around the globe right now”. Business Insider. Retrieved from https://www.businessinsider.sg/all-the-protests-around-the-world-right-now/?r=US&IR=T

Mathieson, Rosalind. (2019). “The Rash of Protests Around the Globe Have One Thing in Common”. Bloomberg. Retrieved from https://www.bloomberg.com/news/features/2019-10-30/many-protests-around-the-globe-have-one-thing-in-common

--

--