Kepercayaan Seorang Papua

Champ!
HME Spectre
Published in
10 min readOct 9, 2018

“Sepenggal Kisah Ekspedisi Papua Terang”

Pemandangan yang terdapat di Pulau Namatota. “A little Piece of Heaven”

“Ko itu anak PLN itu ya? Mau ngapain lagi kalian beri kami harapan palsu?” kata seorang bapak yang berasal dari kampung Werua kepada saya. (Ko dalam bahasa Papua berarti “kamu”)

“Om Freddy! Sudah-sudah! Anak ini tidak tau! Dia hanya menjalankan tugas dari atas (PLN). Sudah-sudah dek, tra (kata tidak di Papua bagian Kabupaten Kaimana) usah dengerin dia. Dia hanya sedang mabuk, dia memang sering bicara ngawur seperti ini.” bela supir kapal kami terhadap aku. “Ah Jimmy! Ko karna tra tau saja. Sa (saya) sudah pernah di sana bertaun-taun.” jawab pak Freddy kepada Pak Jimmy. “Gini ya dek, sa su (sudah) sering liat orang-orang survei-survei ke sini tapi apa yang kami dapat? Tidak ada. Sa sebenarnya su bosan dengar akan bangun pembangkit ini itu tapi tidak pernah dilaksanakan. Kemarin ada orang dari Prancis, ada juga mahasiswa seperti kalian ke sini, ada juga perusahaan-perusahaan, mereka-mereka berjanji akan membangun tapi tidak pernah membuatnya.” ucap kesal pak Freddy kepada aku. Saat itu aku sangat tertegun mendengar seorang bapak yang kira-kira berumur 55–65 tahun berkata demikian. Jauh di dalam hatiku aku sangat ingin membantunya dan menyukseskan ekspedisi ini sehingga mimpinya akan kampungnya teraliri listrik dapat berjalan. Ini mengingatkan kembali motivasiku pertama kali saat ingin mengikuti ekspedisi ini.

Touchdown! ” teriak ku saat pertama kali sampai di Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo, Biak, Papua. “Ternyata gini ya rasanya udara di Papua.” kataku kepada salah satu peserta ekspedisi Papua Terang ini. “Paan sih do, biasa aja kali, Hahaha.” balas temanku kepadaku seraya merangkulku. Oiya, lupa kenalan. Perkenalkan aku Edo Napitupulu sebagai salah satu peserta Ekspedisi Papua Terang yang berasal dari teknik tenaga listrik ITB 2015. Ekspedisi Papua Terang ini merupakan program PLN yang bekerjasama dengan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari lima universitas , yaitu ITB, UI, UGM, ITS dan UNCEN. Program ini merupakan turunan dari program kerja kementerian ESDM yang akan mengupayakan seluruh wilayah Indonesia mendapatkan listrik pada 2019. Ekspedisi Papua Terang ini diikuti oleh kurang lebih 295 orang, 165 mahasiswa dan 130 pegawai PLN sendiri. Setelah menunggu sejam di Biak, kami berangkat kembali menuju Nabire sebagaimana tujuan utama kami. Biak sendiri merupakan tempat transit karena tidak ada penerbangan dari Jakarta menuju Nabire.

Sesampainya di Nabire, kami disambut oleh tarian Yosim Pancar oleh warga sekitar. Tarian tersebut disuguhkan kepada orang-orang yang baru pertama kali ke Nabire. Setelah itu kami mendengar kata sambutan dari sekretaris daerah dan mereka menyambut kami dengan sangat ramah. Selang 2 hari di Nabire, kami dibagikan kelompok dan daerah mana yang akan dituju. Tim-ku mendapatkan desa-desa yang ada di Kabupaten Kaimana. Kami berangkat menggunakan pesawat untuk menuju ke Kabupaten Kaimana. Kami tiba di Kaimana hanya dengan waktu 45 menit. Sesampai di Kaimana, kami beristirahat dan mencari bahan makanan serta segala yang diperlukan untuk persiapan ke kampung. Dua hari kemudian kami berangkat menuju kampung Lobo. Kampung Lobo merupakan subposko kami. Dipilihnya Kampung Lobo sebagai sub-posko dikarenakan tempat tersebut merupakan tempat yang strategis (dekat) untuk mencapai kampung-kampung lainnya. Dari Kaimana menuju Kampung Lobo membutuhkan waktu satu jam menggunakan longboat (kapal panjang seperti nelayan). Selama perjalanan, ada temanku yang takut karena pertama kali melewati laut lepas walapun pelampung sudah melekat di badannya. Namun memang harus saya akui, perjalanan tersebut cukup menyeramkan karena kita berada jauh dengan daratan dan harus menyebrangi lautan lepas.

