Bom Bunuh Diri: Strategi Usang Perpolitikan Timur-Tengah

Sahashika Sudantha
Hubungan Internasional

--

Seputar Timur-Tengah, pembahasan berat. TW: Suicide, violence, and religious topics.

Foto oleh Jeff Kingma di Unsplash.

Pada hari Paskah yang tenang, di tahun 2002, sebuah hotel di pesisir Israel bernama Park Hotel mengadakan acara untuk merayakan hari libur tersebut. Bagi 250 orang tamu di sana, semua keadaan tampak seperti biasanya; makanan dihidangkan, kebahagiaan dikumandangkan, semua merayakan. Hingga datanglah seorang perempuan mendekati lobi, berpakaian cantik dan membawa koper, layaknya tamu-tamu lainnya. Namun pada pukul 19:30 waktu setempat,

BOOM!

ledakan terjadi, membunuh 140 orang dan menyebabkan 28 orang luka-luka lainnya. Sebagian besar korban adalah penyintas Holokaus dan merupakan masyarakat lanjut usia.

Sosok perempuan yang dimaksud, ternyata merupakan seorang pria bernama Abdel Aziz Basset Odeh. Odeh diduga membawa bahan peledak yang ia sembunyikan di dadanya yang mana ia tutupi dengan gaunnya, layaknya seorang perempuan. Usut punya usut, Odeh merupakan bagian dari Hamas. Sebuah kelompok politik Palestina yang terkenal dengan berbagai perlawanan dan gonjang-ganjing yang mereka lakukan di kawasan tersebut. Hal ini pun secara terang-terangan diakui dan dipertanggung jawabkan oleh Hamas (Gozani, 2002).

Berdasarkan juru bicara mereka, hal ini mereka lakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan Israel yang terus berlangsung dari waktu ke waktu. Setelah serangan tersebut terjadi, Hamas menjadikan Park Hotel sebagai bagian dari propaganda mereka untuk terus menghantui Israel, meningatkan mereka bahwa sewaktu-waktu serangan seperti ini dapat hadir kembali.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Hamas memilih untuk meledakkan anggotanya demi membunuh Israel? Bukankah mereka dapat mengirim rudal, seperti apa yang terjadi pada tahun 2023 kemarin?

Memahami Aksi Bom Bunuh Diri

Salah satu tantangan dalam literatur “bom bunuh diri” adalah banyaknya penggunaan istilah yang berbeda untuk menjelaskan satu aksi yang sebenarnya serupa. Dalam bahasa Inggris, kata suicide terrorism, suicide mission, atau suicide bombing sering digunakan bersamaan. Dalam bahasa Jepang, istilah kamikaze juga digunakan selama Perang Dunia Kedua untuk menamai aksi pengorbanan yang dilakukan oleh tentara atau pilot Jepang pada saat itu dengan menabrakkan atau membunuh dirinya sendiri ke arah musuh.

Namun secara umum, bom bunuh diri diartikan sebagai serangan di mana kematian pelaku bom adalah cara untuk melakukan serangan tersebut (Horowitz, 2015, p. 3). Yang mana hal ini sesuai namanya, yang berarti sang pelaku harus mati karena aksi yang dilakukannya tersebut. Tentu saja harus mati, kalau tidak ya bukan bunuh diri namanya.

Tren bom bunuh diri sendiri dapat dilihat di awal tahun 1980an. Pada saat itu, di Lebanon terjadi berbagai rangkaian aksi bom bunuh diri, yang mana hal ini juga menandakan pertama kalinya di era modern bom bunuh diri terjadi. Salah satu kejadian yang cukup terkenal adalah serangan bunuh diri oleh Hezbollah di Barak Marinir Amerika Serikat pada tahun 1983.

Yang paling terkenal tentu saja kejadian 11 September 2001, ketika dua pesawat dibajak dan menabrak dua gedung World Trade Center di New York. Sebenarnya yang menjadi pertanyaan, ketika membajak pesawat dan menabrakan ke gedung, apakah itu termasuk bunuh diri? Atau membunuh orang lain lalu mati karenanya? Seperti rampok, yang udah ngebunuh, lalu ketangkep, dan dibunuh? Atau.. jangan-jangan keduanya? Jadi bom bunuh diri itu harus ngebunuh orang lain ngga sih?

