Tentara Uni Soviet di Moskwa, 1917.

[ID] Mendalami Sosialisme

Hipotesa Media
Hipotesa Media
Published in
6 min readNov 16, 2018

--

Sosialisme ingin menghilangkan penderitaan yang dialami kaum buruh di bawah sistem kapitalisme. Tapi bagaimanakah hal ini bisa dilakukan? Apakah kita harus melalui cara revolusi? Atau haruskah kita melalui proses demokrasi? Apakah betul sistem kapitalisme ditakdirkan untuk runtuh? Apa betul Sosialisme akan membawa dunia ke zaman utopia.

G. W. F. Hegel, seorang filsuf kelahiran Jerman, mengatakan bahwa terdapat tiga hal yang mendorong perubahan sosial, yakni pemahaman yang saling bertentangan tindakan untuk memecahkan pertentangan tersebut dan munculnya pertentangan-pertentangan lainnya.

Ketiga hal ini disebut sebagai tesis, anti-tesis, dan sintesis yang akan menjadi thesis. Sebuah pemikiran (tesis) akan bertemu dengan pemikiran yang bertentangan (an ti-tesis) dan dari pertentangan ini lahirlah suatu sinstesis yang akan menjadi kebenaran baru yang menjadikannya tesis.

Hegel menamai proses ini sebagai Dialektika (Landreth & Collander, 1994). Terinspirasi dari Hegel, kaum sosialis melihat kapitalisme sebagai sebuah sistem yang tidak stabil, maka dari itu diperlukan sebuah antitesis untuk mencapai keadilan sosial yaitu sosialisme. Dari pengertian mengenai dialektika inilah, kaum sosialis terbagi menjadi 2 kubu.

Pada satu sisi ada kaum Sosialis yang merasa bahwa manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang berbaik hati dan saling berpengertian. Dengan reformasi sosial dan perbaikan sistem pendidikan sebuah sistem bisa diperbaiki.

Kaum ini juga cenderung menolak penerapan Sosialisme dengan revolusi dan cara-cara kekerasan. Salah satu contoh tokoh yang berada di sisi ini adalah Hendrik Gerhard — ketua Asosiasi Pekerja Internasional cabang Belanda. Kaum yang berpikir seperti ini dinamakan sebagai Sosialis Utopia yang menganut dialektika idealis dikarenakan pemikiran mereka yang idealis di mana sebuah sistem bisa diperbaiki dengan saling mengerti satu sama lain.

Berbeda dengan mereka, seorang pemikir bernama Karl Marx menilai bahwa pertentangan tidak hanya terjadi dalam ranah pikiran melainkan inheren di dalam sistem kapitalisme. Marx mengamati masyarat dan menemukan bahwa semua masyrakat pasti memiliki 2 komponen yakni

Kekuatan Produksi adalah segala alat yang digunakan masyarakat tersebut untuk memproduksi barang-barang seperti mesin, modal, tanah, sekop, dan seterusnya. Dan ada juga, hubungan produksi, yang berarti sebuah sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan kekuatan produksi tersebut. Hubungan produksi tersebut diselubungi dengan apa yang dinamakan Marx sebagai “Superstruktur” yang terdiri dari musik, media entertainmen, seni, hukum dll. Superstruktur berfungsi untuk mempertahankan hubungan produksi yang terjadi.

Bila kita ingin mengganti hubungan produksi yang terjadi, superstruktur tersebut juga harus diganti (Landreth & Collander, 1994). Marx menilai hubungan produksi di dalam Kapitalisme sangat tidak stabil dikarenakan akan timbulnya pertentangan kelas borjuis dan proletar yang akan berujung kepada konfrontasi kedua kelas tersebut. Konfrontasi ini disebut Marx sebagai “Pertarungan Hidup atau Mati” dan prose snya dinamai sebagai Dialektika Materialisme. Konfrontasi ini dijelaskan oleh salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka secara lebih sederhana di bab 6 dari bukunya yang berjudul “Aksi Massa”.

Kaum Kapitalis bersaing satu dengan yang lain untuk mendapatkan kekayaan. Dan untuk memenangkan persaingan tersebut, pemilik pemilik bisnis tersebut, akan bergabung untuk membentuk sebuah kongsi untuk menambah kekuatan ekonomi kaum kapitalis. Persaingan antar kongsi akan mendorong pembentukkan sindikat (gabundan dari beberapa kongsi) karena gabungan di beberapa kongsi ini memberikan mereka kemampuan bersaing yang lebih tinggi.

Ingat restoran nasi goreng dari video kami yang lalu. Bayangkan jika ada 10 vendor nasi goreng dikantin kita. Lalu 3 vendor nasi goreng bergabung menjadi satu, lalu membeli dan mengalahkan vendor lain. Lalu vendor ini bebas menentukan harga nasi goreng di kantin karena vendor yg menjual nasi hanyalah vendor tersebut. Sama prinsip dengan bisnis yang menjadi sebuah kongsi.

Untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih banyak, gabungan sindikat ini akan membentuk trust yang dikepalai oleh beberapa orang. Berbagai industri dan usaha yang terpecah belah kini bergabung menjadi sebuah trust.

