Perjalanan Saya di Dunia Persilatan

Darmawan Aji
Historina
Published in
5 min readDec 9, 2021

Di tulisan kali ini, izinkan saya menceritakan perjalanan saya di dunia persilatan sejak dua puluh tahun yang lalu. Ini adalah catatan pribadi saya, mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya bagi teman-teman yang membaca.

Ketertarikan dengan Dunia Persilatan

Pertama kali saya mengenal silat dari dua sinetron. Seingat saya, saya menonton sinetron ini pas SD. Sinetron pertama adalah “Sengsara Membawa Niknmat.” Di sinetron ini gerakan-gerakan silek Minang ditampilkan. Saya sebagai anak kecil merasa takjub dengan gerakan tersebut. Sementara sinetron kedua adalah sebuah sinetron laga dari Malaysia, saya lupa judulnya. Yang saya ingat, saya menonton sinetron itu di rumah tetangga. Maklum, sejak TV di keluarga kami rusak, Bapak tidak pernah memperbaiki TV itu kembali. Di sinetron itu ditampilkan gerakan-gerakan silat Melayu yang juga membuat saya sebagai anak kecil merasa takjub.

Ketertarikan saya dengan silat kemudian diperkuat oleh wejangan mbah kakung dari jalur ibu, namanya mbah Harno. Beliau ini seorang pendekar. Waktu mudanya dihabiskan di tanah Sunda untuk mempelajari berbagai aliran silat di sana. Konon, beliau belajar Cimande, Cikalong, juga Pamacan. Saya tidak tahu persisnya, namun cerita kepahlawanan simbah sering diceritakan oleh adik-adiknya. Setahun sebelum wafat (kalau tidak salah saat itu saya SMP), saya dan sepupu saya diajak berjalan melalui hutan belantara menuju kampung simbah. Jalur ini belum pernah saya lewati sebelumnya, sepertinya simbah sengaja. Di sepanjang jalan beliau memberi wasiat seputar jalan kependekaran. Tak lama kemudian beliau wafat.

Persaudaraan Setia Hati Terate (1995–1998)

Di masa SMP, barulah saya mulai belajar silat secara “formal.” Saya belajar di Persaudaraan Setia Hati Terate. Selama kurang lebih tiga tahun, saya mempelajari 60 senam dan 36 jurus Setia Hati dari jalur mbah Hardjo Oetomo yang sudah “disempurnakan” oleh mas Irsyad. Saya juga belajar jurus toya, belati, dan krippen (kuncian dan patahan) di sini. Tahun 98 saya pun akhirnya disahkan sebagai warga setelah melalui pendadaran yang “mengesankan.” Saat itu saya masih kelas dua SMA. Karena sudah menjadi warga, maka di kelas tiga pun mulai melatih adik-adik yang mengikuti ekstrakurikuler silat di SMA.

Mata Kuliah Pencak Silat (1999–2000)

Diterima di ITB, yang saya cari pertama adalah ekstrakurikuler pencak silat. Saya sempat melatih PSHT komisariat ITB beberapa waktu, namun karena saya merasa masih jauh dari kata menguasai saya pun berhenti melatih. Kebetulan, di semester dua ada mata kuliah pencak silat yang diampu oleh pak Saleh (sesepuh Panglipur), asistennya saat itu mas Mulyono (praktisi Perisai Diri dan pelatih IPSI Jawa Barat). Selama satu semester saya belajar silat standar IPSI. Mulai dari 8 sikap pasang dasar, gerak langkah, sampai serang bela. Di sini juga saya kemudian belajar jurus tunggal baku IPSI dan sabung tanding.

Kelatnas Perisai Diri (2000–2002)

Di luar kuliah, saya bergabung di Perisai Diri. Kurang lebih hanya tiga tahunan di Perisai Diri sampai level calon keluarga. Sebenarnya pembelajaran di level calon keluarga saat itu sudah selesai, namun saat ujian kenaikan tingkat saya malah tidak hadir karena ada halangan.

Cimande (2007)

Sekitar tahun 2005 saya dikenalkan ke Abah Gending Raspuzi. Pertama kali bertemu beliau di rumahnya, saya terkagum-kagum. Pengetahuan silatnya baik secara sejarah, teori, maupun praktiknya menurut saya sangat mumpuni. Sejak saat itu saya sering menyempatkan bersilaturahim ke rumah beliau. Agendanya macam-macam, mulai dari konsultasi gerakan jurus yang pernah saya pelajari sampai rekomendasi silat tradisional yang cocok bagi saya. Ya, sejak kenal beliau saya baru sadar kekayaan khasanah persilatan di Indonesia. Karena saat itu saya mencari silat tradisional yang imbang sifat ofensif dan defensifnya, saya pun direkomendasikan untuk belajar Cimande. Direkomendasikanlah saya ke “khalifah” Cimande wilayah Bandung saat itu yaitu kang Sodiq. Setelah beberapa kali mengajukan diri untuk jadi murid Cimande, akhirnya saya diterima oleh beliau. Saya mulai belajar Cimande, seingat saya akhir 2007. Tahun 2008 saya harus pulang ke Tegal karena ibu wafat dan menetap di sana untuk menemani adik. Maka, saya pun berhenti dari latihan Cimande.

