Urgensi Ratifikasi United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods oleh Indonesia

ILMS FH UI
ILMS Chronicles
Published in
10 min readJun 21, 2021

--

by Deavina Christy

A. Pengaturan Mengenai Kontrak Jual Beli dalam Hukum Indonesia

Dalam hukum positif Indonesia, kontrak jual beli diatur di dalam hukum perdata Indonesia, yaitu Buku III Bab II dan Bab V Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. KUHPerdata juga mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak di dalam Buku III Bab II yaitu Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351 dan Bab V Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata.

Hak penjual meliputi hak menyatakan batal demi hukum, apabila pembeli tidak membayar harga pembelian, tidak menyerahkan barang yang dijualnya jika si pembeli belum membayar harganya, dan membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, di mana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barang yang dijualnya, dengan mengembalikan harga pembelian asal, dengan disertai penggantian. Sedangkan kewajiban penjual meliputi kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan, menanggung kenikmatan atas barang tersebut dan menanggung terhadap kerusakan atau cacat tersembunyi dengan memperhatikan beberapa batasannya dalam KUHPerdata, dan mengembalikan uang harga pembelian, mengembalikan hasil-hasil, jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu kepada si pemilik sejati yang melakukan penuntutan penyerahan, dan mengganti segala biaya kerugian dan bunganya kepada pembeli.

Selanjutnya, hak pembeli antara lain yaitu hak menuntut pembatalan pembelian jika penyerahan barang tidak dapat dilaksanakan karena kelalaian penjual atau harga dinaikkan, hak menuntut pengembalian uang harga pembelian jika barang telah dibeli diserahkan kepada pihak lain, menerima ganti rugi atas sebagian barang yang dijual oleh penjual ketika pembelian tidak dibatalkan dan diserahkan sesuai dengan harga taksiran, serta hak untuk mengembalikan harga pembelian dan meminta ganti biaya yang dikeluarkan pembeli dalam rangka pembelian dan penyerahan apabila terdapat cacat yang tersembunyi. Sedangkan kewajiban pembeli antara lain terdiri dari membayar harga barang yang dibelinya pada waktu dan di tempat menurut perjanjian jual beli, membayar bunga dari harga pembelian bilamana barang yang dibelinya dan sudah diserahkan kepadanya, akan tetapi belum dibayar olehnya, memberi hasil atau pendapatan lainnya, walaupun tidak ada ketentuan mengenai hal itu dalam perjanjian jual beli.

Meskipun pengaturan mengenai kontrak jual beli tersebut sudah cukup, tetapi hukum perdata Indonesia hanya fokus terhadap ketentuan jual beli domestik, yaitu transaksi yang terjadi di dalam Indonesia dan tidak mencakup kegiatan jual beli internasional. Tidak ada aturan mengenai hukum kebiasaan jual beli internasional maupun penggunaan aturan hukum perdata internasional untuk memecahkan masalah yang timbul dari kontrak jual beli internasional. Indonesia juga belum meratifikasi konvensi mengenai hal tersebut. Padahal dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia menempati peringkat 7 potensi pertumbuhan dagang terbesar di Indonesia.[1] Indonesia juga merupakan anggota World Trade Organization dan memiliki zona-zona perdagangan bebas dengan berbagai negara di dunia. Hal ini membuktikan bahwa terdapat fenomena perdagangan internasional yang secara konsekuensi menyangkut kontrak jual beli internasional. Oleh sebab itu, dari fakta mengenai situasi dan kondisi hukum Indonesia pada saat ini, dibutuhkan suatu kerangka hukum kontrak jual beli internasional yang Pemerintah Indonesia sebaiknya adopsi, yaitu United Nations Convention on Contracts for The International Sale of Goods (“CISG”).

B. Isu HPI dalam CISG

CISG merupakan produk dari konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diprakarsai oleh The United Nations Commission on International Trade Law pada tahun 1980. CISG merupakan kesepakatan mengenai hukum materiil yang mengatur kontrak jual beli barang internasional yang bertujuan untuk mengurangi hambatan perdagangan internasional, dengan menciptakan aturan substantif yang adil dan modern yang mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak perdagangan internasional.[2] CISG merupakan pencapaian legislatif yang paling sukses dalam usahanya mengharmonisasi hukum perdagangan.[3] Tertanggal 24 September 2020, sudah terdapat 94 negara yang mengadopsi CISG.[4] Namun, hingga saat ini, Indonesia belum meratifikasi CISG.

