Apa yang Saya Pelajari dari Tren “Susu On Demand” di India?

Aditya Hadi Pratama
Published in
6 min readMar 13, 2019

--

Pada awal bulan Februari 2019 yang lalu, saya cukup terkejut dengan sebuah berita pendanaan untuk startup asal India yang bernama Country Delight. Mengapa berita itu begitu menarik? Karena Country Delight mempunyai bisnis yang sangat unik di mata saya, yaitu layanan “Susu On-Demand”.

Ya, Country Delight adalah sebuah startup yang bisa mengantarkan susu segar ke depan rumah kamu setiap pukul 7 pagi, setiap hari. Untuk mendapatkan layanan tersebut, kamu hanya perlu membayar biaya langganan setiap bulan.

Mereka baru saja mendapat pendanaan sebesar US$10 juta yang dipimpin oleh Matrix Partners India, dan diikuti oleh para investor mereka sebelumnya, seperti Orios Venture Partners. Ketika saya meneliti lebih lanjut, Country Delight ternyata bukan bisnis baru. Startup tersebut telah didirikan oleh Chakradhar Gade dan Nitin Kaushal sejak tahun 2015 silam.

Saya kemudian berusaha meneliti lebih lanjut tentang fenomena ini, dan menemukan bahwa Country Delight bukanlah satu-satunya startup yang menghadirkan layanan “Susu On Demand” di India. Selain mereka, ada juga nama-nama seperti:

DailyNinja

Startup ini telah mendapat investasi dari beberapa perusahaan modal ventura (VC) terkenal, seperti Sequoia Capital India dan Saama Capital. Uniknya, Matrix Partners India (yang merupakan investor dari Country Delight), juga turut memberikan investasi kepada DailyNinja.

Saat ini, mereka mengaku telah berhasil menggaet 60 ribu pengguna, dan dikabarkan tengah menggalang putaran pendanaan baru untuk mendapat dana segar sebesar US$18 juta.

Serupa dengan Country Delight, founder DailyNinja yang bernama Anurag Gupta dan Sagar Yarnalkar juga mendirikan startup tersebut sekitar tahun 2015.

BigBasket

Startup ini sebenarnya merupakan platform penjualan barang kebutuhan sehari-hari seperti sayuran, buah, hingga produk kecantikan, yang sangat besar di India. Jumlah pendanaan yang mereka publikasikan hingga saat ini mencapai US$885,7 juta, yang berasal dari investor terkenal seperti Alibaba, Helion Venture Partners, dan Bessemer Venture Partners.

Startup yang berdiri sejak tahun 2011 ini dikabarkan tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan pendanaan baru yang akan mengantarkan mereka ke status unicorn (mempunyai valuasi lebih dari US$1 miliar).

Saat ini, mereka pun telah melebarkan sayap ke bisnis “Susu On Demand” dengan layanan yang bernama BB Daily. Saat tahap uji coba pada bulan Oktober 2018 yang lalu, layanan BB Daily diklaim berhasil mendapatkan 20 ribu pengguna awal.

Milkbasket

Serupa dengan mayoritas pemain lain, Milkbasket juga didirikan oleh para foundernya di tahun 2015. Hingga saat ini, mereka telah meraih pendanaan sekitar US$19,4 juta dari investor seperti Mayfield Fund, Kalaari Capital, dan Unilever Ventures.

Doodhwala

Startup yang berdiri pada tahun 2014 ini memang lebih kecil dibanding para pesaingnya yang lain. Meski begitu, pada awal tahun 2018 yang lalu mereka telah berhasil meraih pendanaan sebesar US$2,2 juta dari Omnivore Partners.

Selain nama-nama di atas, juga ada beberapa startup kecil lain yang menjalankan bisnis serupa. Beberapa pemain tersebut ada yang telah diakuisisi oleh startup lain yang lebih besar, seperti Raincan yang diakuisisi BigBasket, dan SuprDaily yang diakuisisi startup pemesanan makanan Swiggy.