Proses yang sama juga terjadi pada bank-bank yang bersatu menjadi trust raksasa. Bank meminjamkan uang kepada industri dan usaha dan akan mendapatkan keuntungan dari bunga. Bunga tersebut dibayar oleh perusaahaan dengan mengambil sebagian upah dari buruh.

Peminjaman ini juga dilakukan kepada negara, dan negara membayar pinjaman dan bunganya dengan menerapkan pajak pada kaum buruh dan masyarakat kecil. Alhasil bankbank yang dulu kecil itu menguasai negara-negara dan usaha-usaha, sehingga yang paling menderita adalah kaum pekerja. Kemajuan Kapitalisme berarti semakin membesarnya jumlah kaum miskin.

Membesarnya kaum miskin mengartikan turunnya daya beli. Penurunan daya beli mengakibatkan kaum Kapitalis kehilangan konsumen dan keuntungan yang akhirnya mengharuskan mereka untuk memecat pekerja-pekerjanya. Tindakan ini menghasilkan penderitaan yang lebih besar lagi. Ini mengakibatkan pertentangan semakin tajam dan menghasilkan revolusi. Kaum pekerja bangkit, mengambil faktor-faktor produksi yang menggantikan kepemilikkan pribadi menjadi kepemilikkan bersama. Pada akhirnya menggantikan hubungan produksi dalam Kapitalisme ke Sosialisme. Sosialisme ini bukan akhir dari Dialektika Materialisme. Melainkan, proses dialektika akan terus terjadi sampai berujung kepada Komunisme.

Tentu saja taktik untuk melakukan revolusi seperti yang diandaikan marx akan berbedabeda, karena tergantung kondisi sosial dan ekonomi masyarat. Ini yang menjelaskan mengapa timbul berbagai macam interpretasi terhadap pemikiran Marx.

Ada Marxisme-Leninisme di Rusia, Maoisme di China dan, bahkan, bapak proklamator kita pun merumuskan Marhaenisme. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktek. Berbeda dengan Marx, Soekarno percaya bahwa revolusi di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh kaum proletar melawan kaum borjuis semata. Kaum Marhaen, menurut Soekarno, adalah “Proletar bukan, Borjuis bukan.” Mereka memiliki modal, alat produksi, dan tanah secara pribadi. Tapi, mereka tidak mempekerjakan siapa-siapa atau bila pun mempekerjakan orang lain hanya sedikit. Mereka sendirilah yang cenderung mempekerjakan kekuatan produksi tersebut dan hasil-hasilnya untuk mereka sendiri.

Dengan kata lain, mereka bukan proletar karena mereka tidak bekerja di usaha yang dimiliki orang lain. Mereka juga bukan borjuis karena tidak memperkerjakan orang lain, atau hanya segelintir orang. Kaum Marhaen terdiri dari petani, peternak, tukang gerobak, pedagang kaki lima, pemulung, pengusaha kecil-kecilan, dan seterusnya.

Kaum Marhaen, pada waktu itu, berjumlah sangat banyak dan hidupnya melarat diakibatkan Kapitalisme dan penjajahan Belanda. Menurut Soekarno, revolusi di Indonesia akan dilakukan oleh kaum marhaen yang akan dipimpin oleh segelintir kaum proletar yang terdidik. Revolusi ini tidak ditujukan bagi kaum borjuis Indonesia, karena posisinya yang lemah, melainkan ke kaum borjuis Belanda yang menjajah Indonesia pada saat itu. Maka dari itu, borjuis Indonesia justru di ikutsertakan dalam perjuangan melawan penjajahan.

Tapi pertanyaannya, jika Soekarno terinspirasi oleh karl marx, apakah Soekarno seorang Komunis? Dalam wawancaranya dengan Cindy Adams, Soekarno berkali-kali membantah tuduhan tersebut.

“Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi seorang komunis” “Kuulangi bahwa aku seorang sosialis. Bukan komunis. Aku tidak akan menjadi komunis. Aku tidak akan menjadi seorang simpatisan komunis”.

Dia bahkan mengutarakan bahwa ketaatannya beragama membuat dia enggan disamakan dengan komunis.

“Lima kali sehari aku bersujud secara lahir dan batin dalam melakukan hubungan erat dengan sang pencipta. Dapatkah seorang itu menjadi komunis”? (Sukarno & Adams, 1982)

Namun, Soekarno bukan juga seseorang yang anti dengan Komunisme. Beliau mengecam “fobia kiri” atau orang-orang yang takut dengan golongan Kiri sebesar dirinya mengecam Islamofobia.

Di berbagai pidatonya dia justru menunjukkan simpati pada kaum Kiri (“Ini Pesan Bung Karno untuk Mereka yang Anti-Komunis, 2016). Justru, Soekarno berharap bahwa faham-faham yang berbeda ini bisa bergabung secara harmonis. Maka dari itu, dia mencetuskan konsep “NASAKOM” yaitu Nasionalis, Agamais dan Komunis merupakan inisiatif Soekarno untuk menyatukan ketiga kaum tersebut.

Versi video artikel ini dapat ditonton di channel Hipotesa yang berjudul “Mendalami Sosialisme

Sumber

Team

--

--

Hipotesa Media
Hipotesa Media

Hipotesa is a media startup that gives education about politics, economy and generally speaking about what happens in the social world to general public.