CISG berperan sangat penting untuk mengatasi permasalahan hukum perdata internasional yang timbul dari fenomena perdagangan internasional Indonesia. Fenomena perdagangan internasional yang dilakukan oleh para pelaku usaha Indonesia dan luar negeri akan menyangkut kontrak jual beli internasional yang mendasari transaksi tersebut. Dari sini dapat kita lihat isu hukum perdata internasional dalam konteks jual beli internasional yang merupakan aspek utama di dalam konvensi CISG. Kontrak jual beli internasional melibatkan dua pihak atau lebih yang melakukan kegiatan jual beli yang melintasi batasan kenegaraan sehingga mengakibatkan dua atau lebih hukum yang dapat diberlakukan untuk transaksi tersebut. Ketika hal tersebut terjadi, maka timbul pertanyaan hukum manakah yang berlaku bagi kontrak tersebut (isu hukum perdata internasional).[5]

Akibatnya, timbul kebutuhan akan adanya peraturan yang bersifat universal dan seragam yang mengatur hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi dagang internasional. Isi undang-undang nasional yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum dan kesulitan pembuatan kontrak dagang internasional.[6] Oleh sebab itu, unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional merupakan solusi yang efisien untuk masalah tersebut.[7]

Terdapat pula prinsip hukum perdata internasional yang relevan di dalam konvensi CISG, antara lain prinsip pilihan hukum dan kebebasan berkontrak di mana para pihak dapat melakukan pilihan hukum untuk mengesampingkan keseluruhan maupun sebagian dari konvensi ini. Hal tersebut harus dilakukan secara eksplisit maupun implisit (Pasal 3, 4, dan 9 CISG). Selanjutnya terdapat juga prinsip ketertiban umum dalam Pasal 4 CISG. Sesuai dengan prinsip ketertiban umum, pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan mandatory provisions negara tersebut. Dalam melakukan pilihan hukum, penerapan hukum asing tersebut tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari hukum nasional yang seharusnya berlaku tersebut.

C. Muatan CISG

Ketentuan CISG mengatur secara khusus mengenai kewajiban para pihak. Namun, dapat disimpulkan bahwa kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli demikian pula sebaliknya.[8] Kewajiban penjual menurut Pasal 30 CISG antara lain yaitu menyerahkan barang di tempat yang disepakati dalam kontrak, menyerahkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan barang yang ditetapkan di dalam kontrak, mengalihkan hak milik atas barang sesuai kesepakatan di dalam kontrak. Dalam pasal-pasal selanjutnya, ditetapkan prinsip-prinsip mengenai hal tersebut dalam skenario di mana para pihak tidak mengaturnya secara tegas di dalam kontrak jual-beli mereka tersebut. Dalam Section I, yaitu Pasal 31 sampai 34 CISG, diatur mengenai penyerahan barang dan dokumen. Seperti masalah tempat penyerahan barang yang diatur dalam Pasal 31 CISG, dan penyerahan barang (dokumen-dokumen pengangkutan, kontrak pengangkutan, atau asuransi atas barang) yang diatur di dalam Pasal 32 ayat (1) sampai (3) CISG. Dalam Section II yaitu Pasal 35 sampai 44 CISG, diatur mengenai kesesuaian barang dan klaim oleh pihak ketiga. Terakhir, dalam Section III yaitu Pasal 45–52 diatur mengenai upaya-upaya hukum (remedies) terhadap wanprestasi penjual. Hak pembeli merupakan pemenuhan kewajiban penjual yang telah dijelaskan di atas.

Sedangkan, kewajiban pembeli diatur dalam Chapter III mulai dari Pasal 53 sampai Pasal 65 CISG. Secara umum kewajiban pembeli yaitu membayar harga barang dan menerima penyerahan atas barang sesuai yang disyaratkan di kontrak dan CISG (Pasal 52 CISG). Selanjutnya, Section I mengatur hal-hal yang menyangkut pembayaran atas harga barang. Section II mengatur hal-hal menyangkut penerimaan barang seperti kewajiban untuk melakukan segala tindakan yang dapat memudahkan penjual menyerahkan barang dan mengambil alih barang tersebut. Terakhir yaitu Section III yang mengatur mengenai upaya-upaya hukum (remedies) yang dapat dilaksanakan terhadap wanprestasi yang dilakukan oleh pembeli. Hak penjual merupakan pemenuhan kewajiban-kewajiban pembeli tersebut.