Setelah melewati ombak laut yang belum begitu ganas karena masih pagi, akhirnya kami sampai ke kampung Lobo. Sebelum ke kampung Lobo, kami singgah sebentar ke kampung Namatota yang berjarak kira-kira 15 menit dari Lobo untuk mengambil ikan tongkol yang sudah dipaketkan seberat 10 kg. Namatota ini sendiri merupakan tempat perikanan terbesar di daerah Kaimana. Kami tiba di kampung Lobo pukul 9 pagi dan langsung disambut oleh kepala-kepala kampung yang akan kami survei. Setelah berdiskusi sebentar, kami akan langsung memulai survei kami ke beberapa kampung yang berada di sekitaran kampung Lobo. Kami berangkat menggunakan longboat juga dan diikuti oleh kepala distrik serta beberapa warga menuju kampung pertama yaitu kampung Kamaka. Di Kampung Kamaka ini kami disambut hangat oleh warga sekitar walaupun kepala kampungnya sedang tidak berada ditempat. Sehingga untuk mengurus persoalan administrasi kami harus menunggu Kepala Kampung Kaimana kembali.

Ada beberapa pelajaran yang kudapat dari kampung ini mengenai Papua. Pertama, jangan pernah percaya terhadap perkiraan jarak yang dikatakan oleh orang-orang lokal. Sebenarnya hal ini sudah dikatakan sebelumnya oleh pegawai PLN yang bekerja di Papua langsung, cuman namanya belum pernah merasakan jadi ya tidak tau. Ada seorang bapak dari kampung Kamaka yang meminta kami untuk melakukan tagging dan plotting kampung Kamaka tersebut. Hal ini dilakukan untuk menentukan jalur tiang-tiang listrik yang kelak akan dibangun. Saat kami bertanya tentang sumber daya di kampung Kamaka ini, bapak tersebut bilang bahwa ada sungai yang berada hanya 250 m di sekitaran ini. Karena jarak maksimal 1 km untuk pembangkitan seperti air, sehingga kami ingin segera menuju tempat sungai tersebut. Sebenarnya saat ia berkata 250 m, kami heran karena seharusnya bila jaraknya hanya 250 m, suara air tersebut seharusnya terdengar dari tempat kami, namun akhirnya kami tetap mengikuti beliau. Mulailah kami berjalan dan menaiki gunung, 100 m , 250 m, 500 m, 1000 m, 1500 m akhirnya setelah 1800 m kami tiba di sumber mata air yang katanya sungai. Ternyata hanya kolam kecil 1x1 m untuk sumber mata air mereka, dimana debit dari gunung nya saja sangat kecil. Wah, kapok kami mengikutin perkataan orang lokal tentang jarak. Bahkan saat kami berjumpa kembali dengan warga yang berada di kampung, mereka heran kenapa kami begitu lama mensurvei. Setelah kembali ke longboat, kami menceritakan peristiwa kami tersebut dan orang-orang yang sudah mengingatkan kami di longboat tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Tetapi selama perjalanan untuk mencapai ‘sungai’ tersebut aku dapat lihat dan makan buah pala, makan tebu dan rambutan. Ini menandakan bahwa tanahnya masih terawat dan alami.

Kedua, alat komunikasi alias cara pendekatan orang ke warga sekitar menggunakan rokok. Jadi sebelum kami menuju kampung Lobo, kami sudah membeli 3 slot rokok Surya dan 3 paks rokok linting. Jadi, apabila kami mengunjungi kampung baru kami memberikan 1 bungkus rokok untuk kepala kampung-nya sedangkan untuk warganya sendiri kami biasanya langsung memberikan 2 atau 3 bungkus rokok linting. Namun, apabila ada warga yang menemani kami untuk mensurvei, kami biasanya menawarkan rokok batangan kepada mereka. Mereka sangat senang apabila kita memberikan sesuatu kepada mereka. Cuman bukan berarti apabila kita ke Papua kita harus merokok, namun kita dapat hanya membagikan saja tanpa merokok juga.

Ketiga, banyak kepala kampung yang tidak bertanggung jawab kepada kampungnya sendiri. Hal ini seperti kepala kampung Kamaka ini, dimana kepala kampungnya pergi untuk membangun sebuah daerah yang baru untuk membuat kampung baru. Hal ini dilakukannya karena kepala kampung di Papua ini ditentukan oleh warganya sendiri dan dia sudah yakin dia tidak mungkin dapat menjadi kepala kampung lagi di kampung Kamaka tersebut. Untuk pemilihan kepala kampung ditentukan oleh warganya sendiri setiap 5 tahun sekali. Kepala kampung bertanggung jawab dalam pengembangan kampungnya sendiri dengan menerima dana dari pemerintah sebesar 1,6 M setiap tahunnya. Namun banyak kepala kampung yang melarikan diri dan membawa uang tersebut untuk dihamburkan sendiri sehingga kampung-kampung yang seharusnya dimajukan menjadi tertinggal.