Secara psikologis sangat sulit bagi suatu riset untuk menemukan, terutama dalam level individual, alasan bom bunuh diri terjadi. Banyak asumsi yang mengatakan bahwa mereka yang berusaha meledakan dirinya tentu telah mengambil keputusan yang irasional, sehingga mereka dicap sebagai orang yang tidak rasional itu sendiri. Kasarnya, cuma orang bodoh yang mau bunuh diri. Iya ngga sih? Ngga dong.

Di beberapa kasus, seperti di Palestina, banyak pelaku bom bunuh diri justru tergolong sebagai masyarakat dengan ekonomi yang mapan, yang mana hal ini sering dikaitkan dengan tingkat kecerdasan yang baik pula. Lantas yang dapat disimpulkan adalah bahwa motivasi untuk melakukan hal ini tidak hanya bisa dilihat sebatas oleh kemampuan pola pikirnya saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek sosial, organisasi, ekonomi, dan agama, yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Berdasarkan (Bloom, 2006) pelaku bom bunuh diri cenderung berasal dari berbagai jenis komunitas dan dari berbagai situasi, membuat segala studi dalam ranah individual menjadi kian rumit diteliti. Beberapa kecurigaan menduga bahwa tingkat depresi dan adanya tendensi untuk melakukan bunuh diri dapat mempengaruhi pelaku. Namun hal itu dibantah. Karena yang pertama, riset menemukan bahwa pelaku bom bunuh diri di Palestina tidak menunjukkan adanya tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat lainnya. Dan yang kedua, Bloom menemukan bahwa sangat sulit untuk menemukan bukti apakah pelaku memiliki tendensi untuk melakukan bunuh diri sebelumnya.

Terus kalo ini salah, itu salah, yang bener apa dong? Apa penyebab orang mau melakukan bom bunuh diri?

Lantas Horowitz menjawabnya dengan lima faktor, yaitu:

  • Pendudukan: Buset, pembahasannya udah mulai berat ya? Sabar, sabar.. Pendudukan di sini diartikan sebagai aksi militer yang dilakukan untuk merebut suatu wilayah tertentu. Horowitz berpendapat bahwa selama beberapa dekade sebelum abad ke 21, bom bunuh diri merupakan hasil dari kependudukan asing. Berbagai kelompok menggunakan taktik ini sebagai cara untuk meningkatkan biaya dari negara yang menduduki, ketika mereka ingin melindungi militernya atau justru menyerang balik, serta tentu saja untuk menarik perhatian media sehingga terbentuk sebuah tekanan massa yang memaksa negara tersebut untuk pergi.
  • Kompetisi antar grup: Dengan adanya kemungkinan terjadinya kompetisi antar pengikut di dalam kelompok-kelompok, yang biasanya berada dalam suatu wilayah geografis yang kecil, menggiring mereka untuk melakukan berbagai aksi kekerasan. Jadi nunjukkin siapa yang paling hebat gitu, lho. Di tulisannya, Bloom berpendapat bahwa fenomena ini dijadikan sinyal politik domestik secara langsung, seakan mereka membagi “market share” yang sama dengan melakukan hal tersebut.
  • Karakter organisasi: Poin selanjutnya juga berpengaruh terhadap karakter dari organisasi tersebut. Entah itu perspektif, kemampuan dalam menciptakan kekerasan yang begitu masif, besarnya pemasukan ekonomi, kuantitas dari pengikutnya, semuanya merupakan karakter yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut.
  • Opini publik: Salah satu isu yang menggarisbawahi adalah, mengapa jika bom bunuh diri menawarkan banyak dampak secara militer ataupun politik, tidak semua kelompok memutuskan untuk melakukan aksi keji ini. Jawabannya dapat dijelaskan bagaimana suatu kelompok memiliki hubungan yang erat terhadap publik . Maksudnya adalah beberapa kelompok dapat memiliki ketakutan atas penolakan yang bisa terjadi akibat melakukan bom bunuh diri, namun beberapa kelompok lainnya justru mendapatkan pujian jika menjadikan bom bunuh diri sebagai bentuk aksi terhadap apa yang mereka alami selama ini. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh nilai dan kepercayaan yang dianut oleh kelompok masyarakat tersebut.
  • Agama: Inilah MVP dari artikel ini. Poin berikut bisa jadi merupakan faktor yang paling sering dibahas seputar alasan di balik adopsi strategi bom bunuh diri. Ini menimbulkan observasi yang begitu besar untuk menjawab apakah kelompok Islami memang memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengadopsi bom bunuh diri. Karena dalam pandangan ini, agama seringkali bukan menjadi pelindung akan tetapi justru memotivasi terjadinya upaya bunuh diri tersebut. Hal tersebut bisa jadi berkaitan dengan pengaruh mereka untuk memahami bahwa terdapat kemungkinan hidup setelah mati, dan bom bunuh diri merupakan upaya mereka untuk mendapatkan ganjaran di kehidupan selanjutnya. Seakan individu tersebut melakukan sesuatu demi hal yang ia cintai, sehingga kebutuhannya di dunia seakan menjadi tidak penting. Nilai-nilai rohaniah seperti ini tentu dipengaruhi begitu besar oleh ajaran agama (Modongal, 2023).

