Saatnya Memulai Disrupsi Terhadap Konstruksi Gender di Industri TI Indonesia

Impact Byte
Impact Byte
Published in
3 min readApr 9, 2019

Era disrupsi yang sedang dialami dunia dan juga Indonesia makin berkembang seiring perkembangan dunia digital. Berbagai perubahan dipertaruhkan demi kemudahan mengendalikan hidup melalui seujung jari saja.

Namun demikian, fenomena ini tidak berbanding lurus dengan angka partisipasi perempuan di bidang tersebut. Nyatanya, bagi beberapa lapisan masyarakat, dunia ngoding masih lekat dengan imej “dunianya laki-laki” karena berkutat dengan logika-logika. Bidang yang biasanya berisi kalangan milenial dengan tingkat melek literasi yang cukup ini ternyata tidak lepas dari paradigma tersebut.

Kelas Coding Bootcamp yang masih didominasi laki-laki

Dalam buku “Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” yang ditulis dan diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), disebutkan bahwa secara global, perempuan yang menggeluti bidang STEM (Science, Technology, Engineering and Mathemathic) hanya 30%. Lalu di Asia hanya sekitar 18% yang dari jumlah tersebut, jumlah perempuan yang menggeluti dunia STEM di kalangan negara ASEAN sekitar kurang dari 23%.

Di Indonesia sendiri, penelitian UNESCO menyebutkan kalau jumlah perempuan yang bergerak di bidang STEM hanya 31%, sedangkan jumlah laki-laki mencapai 69%.

Tetapi bisa jadi memang minat perempuan Indonesia yang memang rendah di bidang IT. Grace Tahir, angel investor dan serial entrepreneur perempuan Indonesia mengatakan, seperti yang dilansir dailysocial.co, bahwa salah satu alasan rendahnya minat tersebut di kalangan perempuan Indonesia adalah minimnya exposure hingga recognition terkait dengan eksistensi dan kesuksesan yang telah diraih oleh perempuan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pentingnya memiliki role model, atau mungkin salah satu dari sekian perempuan di bidang IT dapat menjadi pioneer untuk memacu minat tersebut.

Crystal Widjaja, cerdas dan cantik ya!

Jika ditelaah, sebenarnya terdapat nama-nama perempuan Indonesia yang besar di dunia IT Indonesia, misalnya Crystal Widjaja, salah satu petinggi start-up besar di Indonesia, GOJEK. Tak lupa juga Nabila Alsagoff, COO dari DOKU, salah satu start-up besar Indonesia yang bergerak di bidang pembayaran online. Juga Catherine Hindra, Founder toko apparel online ternama Zalora. Nama-nama tersebut tidak kalah mahsyur jika disandingkan dengan para founder start-up seperti Nadiem Makarim, Achmad Zaky dan William Tanuwidjaja.

Namun, sebuah pemicu juga diperlukan untuk mengenalkan perempuan Indonesia akan seluk beluk dunia IT yang juga tak kalah menyenangkan. Hal tersebut juga berguna untuk terus mempertahankan peluang munculnya para dewi angka baru.

Baru-baru ini, beberapa gerakan dan kegiatan untuk pengenalan dan pengembangan potensi perempuan di bidang IT sudah mulai bermunculan di Indonesia. Misalnya, beberapa komunitas mulai membuat kegiatan bertajuk pengenalan dunia koding dengan jangka waktu yang beragam kepada khalayak non-IT. Beberapa komunitas yang bergerak di pendidikan teknologi juga turut berpartisipasi berupa memberikan potongan biaya pendidikan bagi pendaftar perempuan.

Perempuan juga bisa ngoding!

Tak hanya dari komunitas masyarakat, lembaga pemerintah juga mulai membuat kegiatan-kegiatan berbasis digital untuk mendayakan perempuan di era digital kini, meski masih berupa kegiatan dasar untuk meningkatkan melek teknologi di kalangan perempuan Indonesia. Hal tersebut didasar karena setiap orang berhak memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama dengan adanya kemajuan teknologi. Termasuk menentukan dengan bebas arah karir yang ingin mereka geluti.

Memang melihat realita yang terjadi di Indonesia, jangankan literasi digital, bahkan tingkat baca tulis saja mungkin masih rendah di beberapa daerah. Namun, mengabaikan potensi dari besarnya jumlah masyarakat Indonesia akan perkembangan teknologi saat ini tentu tidak dapat lagi menjadi pilihan. Teknologi akan semakin berkembang dan sektor ini akan semakin diperhitungkan, seiring dengan bertambahnya minat perempuan bangsa.

--

--