Cikalong (2014–2016)

Bertahun-tahun saya vakum berlatih, hingga akhirnya saya kembali ke Bandung. Tahun 2014 saya mewakili teman-teman dari komunitas KPPBI (Komunitas Penggemar & Praktisi Beladiri Indonesia) menghubungi Abah Gending. Saat itu KPPBI akan mengadakan gathering. Abah bersedia dan mengenalkan beberapa kaidah silat sederhana ke peserta gathering.

Gathering KBBI 2014 (saya yang motret jadi nggak keliatan hehe)

Saya pun kembali tertarik berlatih silat. Saya membantu Abah untuk mengumpulkan beberapa orang yang tertarik dengan silat Sera Garis Paksi. Terkumpullah 7 orang: saya, kang Rian, kang Erick, kang Nendy, mas Yanto Sudrajat, dll. Setiap Senin sore kita berlatih di GGM Merdeka. Mungkin karena saya sudah lama vakum, saat itu saya agak kemaruk latihan. Di samping berlatih Sera, tiap Ahad pagi dan Rabu malam saya berlatih Cikalong dari jalur wa Aziz. Akhirnya? Saya nggak kuat, dan memutuskan hanya berlatih silat Cikalong saja. Kenapa bertahan di silat Cikalong? Alasananya sederhana: karena latihannya di kantor saya, jadi mau nggak mau kudu datang buat bukain kunci, hehehe.

Latihan Cikalong (2016)

Ulin Makao dan Sera Cibiru (2018-hari ini)

2016 akhir saya vakum berlatih Cikalong. Alasannya karena tempat latihannya pindah ke jalan Braga, hehe. Jadi saya tidak punya untuk datang bukain kunci lagi. Saya kembali berlatih silat ketika Abah Gending membuka pelatihan sehari Ulin Makao pada tahun 2018. Saya pun jatuh cinta. Namun, saya belum berjodoh untuk belajar lebih dalam. Tahun 2019, saya dimintai bantuan oleh Abah Gending menemani tamu seorang praktisi Sera dari Italia, Max Morandini, untuk bertemu dengan praktisi silat Sera di Cibiru yaitu Abah Yaya. Saya kaget karena ternyata beliau tinggal satu RW dengan saya. Dari pertemuan itu, saya pun kembali tertarik dengan Sera. Saya mengajukan diri untuk belajar ke Abah Yaya. Maka, sejak itu saya berlatih silat Sera dari jalur Abah Yaya.

Saya dan Abah Yaya (2019)

Tahun 2020, di sela-sela belajar Sera, saya ingin kembali menyambung silaturahim dengan Abah Gending. Maka, saya pun mengajukan diri untuk belajar Ulin Makao lebih dalam ke beliau. Alhamdulillah, beliau bersedia mengajari saya. Sayang, pandemi tiba-tiba datang. Latihan saya di Abah Yaya maupun Abah Gending terhenti selama setahun. Baru di sepertiga tahun terakhir inilah latihan kembali dilakukan.

Saya dan Abah Gending (Ulin Makao)

Refleksi Diri

  • Berlatih silat itu ibarat jodoh, tidak bisa dipaksa. Meskipun dekat dan kenal dengan guru, bila belum berjodoh tetap saja tidak akan terjadi.
  • Dibutuhkan niat yang kuat untuk berlatih secara rutin. Untuk apa latihan? Apa tujuannya? Apakah untuk gaya-gayaan? Menjalin silaturahmi dan persaudaraan? Mewariskan tradisi keilmuan? Atau jaga kesehatan? Niat yang berbeda akan menghasilkan usaha yang berbeda.
  • Jangan ikuti kesalahan saya, belajar bermacam aliran bersamaan dan akhirnya tidak ada yang jadi. Lebih baik fokus dan tekuni satu aliran, sehingga matang di sana. Setelah matang di satu aliran, silakan bila mau melakukan cross training dengan aliran lainnya.

--

--

Darmawan Aji
Historina

Productivity Coach. Penulis 7 buku pengembangan diri. IG @ajipedia Profil lengkap: darmawanaji.com