D. Analisis Urgensi Indonesia untuk Meratifikasi CISG

Terdapat beberapa argumentasi yang mendukung urgensi Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi CISG. Pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hukum positif Indonesia pada saat ini hanya mengatur kontrak jual beli domestik yang terjadi antara para pelaku usaha berkewarganegaraan Indonesia di mana hukum perdata Indonesia berlaku atas transaksi jual beli tersebut. Namun, apabila kegiatan jual beli tersebut sifatnya internasional, maka hukum positif Indonesia tidak dapat secara otomatis berlaku atas kontrak maupun kegiatan tersebut karena lingkup keberlakuan hukum perdata Indonesia yang sempit dan terbatas kepada transaksi domestik. Hukum jual beli yang terdapat di dalam KUHPerdata saat ini tidak siap menghadapi permasalahan berkaitan dengan jual beli internasional yang setiap hari semakin berkembang dan menemui permasalahan-permasalahan baru dan kompleks. Norma dan standar CISG yang telah merefleksikan hukum dagang internasional belum terintegrasikan di dalam hukum Indonesia. Padahal, CISG disusun berdasarkan pada best practices dalam transaksi jual beli internasional dengan keluasan dan kedalaman substansi mengenai kontrak jual beli barang internasional yang lebih baik dibanding hukum perdata Indonesia.

Sebagai contoh, dalam Pasal 1457–1540 KUHPerdata, ketentuan-ketentuan jual beli tersebut tidak membedakan pengaturan antara jual beli yang sifatnya commercial transaction dan consumer transaction. Padahal, dalam hal jual beli internasional, karakter utamanya yaitu commercial transaction, di mana para pihak memiliki profesi sebagai pelaku usaha atau pedagang. Selanjutnya, KUHPerdata juga tidak mengatur mengenai permasalahan pengangkutan barang yang menjadi objek transaksi jual beli internasional, yang mana justru hal ini telah diatur oleh CISG. Selain itu, KUHPerdata tidak mempertimbangkan penggunaan hukum kebiasaan jual beli atau dagang internasional maupun penggunaan hukum perdata internasional untuk mengatasi permasalahan yang timbul dari kontrak jual beli internasional. Hal tersebut justru dipertimbangkan dan digunakan di dalam CISG, terutama pada Pasal 7 yang berbunyi:

“(1) In the interpretation of this Convention, regard is to be had to its international character and to the need to promote uniformity in its application and the observance of good faith in international trade.

(2) Questions concerning matters governed by this Convention which are not expressly settled in it are to be settled in conformity with the general principles on which it is based or, in the absence of such principles, in conformity with the law applicable by virtue of the rules of private international law.”

Kedua, ratifikasi CISG oleh Indonesia dapat memberikan kepastian hukum dan mempersiapkan pelaku usaha Indonesia dengan lebih baik ketika berhadapan dengan hukum yang berlaku untuk kontrak jual beli internasional. Berdasarkan hasil penelitian, kontrak jual beli internasional yang disusun firma hukum lebih sering menunjuk hukum dari negara mitra dagang terbesar seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Singapura yang telah meratifikasi CISG. Apabila menunjuk ke hukum Eropa, maka karena CISG adalah bagian hukum positif dari Uni Eropa, berdasarkan prinsip hukum perdata internasional, kontrak tersebut dapat tunduk kepada CISG. Namun, untuk negara seperti Amerika Serikat dan Singapura yang membuat reservasi dalam ratifikasinya (mereka hanya bersedia menerapkan CISG pada kontrak jual beli internasional yang dibuat oleh pelaku usahanya dengan pelaku usaha dari negara lain yang juga telah meratifikasi CISG), maka yang berlaku atas kontrak tersebut adalah hukum domestik Amerika Serikat dan Singapura.[9]

Kondisi-kondisi tersebut memiliki konsekuensi negatif terhadap pelaku usaha Indonesia karena pelaku usaha Indonesia tidak mengenal sama sekali CISG maupun hukum domestik negara lain karena tidak termasuk hukum positif Indonesia. Akibatnya, para pelaku usaha tersebut ketika melakukan kegiatan jual beli internasional, tidak siap terhadap akibat-akibat hukum yang dapat ditimbulkan CISG maupun hukum domestik negara-negara lain yang masing-masing berbeda, atas kontrak jual beli internasional mereka.[10] Dengan diratifikasinya CISG oleh Pemerintah Indonesia, kontrak jual beli internasional yang dibuat oleh para pelaku usaha Indonesia dan mitra jual beli internasional dari negara-negara yang meratifikasi CISG, akan menggunakan CISG sebagai hukum yang berlaku atas kontrak tersebut. Harmonisasi dan unifikasi hukum yang mengatur kontrak jual beli internasional ini akan memberikan kepastian hukum dan mempersiapkan para pelaku usaha dengan lebih baik ketika hendak membuat atau melaksanakan kontrak jual beli internasional.

