Aborsi di Indonesia: Pemenuhan Hak Korban Perkosaan dalam Hukum dan Realita di Lapangan

ILMS FH UI
ILMS Chronicles
Published in
6 min readMay 27, 2022

by Nathalie Grace Celine

Photo Source: Pinterest

Fenomena aborsi merupakan isu kontroversial, hal ini disebabkan oleh keterkaitannya yang tidak hanya terbatas kepada masalah medis semata, melainkan juga erat hubungannya dengan masalah etika moral, agama, dan hukum. Perdebatan yang terjadi di masyarakat, yaitu pada kaum pro-life dan pro-choice, masing-masing memiliki argumen dan nilai pembenar.[1] Penganut paham pro-life memegang teguh bahwa aborsi berarti membunuh ciptaan Tuhan dan mengambil hak janin tersebut, sedangkan kaum pro-choice menekankan bahwa aborsi merupakan bagian dari hak manusia dan dapat menurunkan angka kematian ibu hamil (“AKI”) (maternal mortality ratio).[2] Angka kematian ibu hamil di Indonesia relatif tinggi dengan 177 kematian per 100.000 kelahiran hidup (“KH”), dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand (27 per 100.000 KH) dan Malaysia (29 per 100.000 KH).[3] Salah satu penyebab tingginya AKI di Indonesia adalah praktik aborsi yang tidak aman dan memadai. Praktik aborsi seringkali tidak tampil ke permukaan, bahkan cenderung ditutupi oleh pelaku, masyarakat bahkan negara dikarenakan aborsi lebih condong dianggap sebagai aib sosial daripada sebagai manifestasi kehendak bebas tiap individu.[4]

Kata aborsi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) berarti pengguguran kandungan.[5] Meninjau lebih dalam, penyebab keinginan perempuan ingin melakukan aborsi adalah kehamilan yang tidak diinginkan sebagai akibat atas perkosaan.[6] Angka kekerasan seksual di Indonesia yang terus meningkat hingga 729% selama 12 tahun (2008–2019)[7] serta perspektif masyarakat terhadap hal ini, menyebabkan korban perkosaan yang berujung kepada kehamilan merasakan dampak psikologis dan tekanan untuk memusnahkan kandungannya.[8] Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (“BKBN”), praktik aborsi meningkat sekitar 15% per tahun dan mencapai 2,4 jiwa per tahun.[9] Bagaimanapun juga, hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat luas bahwa aborsi merupakan aib sosial tanpa melihat status korban, yang kemudian hal ini diatur dalam hukum yang berlaku.

Menelaah lebih lanjut mengenai hukum yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya, Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) menekankan bahwa anak yang berada dalam kandungan seseorang dianggap telah lahir dan setiap kali kepentingan si anak menghendakinya.[10] Hal ini menunjukkan bahwa anak dalam kandungan juga memiliki hak untuk hidup yang mendasari dilarangnya aborsi di Indonesia. Kemudian dipertegas lagi dengan Pasal 75 Ayat 1 Undang-Undang (“UU”) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang secara gamblang mengatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, dilengkapi pada Pasal 194 mengenai sanksi berupa pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak satu miliar Rupiah.[11] Pada dasarnya, aborsi dalam segala alasan ditentang secara tegas oleh negara sesuai yang termaktub dalam Pasal 283, 299, 346, 348, 349, dan 535 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Ketika ditinjau dari KUHP, tidak terdapat celah dan pengecualian kepada aborsi dalam segala kondisi, termasuk alasan medis dan perkosaan, seluruh aborsi dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.[12]

Pertentangan terhadap KUHP terkait aborsi tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sebagai pengganti atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Pengaplikasian peraturan ini adalah berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis yang berarti peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Kekosongan hukum mengenai kondisi aborsi, telah diisi dengan undang-undang tersebut. Pada Pasal 75 Ayat 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyampaikan pengecualian terhadap aborsi kepada dua kondisi, yaitu; (1) indikasi kedaruratan medis, dan (2) kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Ditambahkan pada ayat ketiga bahwa aborsi tersebut baru dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan dari konselor yang kompeten dan berwenang.[13] Pengaturan mengenai aborsi tersebut diikuti dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang memberikan pengecualian tindakan aborsi kepada kondisi medis dan perkosaan.[14] Peraturan-peraturan tersebut mengakomodasi kondisi korban perkosaan yang berujung kepada kehamilan.

