Mengkambing-hitamkan Etnis Tionghoa Di Indonesia
Akar Paranoia Terhadap Etnis Tionghoa Dari Jaman Penjajahan Sampai Sekarang
Artikel ini bagian dari edaran mingguan Hipotesa
Etnis Tionghoa telah menjadi bagian dari sejarah Nusantara. Ada yang datang sebagai pedagang, pengungsi, bahkan penyebar agama. Namun, mereka kerap kali menjadi “kambing hitam” akan kondisi ekonomi Indonesia. Tak jarang, mereka dituduh sebagai pengusaha yang menggunakan taktik licik untuk mendapatkan kekayaan yang melimpah. Mengapa mereka selalu disalahkan karena keberhasilan bisnis mereka?
Faktor dari pesatnya bisnis etnis Tionghoa di Indonesia berada pada karakteristik etnis Tionghoa di Indonesia. Semenjak kedatangannya di masa kuno, etnis Tionghoa dikenal memiliki karakter pekerja keras dan mandiri. Mereka juga memiliki kebiasaan berdagang yang dibawa dari kampung halamannya. Dan memiliki etos kerja konfusianisme yang menjunjung tinggi menabung, mempersiapkan pendidikan yang baik bagi keturunan berikutnya, dan kesetiaan pada keluarga. Sementara orang pribumi bertahan hidup sebagai petani atau nelayan, mereka menghidupi diri sebagai pedagang dan pengusaha (Wu, 1983).
Bakat inilah yang menjadikan mereka sebagai penengah akan produsen pribumi dan importer dari barat. Untuk memanfaatkan posisi etnis Tionghoa sebagai penengah ini, pihak kolonial Belanda membuat sebuah hukum yang menaruh etnis tionghoa di atas etnis Pribumi (Vickers, 2005). Mereka bahkan dijadikan sebagai supervisor di perusahaan-perusahaan milik Belanda (Glassburner & Mackie, 1971). Meskipun demikian, kekuasaan Industri masih dipertahankan oleh pemerintah kolonial (Lane, 2014).
Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan, etnis Tionghoa menjadi target kebijakan diskriminatif karena posisi ekonomi mereka yang signifikan pada masa penjajahan. Pada tahun 1954, alat produksi seperti penggilingan padi yang dimiliki etnis Tionghoa diambil paksa ketika pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan “asing.” Etnis Tionghoa juga dilarang untuk mengimpor barang produksi dalam kebijakan Benteng (Wie, 2010)
Kebijakan ekonomi nasionalis yang tidak disertai dengan kemampuan manajemen terbukti berakibat fatal bagi perekonomian Indonesia. Bahkan, praktik korupsi dan rente sering terjadi di mana kaum Tionghoa diharuskan untuk menyogok kaum Pribumi untuk menggunakan ijinnya mengimpor barang-barang produksi (Robison, 2008).
Soekarno dan para pendiri bangsa mengerti, bahwa apabila semua usaha kaum Tionghoa diambil alih oleh pemerintah, akan ada konsekuensi buruk bagi perekonomian Indoneisa yang akan sulit untuk diperbaiki (Robison, 2008). Pada tahun 1965, peristiwa G30SPKI semakin menyudutkan posisi kaum Tionghoa yang dituduh sebagai “komunis.” Sebagai hasilnya, ribuan orang etnis Tionghoa dibunuh dari kampanye anti PKI. Akan tetapi, ini bukan berarti posisi ekonomi etnis Tionghoa mengalami penurunan (Glassburner & Mackie 1971).
Setelah Soeharto menjadi Presiden, Soeharto justru menjalin hubungan akrab dengan kalangan etnis Tionghoa. Dia menggunakan kemampuan bisnis yang dimiliki etnis Tionghoa untuk membangun perekonomian Indonesia. Dengan bantuan pemerintah, mereka mendapat keuntungan dari perlindungan negara terhadap kompetisi dan mendapatkan akses eksklusif pada kredit bank, dan hak tanah (Rosser, 2002).
Mereka juga berjasa dalam membantu kaum militer Indonesia yang sangat memerlukan dana untuk kebutuhan operasi militer (Crouch, 2007). Pengusaha Tionghoa seperti Liem Sioe Liong dan Bob Hasan adalah contoh konglomerat tionghoa yang memiliki kedekatan dengan militer dalam hal hubungan bisnis (Robison & Hadiz, 2004). Dari sini, lahirlah kelas konglomerat etnis tionghoa yang menjadi kaya raya berkat hubungannya dengan pemerintah.
Sekelompok kecil inilah yang akhirnya dianggap sebagai representasi seluruh etnis Tionghoa, yaitu kelompok yang memiliki kekuasaan dan punya kekayaan dengan cara yang culas. Kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998 membuat pembedaan ini menjadi semakin rumit. Perasan benci dan iri hati mengakibatkan pecahnya kerusuhan-kerusuhan yang menargetkan etnis Tionghoa (Dhani, 2016).
Pada akhirnya, paranoia akan kedudukan ekonomi etnis Tionghoa selalu berakar dari praktik politik pecah belah dan diskriminatif terhadap etnis-etnis tertentu. Kesan bahwa mereka adalah koruptor, pebisnis yang kejam dan sombong karena kekayaan mereka merupakan buah dari kebijakan yang memisahkan etnis Tionghoa dan Pribumi. Masih maukah kita dipecah belah?
Sumber
Buku
- Glassbuner, B., & Mackie, J. (1971). The Economy of Indonesia (1st ed., p. 9). Cornell University Press.
- Lane, M. (2014). Decentralization and Its Discontents (1st ed., p. 33). Singapore: ISEAS.
- Robison, R. (2008). Indonesia, the rise of capital (1st ed.). Singapore: Equinox Publishing (Asia).
- Vickers, A. (2005). A history of modern Indonesia (p. 28). Cambridge: Cambridge University Press.
- Crouch, H. (2007). The Army and politics in Indonesia (1st ed.). Jakarta: Equinox.
- Robison, R., & Hadiz, V. (2004). Reorganising power in Indonesia (p. 54). New York: Routledgecurzon.
Jurnal
- Wie, K. (2010). Understanding Indonesia:The Role of Economic Nationalism. Journal Of Indonesian Social Sciences And Humanities, 3, 55–79.
- Wu, Y. (1983). Chinese Entrepreneurship In Southeast Asia. The American Economic Review, 73(2), 112–117. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/1816824
Situs
Dhani, A. (2016). Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa — Tirto.ID. Retrieved from https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-bFLp