Melihat banyaknya startup yang bersaing di bisnis “Susu On Demand” di India, memunculkan beberapa pertanyaan di benak saya, seperti:

  • Seberapa besar kebutuhan masyarakat India terhadap susu segar?
  • Mengapa kebutuhan mereka akan susu segar tidak bisa dipenuhi oleh perusahaan FMCG besar seperti di Indonesia?

Secara statistik, masyarakat India memang sangat menyukai susu. Mereka merupakan konsumen susu terbesar di dunia. Jumlah konsumsi susu masyarakat India bahkan setara dengan gabungan konsumsi susu semua orang yang tinggal di Benua Eropa, Amerika Serikat, dan Cina. Meminum susu telah menjadi semacam budaya di India.

Untuk memenuhi permintaan yang besar tersebut, industri susu segar di India pun telah berkembang. Produksi susu India mencapai 20 persen dari produksi susu di seluruh dunia. Sebelum kemunculan para startup “Susu On Demand” tersebut, telah ada ratusan ribu kurir yang mengantarkan susu secara rutin ke rumah belasan juta masyarakat India setiap harinya.

Mengapa susu tersebut harus diantarkan setiap hari? Karena konsumsi susu masyarakat India sangat tinggi, susu yang mereka pesan bisa habis dalam waktu satu hari. Sehingga keesokan harinya mereka harus mendapatkan susu segar lagi.

Perusahaan FMCG besar bisa saja membuat produk susu serupa dan menjualnya di supermarket, namun tentu akan sulit mengharapkan masyarakat untuk datang setiap hari ke supermarket hanya untuk membeli susu.

Fakta tersebut pula yang membuat layanan “Susu On Demand” ini mungkin tidak akan berjalan secara optimal di negara lain. Masyarakat di Indonesia misalnya, dengan konsumsi susu yang rendah, tentu akan merasa cukup dengan membeli susu segar di supermarket, karena mereka memang hanya membutuhkannya sewaktu-waktu saja.

Lalu mengapa masyarakat India tidak langsung membeli susu dalam jumlah yang banyak secara sekaligus dan menyimpannya di rumah, sehingga tidak perlu ada orang yang mengantarkan susu ke rumah mereka setiap hari?

Ingat, susu segar berbeda dengan susu kemasan berpengawet yang sering kita minum di Indonesia. Susu yang benar-benar segar hanya bisa bertahan dalam waktu yang singkat. Lebih dari itu, susu tersebut akan basi dan tidak bisa diminum lagi.

Pertanyaan selanjutnya, apa bedanya startup “Susu On Demand” dengan pedagang susu konvensional yang selama ini telah ada di India?

Sebelumnya, para pedagang susu konvensional tidak bisa mengantarkan susu segar dengan kualitas yang sempurna. Sekitar 68 persen susu segar di India telah tercemar dengan bahan-bahan lain, seperti deterjen, pewarna, hingga urea (yang juga terkandung di dalam urin). Banyak pedagang yang menambahkan air dan zat-zat lain seperti itu untuk menekan biaya produksi atau meningkatkan kekentalan susu.

Kehadiran startup “Susu On Demand” membuat kualitas susu segar yang diterima masyarakat India bisa lebih terjaga. Selain itu, efektivitas pengantaran yang didukung oleh teknologi milik para startup tersebut pun memungkinkan masyarakat untuk bisa mendapat susu segar yang mereka inginkan secara tepat waktu.

Kini, seorang pengguna layanan startup “Susu On Demand” bisa memesan susu pada pukul 11 malam, dan susu tersebut bisa langsung sampai di depan rumah mereka sebelum jam 7 pagi di keesokan harinya.

Lalu apa yang bisa kita pelajari dari fenomena di atas? Menurut saya, penting bagi seseorang yang mempunyai keinginan untuk menjadi entrepreneur atau founder startup, untuk menyadari fenomena besar yang ada di sekeliling kita.