Ketiga, ratifikasi CISG akan mendukung dan mengoptimalkan potensi perdagangan Indonesia. CISG merupakan hasil kompromi ‘akbar’ dari asas-asas yang dikenal di dalam tradisi hukum utama dunia, seperti tradisi hukum Anglo-Amerika (common law), tradisi Eropa-Kontinental (civil law), hukum negara sosialis, dan juga dari sifatnya yang fleksibel untuk terbuka untuk pengembangan dan penyesuaian pada tradisi hukum Islam.[11] Oleh sebab itu, CISG dapat berfungsi untuk mengatasi hambatan yang timbul dari keanekaragaman sistem-sistem hukum tersebut. Hal ini akan mengakibatkan banyak pelaku usaha dari luar negeri tertarik untuk melakukan kerja sama jual beli internasional dengan pelaku usaha Indonesia karena sudah terdapat kepastian hukum atas kontrak jual beli internasional tersebut yang familier bagi mereka, yang mana hukum tersebut (CISG) telah mengintegrasikan bagian-bagian dari sistem hukum negara mereka.

Prinsip-prinsip dasar kontrak jual beli internasional serta hak dan kewajiban penjual dan pembeli yang termuat dalam CISG juga kurang lebih mirip dengan yang termuat dalam hukum perdata Indonesia pada saat ini, namun memang lebih lengkap dan mencakup transaksi jual beli internasional. Maka, tidak ada ruginya Indonesia meratifikasi CISG karena muatannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Indonesia.

E. Kesimpulan

Terdapat urgensi untuk Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi perdagangan internasional terbesar di Indonesia, untuk meratifikasi CISG yang merupakan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional dalam hal kontrak jual beli barang internasional. Terdapat tiga argumentasi utama yang mendukung urgensi tersebut. Pertama, hukum positif Indonesia pada saat ini hanya mengatur kontrak jual beli domestik yang terjadi antara para pelaku usaha berkewarganegaraan Indonesia di mana hukum perdata Indonesia berlaku atas transaksi jual beli tersebut. Oleh sebab itu, dibutuhkan CISG yang memiliki substansi yang lebih luas dan mendalam dalam hal pengaturan kontrak jual beli internasional. Kedua, ratifikasi CISG akan memberikan kepastian hukum dan mempersiapkan para pelaku usaha dengan lebih baik ketika hendak membuat atau melaksanakan kontrak jual beli internasional. Ketiga, ratifikasi CISG akan mendukung dan mengoptimalkan potensi perdagangan Indonesia. Mengingat ratifikasi CISG memberikan keuntungan bagi Indonesia, Penulis berpendapat bahwa sudah saatnya Indonesia melakukan ratifikasi terhadap konvensi tersebut.

DAFTAR REFERENSI

[1] Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Dalam Negeri, “Riset: Indonesia Tempati Peringkat 7 Potensi Pertumbuhan Dagang Terbesar Dunia”, https://litbang.kemendagri.go.id/website/riset-indonesia-tempati-peringkat-7-potensi-pertumbuhan-dagang-terbesar-dunia/, diakses 12 Juni 2021.

[2] Harry M. Flechtner, “The United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods,” United Nations (2009), hlm. 1.

[3] Franco Ferrari, “The CISG and It’s Impact on National Contract Law, General Report,” Juridicas Umam (2008), hlm. 121–122.

[4] Institute of International Commercial Law, “CISG: Table of Contracting States,” https://cutt.ly/kcUWBpK, diakses 2 April 2021.

[5] Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, (Bandung: Binacipta, 1980).

[6] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional-Prinsip-prinsip dan Konsepsi Dasar, (Bandung: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 31.

[8] Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik tentang Ratifikasi Konvensi PBB Mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2013), hlm. 26.

[9] Afifah Kusumadara, “Pentingnya…”, hlm. 9.

[10] Ibid.

[11] Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik…, hlm. 65.

--

--

ILMS FH UI
ILMS Chronicles

The International Law Moot Court Society (ILMS), Faculty of Law, Universitas Indonesia