Mengindahkan Adab

Indra Lukmana
Indra Lukmana
Published in
2 min readNov 29, 2015

Beberapa waktu ini ada berita yang tergencar di berbagai linimasa media sosial, tentang fenomena para tamu yang tidak mengindahkan etika bertamu dalam pekarangan orang yang kebetulan punya bunga-bunga yang indah. Mungkin untuk kekinian saya sedikit nggedabrus tentang hal ini di sini.

Kalau dahulu-dahulu kala saya diajarkan berbagai adab bertamu salah satunya adalah permisi dahulu sebelum masuk rumah sang pemilik. Lalu saat masuk di daerah atau rumah dari sang pemilik harus menjaga sikap dengan baik. Selanjutnya banyak lagi yang harus diperhatikan untuk menjaga adab kita, kalau mau dianggap sebagai manusia yang beradab.

Kalau dari berita yang beredar, ada sebuah pekarangan dengan bunga-bunga indah (yang sebenarnya adalah milik seseorang) yang dibanjiri oleh orang-orang entah dari mana. Lalu pada akhirnya orang-orang ini melakukan pengrusakan (entah disadari atau tidak) yang mengakibatkan pekarangan itu rusak keindahannya. Kalau dari linimasa yang ada mengatakan kalau itu semua demi foto atau selfie diri dengan latar keindahan pekarangan tersebut.

Cerita diatas mungkin paralel dengan berita gunung-gunung atau tempat wisata alam yang kini banyak compang-camping, bersampah, dsb. Hal yang diakibatkan oleh orang-orang yang bergiat dalam media sosial juga. Hal yang dilakukan mungkin untuk mencapai titik kepuasan diri demi memajang status, tweet, foto, dll dalam media sosial.

Saya pribadi mungkin tidak berani untuk menyalahkan orang-orang tersebut. Seandainya saya berada dalam posisi mereka, saya tidak berani menjamin kalau saya tidak akan melakukan kelakuan yang merendahkan diri saya sendiri seperti itu.

Hingga saat ini, saat saya berada dalam daerah yang indah atau tempat wisata perhatian utama saya bukan untuk mencari atau mengambil foto tapi menikmati momen yang ada. Mungkin karena ini foto-foto diri saya terlalu sedikit sehingga saya tidak terlalu eksis di dunia media sosial, saya juga kurang tahu.

Tapi hingga saat ini, Alhamdulillah, meskipun saya kurang eksis, saya masih diberi kenikmatan hidup. Berdasarkan titik anekdot tersebut korelasi antara kehidupan dan eskisme di media sosial bisa saya katakan minim bahkan tidak ada.

Mengenai foto, seringkali foto yang saya miliki adalah foto bersama dalam kelompok. Kalaupun ada foto saya sendirian itu biasa difotokan oleh teman atau semacamnya. Juga kalau ada saat-saat yang memang layak untuk difoto.

Foto, status, tweet, hashtag, dan lain sebagainya yang menyangkut sosial media, sekarang ini sepertinya menjadi kebutuhan tersendiri bagi orang-orang tertentu (yang banyak). Terkadang kebutuhan yang seakan-akan melebihi kebutuhan untuk menghormati adab kemanusiaannya sendiri.

Kalau dahulu pernah diajari tentang apa itu manusia, jawaban sederhananya adalah “Al-insanu hayawanun nathiqun” yaitu manusia adalah hewan yang berakal. Akal ditunjukkan dengan kemampuannya dalam menjalankan dan menghormati adab yang ada. Saat adab tidak diindahkan maka akal yang ada tidak terlihat dan hanya hewannya saja yang tercuat.

Untuk saya pribadi saat ini, mengindahkan adab merupakan kebutuhan yang penting, jauh lebih penting dari eksisme di sosial media. Bahkan mungkin untuk saya pribadi eksisme bukanlah sebuah kebutuhan yang harus diindahkan.

Semoga kita selalu mendapatkan hidayah dari Allah untuk berlaku sebagai manusia yang beradab, karena tanpa adab kita tentunya tidak pantas kalau mengaku sebagai manusia.

--

--