Perlu digarisbawahi tiga agama Abrahamik menjanjikan kehidupan setelah kematian, dan ketiga-tiganya melarang untuk berbuat pembunuhan atas dirinya sendiri. Meskipun Judaisme “mengizinkan” bunuh diri untuk menghindari umatnya melakukan pembunuhan atas orang lain, berbuat inses, atau menyembah tuhan yang salah, akan tetapi hal tersebut tidak membenarkan perbuatan bunuh diri yang dilakukan oleh penganutnya secara utuh.

Islam sendiri mengecam keras bunuh diri dan mengancam hukuman neraka secara kekal di masa kelak, apalagi hingga membunuh orang lain. Double, triple, quadraple tuh dosanya. Karena di Islam, membunuh satu orang dianggap seperti membunuh seluruh orang lainnya di muka Bumi. Namun pandangan yang sering dipelintir adalah bagaimana umat Muslim memahami konsep syahid, yaitu kepercayaan membunuh musuh atas nama Allah dalam perperangan. Konsep membunuh dan musuh inilah yang sering digiring oleh kelompok tertentu untuk dijadikan pembenaran atas aksi kejinya tersebut.

Di luar aspek kepercayaan, perbedaan tingkat bunuh diri di berbagai negara bisa jadi menjelaskan aspek budaya dan agama di baliknya. Negara-negara Islam justru melaporkan lebih sedikit tingkat bunuh diri dibandingkan negara lainnya. Akan tetapi hal itu tidak berlaku secara spesifik di sekitar Palestina di mana aksi bunuh diri sering dijumpai. Pertanyaan lainnya justru hadir, bagaimana negara lain di seputar Palestina tidak memiliki tingkat bom bunuh diri yang tinggi. Jika kita menarik kesimpulan, maka ajaran yang diberikan kepada kelompok tertentu mempengaruhi nilai yang dianut, nilai tersebut lambat laun diimplementasikan ke dalam berbagai aksi; salah satunya adalah bom bunuh diri.

10 negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi, berdasarkan World Population Review (2019). Penting untuk dicatat bahwa masing-masing badan riset menunjukkan hasil yang berbeda.

Beberapa nama kelompok seringkali bersandingan dengan nama pelaku bom bunuh diri. Misalkan saja Hamas dan Islamic Jihad yang membawa konflik di Timur Tengah semakin kompleks dengan rangkaian aksinya di pertengahan tahun 1990an. Alasan mengapa fenomena ini menjadi unik di Timur Tengah adalah karena sebagian besar aksinya menyerang korban sipil, hal ini bisa jadi diperparah pasca eskalasi kekerasan di Intifada Pertama. Hal ini berbeda jauh dengan kelompok lain, seperti Tamil Tigers dari Sri Langka, yang lebih banyak menargetkan pangkalan militer atau kekuatan militer di negaranya.

Nah, di sini baru kita masuk ke main course-nya..

