Salah Arah Jurnalistik Masa Kini

Aditya Hadi Pratama
Idea Picker
Published in
5 min readJan 2, 2019
Sumber gambar: Pexels

Beberapa hari yang lalu, saya mendengarkan obrolan Ezra Klein (founder dan Editor at Large Vox) dan Kara Swisher (co founder Recode) dalam sebuah podcast yang bertajuk “The Future of Journalism”. Kedua tokoh jurnalistik di Amerika Serikat tersebut membahas panjang lebar tentang permasalahan mendasar yang tengah melanda dunia jurnalistik masa kini dan apa yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya.

Obrolan mereka sebenarnya lebih fokus pada apa yang terjadi di Amerika Serikat. Namun menurut saya, fenomena serupa juga tengah terjadi di tanah air, dan bisa menjadi pelajaran untuk kita. Dalam artikel ini, saya coba merangkum penjelasan Ezra dan Kara di dalam podcast tersebut.

Twitter (atau media sosial secara keseluruhan), sang biang keladi

Photo by Benjamin Dada on Unsplash

Menurut Ezra, dunia jurnalistik masa kini telah dibentuk oleh budaya Twitter. Hampir semua jurnalis politik yang ia kenal kini menggunakan Twitter sepanjang waktu. Hal ini pun menjadi masalah, karena:

Pertama, semua orang membicarakan hal yang sama sepanjang waktu.

Jurnalis yang baik adalah mereka yang bisa menemukan/melihat/mendengar fenomena yang luput dari perhatian jurnalis lain. Di saat jurnalis lain melihat A, jurnalis yang baik harus melihat apa yang sebenarnya berada di balik A, atau justru melihat ke arah lain.

Dan menurut Ezra, Twitter membuat para jurnalis menjadi lebih bodoh karena mereka melihat fenomena dan narasi yang sama sepanjang waktu. Ketika Donald Trump berkata A, maka semua media pun menyiarkan berita tentang A, dan seterusnya.

Kedua, Twitter membuka sisi “jahat” dalam diri kita.

Sifat Twitter yang responsif, membuat para jurnalis pun menjadi terlalu cepat memberikan respon atas sebuah tweet. Hal ini berpotensi menunjukkan sisi-sisi buruk dari diri para jurnalis tersebut, yang nantinya bisa merusak kepercayaan pembaca.

Menurut Ezra, sebaiknya para jurnalis lebih berhati-hati ketika akan membalas atau merespon sebuah tweet tertentu.

Ketiga, kita tidak lagi membuat produk yang berbeda.

Ezra bercerita tentang istrinya, Annie Lowrey dari The Atlantic, yang selalu pergi ke tempat-tempat unik, demi melihat apa yang tidak pernah dilihat oleh jurnalis lain. Itulah hal yang seharusnya dilakukan oleh para jurnalis.

Untuk membuat karya yang bagus, mereka harus melakukan riset, membuat hipotesis, dan mencari bukti-bukti secara langsung di lapangan. Dengan begitu, para jurnalis selalu bisa membuat karya yang baru, dan membuat pembaca bisa memandang dunia dengan cara yang baru pula.

Kemahiran Donald Trump memanipulasi media

Photo by Jonathan Simcoe on Unsplash

Ezra kemudian bicara tentang Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang menurutnya mengerti betul cara kerja jurnalis saat ini. Dan sang presiden pun memanfaatkan fenomena tersebut untuk kepentingan pribadinya.

Contohnya adalah saat terjadi ancaman bom yang dikirimkan ke rumah para jurnalis di Amerika Serikat, hingga kemudian sang pelaku berhasil ditangkap pihak yang berwajib. Keesokan harinya, Donald Trump membuat sebuah tweet (tentu saja), yang menyebutkan bahwa media massa adalah musuh masyarakat Amerika Serikat yang sebenarnya.

Sehari setelah pendukungnya berusaha membunuh jurnalis, Donald Trump mengirimkan tweet seperti itu.

Media tentu langsung heboh.

Hari itu juga, Press Secretary Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders langsung mengadakan konferensi pers. Patut diingat bahwa Sarah sudah tidak lagi mengadakan konferensi pers di Gedung Putih selama berminggu-minggu. Namun khusus di hari itu, ia mengadakan konferensi pers.

Seperti yang bisa diperkirakan oleh banyak orang, Jim Acosta yang merupakan jurnalis dari CNN angkat bicara. Ia terlibat adu mulut dengan Sarah, hingga petugas keamanan kemudian mengambil kartu pers milik Jim.

Menurut Ezra, semua hal tersebut telah diperhitungkan oleh Donald Trump. Bagaimana ia mengadakan konferensi pers pada hari itu, yang kemudian mempertontonkan aksi perseteruan antara Sarah Sanders dan Jim Acosta.

Ia tahu betul bahwa hal tersebut akan mendominasi Twitter dan media sosial lainnya pada hari itu, karena algoritme mereka memang akan menonjolkan berita yang sedang ramai dibicarakan.

Dan itu adalah jenis berita yang diinginkan Donald Trump untuk muncul di media sosial, yaitu perseteruan antara dirinya dengan media. Bukan hal penting seperti korupsi, layanan kesehatan, atau yang lainnya.

Media memang tidak meliput kejadian tersebut secara positif. Namun menurut Ezra, Donald Trump tidak peduli, karena ia memang hanya ingin “berperang” dalam kasus yang ia inginkan (dan mungkin ia menangkan), yaitu konfliknya dengan media dan para jurnalis. Ia tidak ingin “berperang” dalam kasus-kasus lain yang mungkin lebih penting.

Tentang bocoran berita (Scoop)

Dalam dunia jurnalistik ada sebuah istilah untuk bocoran berita, yang biasanya hanya bisa didapat oleh seorang jurnalis tertentu, dan kemudian dilaporkan dalam sebuah berita yang bersifat eksklusif, lebih cepat dibanding media-media lain. Hal seperti itu biasa disebut dengan nama scoop.

Hingga saat ini, scoop masih menjadi salah satu parameter kesuksesan atau kehebatan seorang jurnalis atau sebuah kantor berita. Media yang bisa mendapatkan lebih banyak scoop, biasanya akan dikenal sebagai media yang lebih hebat atau lebih kredibel.

Namun menurut Ezra dan Kara, scoop bukan sesuatu yang terlalu penting di zaman sekarang. Mereka membagi scoop menjadi dua jenis, yaitu:

Scoop tingkat pertama: Sesuatu yang nantinya juga akan bocor ke masyarakat dalam waktu dekat. Misalnya calon wakil presiden yang akan dipilih oleh Donald Trump. Ini adalah contoh scoop yang tidak terlalu penting, karena tidak ada bedanya mempublikasikan hal tersebut lima belas menit sebelum pengumuman resmi.

Scoop tingkat kedua: Sesuatu yang tidak akan bocor ke masayarakat, contohnya adalah kasus kebocoran data di sebuah platform media sosial. Untuk kasus seperti ini, Ezra dan Kara setuju untuk memprioritaskan hal tersebut agar ditulis sebagai berita.

Bagaimana? Sudah menemukan kesamaan dengan beberapa fenomena yang terjadi di Indonesia?

Sekali lagi, apa yang saya tulis di atas murni merupakan pendapat Ezra Klein (founder dan Editor at Large Vox) dan Kara Swisher (co founder Recode) dalam sebuah podcast yang bertajuk “The Future of Journalism”. Komentar dan diskusi tentang hal-hal tersebut sangat amat disarankan :)

--

--