Keempat, sebenarnya kebanyakan desa di Papua ini sudah memiliki genset swadaya sendiri. Namun reabilitasnya terbatas, artinya akan hidup saat ada BBM saja. Sedangkan BBM hanya ada di Kaimana yang notabene berjarak sangat jauh dari mereka sehingga genset tersebut jarang dihidupkan. Untuk itu PLN ingin mengganti swadaya dengan pembangkit dari PLN sendiri, sehingga mereka dapat merasakan listrik setiap saat seperti kita yang berada di kota.

Setelah berpamitan dengan warga yang berkumpul di pantai hanya untuk menyambut kami, kami pun pergi ke kampung selanjutnya yaitu kampung Lumira. Hanya berjarak 15 menit dari kampung Kamaka, kami pun tiba di kampung Lumira. Sama seperti kampung sebelumnya kami disambut baik dan segera melakukan survei. Bahkan saat kami meminta daerah mana yang cocok untuk dibangun pembangkit, mereka dengan semangat berkata “Ah, kalo masalah tempat tidak masalah. Bahkan hutan-hutan ini akan kami tebang untuk pembangunan pembangkit itu.” kata seorang warga kepada kami. Sebelumnya, dari PLN berkata bahwa dibutuhkan daerah sekitar 20x30 m untuk pembangkit diesel dan harus dihibahkan dari kampung tersebut. Dan kenyataan yang kami dapat mereka akan menebang dan membersihkan pohon-pohon yang begitu banyak untuk membuka lahan sebesar 20x30 m , sungguh sebuah semangat yang membara dari mereka untuk membangun daerah mereka sendiri. Bahkan di kampung ini kami dihidangkan makan siang dan minum juga.

Setelah dari kampung Lumira kami menuju kampung Saria. Di sini, aku sangat merasa tertampar. Saat tiba di kampung ini, kami tidak menemukan satupun petugas kampungnya. Sehingga kami tidak bisa melakukan apapun di kampung ini, mungkin hanya survei yang dapat kami lakukan tanpa menyelesaikan administrasi desa tersebut. Setelah selesai, kami beristirahat sebentar di pelabuhannya. Di sini, kami mengajak anak-anak di sekitaran untuk bermain bersama dan warga untuk berkumpul. Di sini aku bisa lihat bahwa pendidikan yang ada masih rendah serta sanitasi juga sangat rendah. Warga-warga dikampung ini juga sangat sulit untuk diajak berbicara, terlihat seperti takut dan tidak terbiasa berjumpa dengan orang lain. Saat kami menocba memberikan permen atau buku atau pulpen, tetap tatapan kosonglah yang kami dapati. Badan dan rambut yang kotor, pakaian yang sudah usang dapat kami lihat baik di anak-anak maupun di warganya. Rasanya sangat ingin menamparkan diriku sendiri karena terlalu sering berkeluh kesah terhadap permasalahan hidupku yang belum sebanding dengan mereka. Setelah dari kampung ini, kami kembali ke Kampung Lobo untuk beristirahat.

Besoknya kami melanjutkan perjalanan kami menuju kampung Jarati, Werua dan Sara. Pertama kali kami menuju Kampung Jarati, kami menggunakan truk besar yang biasa digunakan untuk mengangkut drum minyak maupun kayu-kayu. Kami sampai harus berdiri karena banyaknya warga yang berantusias untuk mengikuti kami survei. Sesampainya kami di kampung Jarati, kami dengan lancar melakukan survei. Lalu sampailah kami ke sebuah pengujian dimana kami harus berjalan kaki karena jalanan yang rusak dan tidak dapat dilalui oleh truk. Kami mulai berjalan kaki kira-kira 24 km lebih melewati gunung dan hutan, kemudian menggunakan longboat sejauh 6 km. Waktu perjalanan kami kurang lebih 7 jam. Setelah itu kami langsung menentukan tempat untuk beristirahat terlebih dahulu di kampung Werua. Sebelumnya, timku hampir tersesat karena perbedaan stamina yang cukup besar dengan orang lokal. Dimana orang-orang kampung ini mungkin belum terbiasa untuk menemani orang luar ke kampung, sehingga mereka duluan maju dan mengira stamina kami seperti mereka yang sangat kuat. Jadi kalau di hutan itu kalau sudah mulai kehilangan arah kita harus teriak seperti tarzan “Uoo..Uoo..” sehingga tau mana arah yang harus ditempuh. Selama perjalanan, barang-barang kami dibawakan oleh ‘orang pikul’, dimana itu sebutan untuk orang yang dibayar untuk mengangkut barang seseorang. Mereka juga mampu mengangkut BBM seberat 20 liter untuk perjalanan sepanjang itu. Oiya, untuk menggunakan longboat harus membawa BBM sendiri untuk digunakan.