Fenomena Bom Bunuh Diri di Palestina

Foto oleh Vidar Nordli-Mathisen di Unsplash.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, sangat sulit untuk memprofil calon pelaku bom bunuh diri karena mereka berasal dari berbagai jenjang ekonomi dan latar belakang yang berbeda-beda. Dalam studi mengenai kelompok teroris Palestina, (Merari & Elad, 2019) menemukan tidak adanya perbedaan yang mencolok terhadap status sosial-ekonomi dan pendidikan antara pelaku bom bunuh diri dan masyarakat biasa. Meskipun begitu, kelompok seperti Hamas dan PIJ memiliki beberapa kriterianya sendiri terhadap kandidat pelaku bom bunuh diri, misalnya mereka biasanya menolak kandidat yang sudah menikah, di bawah umur, memiliki beban tanggung jawab ekonomi terhadap keluarganya, atau terhalangi oleh izin keluarga.

Lebih lanjut Merari berpendapat bahwa tipikal bom bunuh diri di Palestina justru berlandaskan motif agama. Mereka sangat termotivasi dengan efektifnya bom bunuh diri dalam mencapai tujuan mereka, yaitu memberikan teror. Bagi masyarakat, mereka tidak melihat seorang korban sebagai seseorang yang sudah diperdaya oleh kelompok tertentu, tetapi mereka melihat aksi tersebut sebagai aksi yang suci, aksi yang dilakukan dengan penuh kebanggaan dan pantas dianggap pahlawan. Setidaknya terdapat dua contoh bagaimana “pengorbanan” yang dilakukan oleh individu atau kelompok di Palestina justru dianggap sebagai aksi kepahlawanan bagi masyarakat.

  1. Terjadi pada 30 September 2000, ketika seorang anak bernama Muhammad ad-Durrah terbunuh ketika gejolak pada Intifadah Kedua terjadi. Pada saat itu ia bersama ayahnya sedang berlindung dari serangan senjata, namun sayang sang anak terkena tembakan yang membuatnya terluka parah lalu meninggal. Kejadian ini menarik begitu banyak perhatian dunia karena hal ini terekam video dan diliput oleh stasiun televisi France 2. Setelah meninggalnya Muhammad, banyak masyarakat yang menyalahkan Israel atas penembakan tersebut yang mana menyebabkan seorang anak kecil menjadi korban (Enderlin, 2005). Namun yang menariknya adalah dunia Muslim seakan menanggap Muhammad sebagai martir yang terhormat dan dipuja di sana. Perhatian yang begitu besarnya sontak memberikan motivasi bagi masyarakat Palestina untuk ingin berjuang, serta tanpa sadar membuat istilah martir atau Jihad kian populer di sana (Bartal, 2016).
  2. Contoh lainnya berasal dari ibu tiga orang anak yaitu Mohammed, Rawad, dan Nidal. Ketiga nama ini adalah anggota paramiliter Hamas dan ibunya merupakan anggota dari PLC atau badan legislatif Palestina. Yang menarik dari cerita ini adalah, Miriam Farhat sebagai ibu dari ketiga martir setelah serangan bom bunuh diri yang mereka lakukan, diangkat menjadi anggota parlemen karena dianggap sebagai pahlawan dalam mendukung anak-anaknya untuk berjuang atas nama Tuhan. Ibunya pernah mengatakan ketika salah satu anaknya, Mohammed dan membawa pulang senjata, bahwa anaknya lebih baik berperang menggunakan senjata daripada batu seperti anak-anak muda lainnya. Sontak cerita ini menyebarluas ke seluruh Palestina dan dibahas hingga sekarang.

Meskipun secara tertulis Hamas tidak menginginkan anak dibawah umur untuk menjadi anggota mereka, namun secara kenyataan mereka banyak merekrut anak muda untuk menjadi bagian dari mereka. Anak muda tersebut justru merasa terhormat untuk mengorbankan jiwa raganya ke Palestina.

Dalam satu kasus Hamas sendiri bahkan pernah menggunakan anak muda berusia 27 tahun bernama Wafa Idris sebagai pelaku bom bunuh diri. Hal ini tentu saja menimbulkan kritik yang bertubi-tubi, terutama dalam menggunakan prajurit perempuan dalam aksi yang dilarang oleh hukum Syariah. Guna merespon kritik internasional, Hamas memberikan tanggapannya bahwa hal tersebut merupakan bagian dari mal-prosedur dan akan mengevaluasinya di masa yang akan datang (Chehab, 2007).