Para founder dari DailyNinja, BigBasket, Milkbasket, dan startup lain di atas tentu tidak mendapatkan ide ini dari Silicon Valley atau negara-negara lain, karena bisnis seperti ini hanya bisa berjalan dengan efektif di negara dengan konsumsi susu segar yang tinggi.

Mereka bisa menemukan ide tersebut berkat melihat ke sekeliling mereka, dan menemukan bahwa ada sebuah fenomena besar yang menyimpan masalah.

Di Indonesia sendiri, menurut saya ada banyak hal serupa yang belum mendapatkan solusi optimal. Contohnya adalah keberadaan warung-warung kecil di pinggir jalan. Jumlah mereka sangat banyak di sekitar kita, yang pada tahun 2014 lalu bisa mencapai angka 50 ribu warung hanya di wilayah Jakarta saja.

Sayangnya, penghasilan para pemilik warung tersebut tetap saja begitu rendah. Uang yang mereka terima seringkali hanya cukup untuk makan dan kebutuhan pokok lain, sehingga mereka tidak mampu melakukan ekspansi warung atau menambah bisnis lain yang lebih menguntungkan.

Untungnya masalah tersebut kini telah coba diselesaikan oleh sebuah startup bernama Warung Pintar, yang muncul sekitar setahun yang lalu. Sebelumnya, hampir tidak ada satu startup pun di Indonesia yang berusaha mengatasi masalah para pemilik warung tersebut. Kini, solusi Warung Pintar telah membantu ribuan warung untuk “naik kelas”.

Hal serupa pun terjadi dengan bisnis kopi di tanah air. Serupa dengan masyarakat India yang begitu menyukai susu, masyarakat Indonesia juga sangat menggandrungi kopi. Dengan jumlah konsumsi per tahun sekitar 276 juta kilogram, Indonesia merupakan salah satu konsumen kopi terbesar di dunia.

Namun sayangnya, mayoritas kedai kopi lebih mendorong pelanggannya untuk minum di dalam kedai (dine in). Padahal, gaya hidup masyarakat kelas menengah justru memaksa mereka untuk terus aktif, dan tidak bisa duduk di satu tempat untuk waktu yang lama.

Peluang inilah yang dilihat oleh Fore Coffee, yang kemudian hadir dengan layanan kopi siap minum, yang bisa dipesan dan diantar langsung ke tempat kamu berada.

Kedua hal tersebut adalah contoh masalah yang hanya ada di Indonesia, dan belum tentu bisa berjalan di negara lain. Di sana belum tentu ada banyak warung pinggir jalan yang butuh bantuan untuk meningkatkan penghasilan. Di sana belum tentu ada permintaan yang cukup tinggi terhadap minuman kopi.

Masalah tersebut mungkin hanya ada di Indonesia, dan sudah seharusnya masyarakat Indonesia sendiri yang berusaha mengatasinya.

Selain itu, pasti masih ada banyak fenomena lain dari gaya hidup masyarakat Indonesia yang sebenarnya menyimpan masalah untuk diselesaikan. Karena itu, marilah kita coba melihat ke sekeliling kita, dan mengamati berbagai masalah yang ada.

  • Apa yang biasanya dilakukan atau dikonsumsi masyarakat Indonesia?
  • Apakah proses yang berjalan selama ini sudah efisien?
  • Bagaimana teknologi bisa membantu hidup mereka agar berjalan lebih mudah?

Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, semoga kita bisa menghadirkan solusi yang tepat, dari bangsa Indonesia, untuk masyarakat Indonesia.

Disclaimer: Penulis merupakan seorang Analyst di East Ventures, yang merupakan investor dari Warung Pintar dan Fore Coffee. Isi di dalam artikel ini adalah opini pribadi penulis, dan tidak mencerminkan opini dari pihak lain.

--

--