Keesokan harinya baru lah kami sadari bahwa kampung Werua merupakan kampung yang sangat memprihatinkan karena sudah ditinggalkan oleh kepala kampungnya dari tahun 2015. Hal ini membuat mereka tidak mendapatkan dana pembangunan selama 4 tahun berturut-turut sehingga kampungnya menjadi sangat tertinggal. Sudah lama tidak ada listrik di daerah tersebut, walaupun disana adagenset namun tidak bisa dihidupkan karena tidak adanya BBM. Setelah dari kampung Werua kami menuju kampung terakhir yaitu kampung Sara. Kampung Sara ini sebenarnya ada dua, yaitu yang baru dan lama. Kami mengunjungi kampung yang baru, kampung baru artinya kampung yang dipindahkan dikarenakan kesulitan air dan medannya di kampung lama. Kampung Sara ini juga ditinggalkan oleh kepala kampungnya. Namun Kampung Sara ini adalah kampung yang masih tergolong cukup bagus walaupun ditinggalkan pemimpinnya karena pembangunannya yang masih terjaga. Didaerah Kampung Sara ini tenaga kerja pengajar sangat sedikit.

Bersama warga di kampung Sara, Papua. “any smile on the?”

Sebelumnya kami sempat berhenti di telaga biru untuk mengambil air sungai yang sangat jernih sebelum ke Sara. Anehnya air tersebut bersentuhan antara air sungai yang jorok dengan air telaga biru tersebut, namun air nya seperti terbagi menjadi dua dan sangat jernih di telaga birunya. Jadi kami mengambil air dan memasukkannya ke dalam botol minum untuk kami bawa karena persediaan air minum kami sudah mulai habis. Air telaga biru ini dapat kami minum langsung tanpa perlu dimasak terlebih dahulu. Kata warga sekitar air tersebut tidak bisa dikotori, dan apabila ada yang berniat mengotorinya, orang tersebut akan kena kutuk. Dikatakan sudah terdapat korban yaitu warga Jarati yang matanya seperti mau keluar.

Setelah survei selesai, yang kami lakukan adalah kembali ke Lobo dengan menggunakan jalur yang sama seperti sebelumnya. Setibanya di Lobo kami-pun beristirahat dan berjalan-jalan sekitar dua hari sebelum kembali ke Kaimana. Setibanya di Kaimana, aku diajak teman dekatku Chozmaz untuk bercerita-cerita dan duduk-duduk dengan warga-warga di salah satu rumah kenalannya di Kaimana. Chozmaz merupakan petugas PLN yang bertugas untuk menghidupkan pembangkit diesel di kampung Lobo tersebut dari jam 18.00–06.00. Di rumah tersebut aku berjumpa dengan pak Freddy dan pak Jimmy yang sudahku kenal sebelumnya pada perjalanan menuju Lobo dengan menggunakan longboat.

“Om Freddy! Sudah-sudah! Anak ini diajak Chozmaz untuk santai sajanya di sini, jangan dorong-dorong dia. Sa su (sudah) berpuluh-puluh tahun dari Werua! Sa su lebih lama dari ko! Tapi sa percaya mereka pasti akan memberikan yang terbaik kepada kita. Kita serahkan saja semua kepada pemerintah, jangan marah tapi dukung mereka! “ kata pak Jimmy kepada pak Freddy seraya melarangku selalu untuk ngomong. “Chozmaz, sudah bawa pergi dulu si Edo. Biarkan dulu Om Freddy ini tenang supaya kalian tidak terganggu. Sa tra suka ada orang yang menekan-nekan kalian.” ucap pak Jimmy kepada Chozmaz. “Baik pakcek. (panggilan bapak di Papua)” jawab Chozmaz. Disitu aku sangat tertegun melihat Pak Jimmy dimana ia merupakan warga kampung yang sudah lama tinggal di kampung tertinggal dan sering dikecewakan namun masih tetap mempercayai dan mendukung pemerintah dalam kinerjanya. “Tenang pakcek makcek, aku pasti akan selalu mendukung kalian guna mengembangkan tanah Papua ini” ucapku dalam hati.

Namun dari seluruh cerita yang aku ceritakan ini, tetap ada yang ingin aku katakan bahwa Papua merupakan tanah surga yang begitu indah nan kaya. Ini merupakan fakta yang hakiki selama keperjalananku di tanah Papua tersebut.

Edo Bintang O. Napitupulu

18015024

--

--

Champ!
HME Spectre

Story Page of Electrotechnical Students Union