Jumlah perempuan yang bergabung ke dalam aksi terorisme sendiri sudah mencapai ke titik yang mengkhawatirkan. Perempuan dipilih karena tendesi mereka untuk melakukan aksi bom bunuh diri lebih besar karena biasanya mereka menganut nilai nasionalisme dan agama yang begitu kuat. Di sisi lain penampilan mereka yang terkesan suci (dengan berpura-pura hamil misalnya) menimbulkan kecurigaan yang sangat minim, hal ini membuat kelancaran aksi semakin baik nantinya.

Di dalam data yang dipaparkan Holowitz, 30–40% dari aksi bunuh diri oleh LTTE di Sri Lanka, 11 dari 15 orang dari kelompok PKK di Turki, atau 5 dari 12 orang dari kelompok SSNP di Lebanon merupakan perempuan.

Keinginan perempuan untuk bergabung dalam aksi bunuh diri di kelompok terorisme juga bisa dilihat dari segi emansipasi yang hadir di tengah-tengah masyarakat Timur Tengah. Dengan bergabungnya mereka ke dalam serangan ini seakan memberikan mereka status yang sama dengan pria untuk menjalankan latihan-latihan militer. Semenjak banyak anggapan yang hadir bahwa perempuan kurang efektif diberlakukan dalam gerakan-gerakan militer, maka bom bunuh diri inilah yang menjadi kesempatan mereka untuk membuktikan aksi mereka. Banyak dari perempuan ini juga merupakan korban dari pemerkosaan dan melihat misi bunuh diri sebagai cara mereka untuk mengembalikan rasa percaya diri mereka yang hilang.

Secara keseluruhan, media turut memainkan perang penting dalam memberikan propaganda teror pasca serangan. Riset menunjukkan bahwa berita yang sensasional memicu apa yang disebut sebagai “copycat suicidal behaviors”, istilah yang juga dikenal sebagai Efek Werther. Secara terminologi, istilah ini merujuk kepada motivasi untuk melakukan hal yang sama dengan idolanya, yang mana aksi tersebut adalah serangan bunuh diri. Nyatanya para pelaku bom bunuh diri memang dianggap sebagai idola di kalangan pemuda terutama di Timur Tengah, apalagi ketika berita kematian mereka meledak; mereka seakan menjadi mega-bintang berita secara instan.

(Pedahzur, 2006) menunjukkan bahwa serangan bom bunuh diri yang berulang menghadirkan perhatian yang datang secara terus menerus dari media, membuat publik secara sadar ataupun tidak terpapar terhadap tujuan dan ideologi dari kelompok teroris tersebut. Dalam kasus Hamas misalnya, menghancurkan Israel dan menjadikan Palestina dengan one-state solution adalah tujuannya. Sehingga dengan mudah mereka mendefinisikan konsep Syahid dalam Islam yang tentu saja berbeda dengan pemahaman sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan politik mereka dan menarik perhatian dunia kepada mereka. Namun aksi bom bunuh diri ini perlahan menurun di tahun 2007 seiring dengan perubahan dinamika politik yang terjadi di Timur-Tengah.

Kesimpulan

Bom bunuh diri tak lain merupakan strategi yang dilakukan oleh banyak kelompok militer di berbagai belahan dunia. Terutama di Timur-Tengah, angka bom bunuh diri di tahun 1980an hingga awal 200an mencapai angka yang mengkhawatirkan dengan berbagai korban dan pelanggaran HAM yang diberikan. Namun tanpa disadari, strategi ini mulai ditinggalkan dan belum ada alasan yang jelas mengapa terjadi demikian. Pasalnya, untuk mengeneralisir mengapa bom bunuh diri terjadi saja sangat sulit, apalagi menjelaskan mengapa hal ini ditinggalkan begitu saja. Namun jika ingin menarik kesimpulan, peran media masa dan opini publik lah yang menjadi satu-satunya alasan mengapa strategi ini dianggap usang. Karena banyak kelompok yang masih bergantung kepada dua aspek tersebut, maka kelompok-kelompok teroris ini berusaha memperbaiki citranya dengan mengubah strategi militer yang mereka lakukan.

Catatan:

Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Untuk masukan dan saran silahkan menghubungi saya melalui surel saya, atau sekedar menambah jaringan melalui media masa saya.

--

--

Sahashika Sudantha
Hubungan Internasional

Holds a Bachelor’s degree in International Relations, with a focus on the issues of Palestine, Rohingya, and Indonesia. Currently writing on several platforms.