Berkaca kepada realita, keadaan ideal di mana hak aborsi korban perkosaan telah dijamin pun tidak terwujud. Berdasarkan Pasal 76 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, terdapat beberapa syarat untuk melakukan aborsi bagi korban perkosaan, diantaranya yaitu; (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri, dan (2) dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri. Diperjelas dalam Pasal 77 bahwa merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab.[15]

Pada kenyataannya, menurut Komnas Perempuan, layanan aborsi sebagai salah satu pemenuhan hak korban belum dapat terlaksana dikarenakan belum adanya tenaga atau sumber daya manusia yang melayani.[16] Pernyataan dari Direktur Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (“IPAS”) yang mengatakan bahwa akses aborsi legal sangatlah terbatas, juga mencerminkan tidak terpenuhinya kewajiban pemerintah.[17] Sebagai akibatnya, data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (“PKBI”), bahwa sekitar 43,7% data konseling pada tahun 2016 berupaya aborsi dengan cara berbahaya seperti meminum obat-obatan atau jamu (39,1%), tindakan dari staf medis (3,1%), datang ke dukun pijat (0,2%), dan tindakan lain termasuk meloncat-loncat dan meminum alkohol (1,4%).[18]

Sulitnya akses aborsi yang legal dan aman bagi korban perkosaan di Indonesia, menunjukan absennya rancangan strategis pemerintah dalam memberikan layanan pemulihan bagi korban perkosaan. Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dalam pengamatannya di beberapa negara telah merekomendasikan negara untuk menjamin layanan aborsi yang aman dan legal pada kondisi tertentu sesuai hukum.[19] Hak korban perkosaan yang berujung kehamilan untuk aborsi pun tidak terpenuhi dan terwujud dengan kegagalan pemerintah dalam menyediakan aborsi yang aman. Ditelusuri lebih lanjut, hal ini juga berakibat buruk kepada para korban perkosaan dengan melakukan aborsi ilegal yang berpotensi membahayakan nyawa korban tersebut. Penyebab kegagalan pemerintah haruslah dibenahi dari penyokong permasalahan, mulai dari menyediakan sumber daya manusia yang berpotensi, tempat aborsi legal yang dapat dijangkau dan disosialisasikan kepada masyarakat, serta pengawasan terhadap prosedur yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di undang-undang. Hak aborsi bagi para korban perkosaan sudah seharusnya dipenuhi sesuai dengan apa yang telah ditawarkan oleh undang-undang.

REFERENSI

[1] Evi Yanti, ‘Kajian Yuridis Legalisasi Aborsi Bagi Korban Tindak Pidana Pemerkosaan dalam Perspektif Hukum Positif’, Lex Renaissance, vol. 5, no. 4, 2020, hlm. 2.

[2] Balisca Putranti, ‘Abortion in the Cross-Religion Perspective’, PSKK Universitas Gadjah Mada, 2005, hlm. 10–11.

[3] World Bank, ‘Maternal Mortality Ratio’, https://data.worldbank.org/indicator/SH.STA.MMRT, (diakses 22 September 2021).

[4] Muchtar Masrudi, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2016), hlm. 195.

[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.

[6] KOMNAS HAM, Kajian Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Bagi Kelompok Rentan di Indonesia (Jakarta: KOMNAS HAM, 2020), hlm. 38.

[7] Komisi Nasional Perempuan, Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19 (Jakarta: Komisi Nasional Perempuan, 2021).

[8] Jeanet Paputungan, ‘Aborsi Bagi Korban Perkosaan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan’, Lex et Societatis vol. 5, no. 3, 2017, hlm. 18.

[9] Rahmi Yuningsih, ‘Legalisasi Aborsi Korban Pemerkosaan’, Info Singkat Sekretariat Jenderal DPR RI vol. 6, no. 16, 2014, hlm. 9.

[10] Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ps. 2.

[11] Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Ps. 75 ayat 1, Ps. 194.

[12] Siska Elvandari, ‘Legalization of Abortion Against Victims of Rape Crimes Viewed from Victimology Perspective’, Jurnal Hukum dan Pembangunan vol. 50, no. 1, 2019, hlm. 2–4.

[13] Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Ps. 75 ayat 2–3.

[14] Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, Ps. 31.

[15] Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Ps. 76–77.

[16] Komisi Nasional Perempuan, ‘Hak atas Kesehatan Kelompok Perempuan’, FGD Komnas HAM, 2020.

[17] Dewanto Samodro, ‘IPAS Indonesia: Aborsi Legal di Indonesia Terbatas’, https://www.antaranews.com/berita/832347/ipas-indonesia-aborsi-legal-di-indonesia-tetapi-terbatas, (diakses 22 September 2021).

[18] Aditya Putri, ‘Sangat Penting Mendapatkan Layanan Aborsi Aman’, https://tirto.id/sangat-penting-mendapatkan-layanan-aborsi-aman-dhMT, (diakses 22 September 2021).

[19] Claudia Surjadjaja, ‘Policy Analysis of Abortion in Indonesia: The Dynamic of State Power, Human Need, and Women’s Right’, Institute of Development Studies vol. 39, no. 3, 2008, hlm. 63–64.

--

--

ILMS FH UI
ILMS Chronicles

The International Law Moot Court Society (ILMS), Faculty of Law, Universitas Indonesia