Bernalar Kedamaian

Indra Lukmana
Indra Lukmana
Published in
2 min readNov 17, 2015

Kalau ada orang yang orang tuanya meninggal saya akan bersimpati kepadanya. Orang tua saya sendiri sudah tidak ada dua-duanya. Tapi simpati saya kepada orang itu tentu tidak dengan melupakan kedua orang tua saya. Nalar sederhana.

Akhir-akhir ini muncul berbagai pro dan kontra yang agak membuat saya risih, tentang bendera. Waktu yang tak lama lalu ada tragedi kemanusiaan yang terjadi di Perancis lalu muncul berbagai respon di dunia media baik massa maupun daring. Lalu muncul fitur di media-media sosial untuk menambah bendera di gambar profil, dari sini muncul pro kontra.

Untuk saya sendiri menggunakan nalar hati yang sederhana. Kalau ada kawan yang kehilangan kerabat dekat saya tentu tidak akan membilanginya bahwa kehilangannya tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kehilangan-kehilangan yang lain, hal itu tentu masuk dalam kategori su’ul adab. Mungkin hal ini bisa diinterpolasi dengan penyikapan saya akan kejadian di Paris.

Ada yang mengajak untuk menambah bendera ini dan itu, negara sana dan situ, ah apalah. Untuk saya sendiri tidak sreg dengan hal seperti itu. Kalaupun ada fitur untuk menambahi foto dengan bendera yang saya inginkan adalah bendera kemanusiaan atau lambang nalar hati yang berempati, adakah itu?

Ada kawan yang memaparkan fenomena bendera ini dari sudut pandang dunia intelijen. Beliau memaparkan fenomena pemasangan gambar ini baik bendera Perancis, Palestina, Mianmar, Filipina, atau bahkan ISIS ada sesuatu pergerakan yang lebih besar dibalik semua itu. Saya tidak ingin memaparkannya karena sejak dulu saya sudah mengambil sikap untuk membatasi membahas hal yang di luar bidang keahlian saya. Kalau dari saya mungkin adalah tidak dengan gegabah ikut-ikutan sesuatu tanpa melihat peta gambaran besar apa yang terjadi.

Hanya saja untuk hal ini saya agak risih karena banyak kawan baik dari kaum sarungan atau bukan, yang latah dengan fenomena ini tanpa berpikir dan hanya ikut-ikut saja. Mungkin ada baiknya mempelajari lagi sejarah kita sendiri, bagaimana para kiai dan ulama-ulama pada zaman perjuangan melakukan strategi kontra-intelijen mereka. Tidak dengan latah, tidak dengan ikut-ikutan, tapi benar-benar mengambil sikap yang memang disadari dari hati untuk menuju ilahi.

Saya masih belajar untuk berislam, beragama, dan bertuhan. Saya sendiri diajari seandainya ada sebuah titik informasi yang saya dapat, jangan gegabah mengambil tindakan berdasarkannya. Islam itu baik tapi seringkali tertutupi kebaikannya oleh sikap pemeluknya, atau istilahnya adalah Al-islam mahjubun bil muslimin. Mungkin saja kita mengatasnamakan islam saat berlaku padahal tindakan gegabah kita malah mengingkari adab islam sendiri, na’udzubillah min dzalik.

Akhir postingan ini mungkin adalah harapan saya agar seluruh manusia di dunia ini dapat berdampingan bersama. Tanpa membedakan agama, suku, ras, negara, dll dapat berkedamaian dalam berkehidupan. Semoga Allah Subhanahuwataala berkenan memberikan rahmatnya agar kedamaian menyelimuti dunia yang sementara ini.

--

--