Menelusuri Jejak Srikandi TI Indonesia

Siti Aisyah Adri
Impact Byte
Published in
4 min readMar 29, 2019

Partisipasi perempuan dalam industri TI Indonesia kini sedang digencarkan, baik oleh pemerintah yang saat ini sedang fokus dengan pengembangan bidang STEM, maupun lembaga-lembaga, termasuk lembaga pelatihan seperti Impact Byte, melalui program-program seperti harga khusus bagi pendaftar perempuan dan program beasiswa.

Sumber: Dokumentasi Impact Byte

Kali ini, Detha dan Manda, dua orang alumni Impact Byte dari program beasiswa KEB Hana Bank, dengan senang hati membagikan kesan mereka mengenai Impact Byte dan pengalaman mereka bekerja setelah melalui dua bulan pelatihan bersama Impact Byte.

Detha memang memiliki latar belakang di bidang IT karena menempuh bidang Teknik Komputer dan Jaringan ketika di SMK dulu dan bekerja di salah satu perusahaan penyedia jasa internet, tetapi tidak meliputi bidang software development. Sedangkan Manda tidak memiliki latar belakang di bidang IT sebelumnya karena menempuh bidang Marketing dan Entertainment sebagai karirnya.

Sumber: Dokumentasi Impact Byte

Baik Manda dan Detha memang tertarik untuk terjun ke dunia koding karena selain peluang karirnya lebih besar, menurut Manda, bidang entertainment yang digelutinya hanya mengandalkan look dan akan termakan waktu, sedangkan kemampuan ngoding dapat digunakan setiap saat.

"Untuk hijrah ke bidang IT mungkin recommended ya zaman sekarang. Karena di Indonesia banyak sekali permintaan untuk software engineer dan programmer dari perusahaan, tapi tenaga kerjanya masih sedikit", kata Manda.

Kemampuan ngoding dapat digunakan setiap saat. Bisa sambil kerja di rumah juga. — Manda

Sebelum masuk bootcamp koding dari Impact Byte, mereka berdua rajin belajar koding dari beberapa course online. "Saya pribadi beli course-course online seperti di Udemy, Freecodecamp, codecademy", kata Manda. "Jadi memang basicnya kami sudah mengerti, tapi di sini kami diajarkan lebih dalam lagi. Misalnya ada Redux, itu kalau belajar sendiri mungkin agak susah, ya. Jadi kami harus dijelasin dulu", tambahnya.

Menurut Detha, kehadiran mentor atau orang yang dapat ditanya-tanya tiap saat jika menemui kesulitan juga dirasa penting. "Buat saya, yang paling penting kalau belajar itu adalah ada orang yang bisa ditanyain, dan di sini ada mentor yang bisa ditanya kalau tidak mengerti", kata Detha.

Sumber: Dokumentasi Impact Byte

Lalu apakah benar kurikulum yang diajarkan di Impact Byte semuanya terpakai di dunia kerja?

"Sebenarnya kalau di start-up yang sedang besar saat ini, semua materinya terpakai. Rata-rata vacancy dari start-up tersebut menggunakan stack yang sama dengan yang kita pelajari di Impact Byte", jawab Manda. "Tapi karena saat ini kami bekerja di sister company Hana Bank yang merupakan industri perbankan, mereka kebanyakan memakai bahasa pemrograman C dan Java. Yang kepake dikit-dikit sih JavaScript dan HTML", tambahnya.

"Mungkin untuk pindah ke stack yang terbaru menurut mereka akan terlalu lama dan berat karena data di perbankan itu banyak sekali", jelas Manda.

Buat saya, yang paling penting dalam belajar itu adalah ada orang yang bisa ditanya. — Detha

Menurut mereka, belajar di Impact Byte sangat recommended terutama bagi orang-orang dari non-IT. Kebutuhan di industri sangat besar. Buktinya, di kantor mereka sendiri, NextTI, menargetkan 50 orang developer untuk direkrut. Pertanyaannya, bagaimana mungkin tenaga IT yang dibutuhkan masih kurang, sedangkan lulusan dari sekolah dengan latar belakang IT rasanya sangat banyak?

Sumber: Dokumentasi Impact Byte

"Mungkin, in my opinion, materi yang dipelajari di kuliah dan di sekolah dengan yang di dunia kerja itu beda dengan. Stack yang mereka gunakan mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan industri saat ini", jelas Detha. "Rata-rata yang mengajar di bootcamp itu masih muda-muda, jadi update teknologi yang terkini. Kalau di sekolah dan kampus, mungkin yang mengajar masih menggunakan Stack yang lama", tambah Manda.

Di dunia kerja, fakta perbandingan jumlah perempuan di bidang IT lebih sedikit di banding jumlah laki-laki dibenarkan oleh Detha dan Manda. Hal ini berdasarkan pengalaman seorang teman perempuan mereka yang berada di divisi developer dengan perbandingan perempuan 1:5 dengan jumlah laki-lakinya.

Sumber: Dokumentasi Impact Byte

"Saya pernah baca di media sosial, ketika ada programmer perempuan, itu dipertanyakan. Tapi tidak dengan programmer laki-laki, biasa saja. Itu yang menandakan kenapa perempuan sebagai programmer itu special thing", jelas Manda. "Padahal programmer pertama di dunia itu perempuan", tambah Detha. "Jangan punya stigma kalau koding itu susah. Ibaratnya, setiap hal yang kita belum tahu itu kan at the first memang susah".

Saat ini, banyak hal telah beralih ke software. Dalam waktu dekat, diperkirakan akan lebih banyak demand untuk developer sehingga supply tenaga kerja juga harus mengimbangi. Berarti, saat ini sudah tidak lagi mempertimbangkan gender, laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama dalam berkarir di bidang IT.

--

--