Hari santri: catatan santri abangan

Indra Lukmana
Indra Lukmana
Published in
3 min readOct 22, 2015

Hari ini 22 Oktober telah disahkan oleh pemerintah sebagai hari santri. Bukan hari libur, tapi lebih ke esensinya sebagai penghormatan kepada para syuhada santri yang telah berjuang dan menumpahkan darah mereka untuk bangsa Indonesia. Pada tanggal ini 70 tahun yang lalu, digelorakan resolusi jihad yang lalu menjadi titik awal rangkaian sejarah menuju hari pahlawan 10 Nopember.

Salah seorang senior alumni santri pesantren saya dulu pernah menuliskan, bahwa lebih bangga terhadap predikatnya sebagai santri dari pada gelarnya sebagai alumni kampus negri. Ia bahkan menyatakan lebih bangga terhadap kesantriannya daripada sandangan doctor candidate dari kampusnya di Inggris saat ini. [1]

Hal yang diungkapkan beliau tersebut juga sedikit banyak saya rasakan. Santri bukan gelar akademis, bukan sandangan yang harus menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berlembar-lembar dulu untuk mendapatnya. Santri erat kaitannya dengan kiai, pesantren, dan kitab kuning. Pesantren memang memiliki maginya yang unik. Hubungan santri-kiai jauh menembus hubungan transaksional ajar-mengajar. Ada ikatan yang memang dilandaskan kepada pencarian ridlo kepada sang pemilik ilmu yang sejati.

Definisi santri sekarang sudah berolah dalam berbagai macam penafsiran. Asli katanya berasal dari bahasa sansekerta, ada yang bilang artinya adalah: pembelajar kitab suci, melek huruf, pengikut guru, dll. Kalau sekarang ini arti santri erat dikaitkan dengan pesantren.

Dulu waktu tsanawiyah di Tebuireng ada kawan yang sempat mendapat ceramah gus dur tentang santri lalu diberikan singkatannya SANTRI yaitu: Saya Anak Nakal Tapi Rajin Ibadah. Kalau nakal dan rajin ibadah silakan pakai ini kalau tidak ya cari definisi lain saja. Kalau saya mungkin ikut definisi santri yang pernah saya dapat dahulu yaitu: pokok e gelem sholat, ngaji, netepi agomo, lan ‘mikul dhuwur mendhem jero’, iku yo santri.

Kemarin kapan sempat membaca, ada yang tidak setuju dengan hari santri, katanya mengkotak-kotakkan antara santri dan abangan. Membacanya, saya hanya tersenyum geli saja. Masalahnya lah terus yang seperti saya ini kotaknya bagaimana ya. Saya mungkin ngaku-ngaku santri, tapi aslinya ya bahasa arab dak bisa, ngaji gruthal-grathul, baca kitab kuning mbuh-mbuhan. Mondok di pesantren hanya punya harapan untuk ngalap barokah kiai dan kawan-kawan yang memang santri asli yang ajeg dalam thollabul ilmi. Kalau ada teman yang bilang yang seperti saya ini masuk ‘santri abangan’. Ya wes dak opo sing penting enthuk dungo.

Pun apabila ada yang tidak setuju juga tidak apa-apa. Salah satu semangat yang ditanamkan dalam santri adalah toleran. Selama tidak menyalahi norma-norma yang ada maka tidak mengapa. Apabila ada yang menyimpang saat itulah santri seyogyanya ada di garda depan perjuangan, bukan dengan kekerasan melainkan dengan kesantunan serta dibarengi semangat maslahat.

Santri di pesantren kata guru saya dahulu adalah miniatur masyarakat Indonesia. Bhinekanya indonesia terasa dengan sangat dalam pesantren. Santri dari berbagai latar belakang ekonomi, daerah, pulau, dll bergabung dalam sebuah komunitas. Komunitas yang penuh kekeluargaan ghosob-ghosoban sandal, tukar-tukaran sarung, minta-mintaan odol-sabun-sampo, dll, semuanya dilakukan bersama. Cuma di pesantren berangkat mandi hanya bawa sikat gigi, tapi dalam setengah jam bersihnya sudah mengalahkan artis iklan sabun mandi.

Sarung dan kopiah tak lepas dari image santri. Kalau dulu pada zaman perjuangan kemerdekaan sarung dan kopiah adalah simbol perlawanan terhadap penjajah dengan tidak meniru mereka. Sekarang pun tetap menjadi simbol kebebasan yang menyediakan semilir angin segar, meski juga rawan menjadi sasaran kejahilan plorotan kawan-kawan cengengesan. Sehingga perlu analisis risk, cost, and benefit saat memilih untuk menggunakan.

Dulu pernah mendapat cerita saat zaman perjuangan dahulu ngaji kitab kuning di pesantren kadang diselingi dengan pembahasan strategi gerilya militer dan teknik bersenjata. Sekarang sudah jamak ngaji kitab kuning dengan projector, laptop, tablet, dll diselingi dengan permasalahan galau yang kekinian.

Mungkin hari santri ini sendiri sebaiknya tidak hanya dijadikan wasilah mengenang resolusi jihad yang telah lalu saja. Tapi juga pijakan untuk menggelorakan semangat berkarya bagi para santri untuk negri. Sarana bagi para santri membangun resolusi jihad pribadi untuk terus memperbaiki diri dan memberdayakan diri dalam semangat pengabdian kepada bangsa Indonesia.

Selamat hari santri, dari santri yang abangan.

Santri mengabdi untuk negri, harga mati!

[1] http://cakshon.com

--

--