Opini Medsos

Indra Lukmana
Indra Lukmana
Published in
2 min readApr 18, 2016

Di zaman media sosial seperti ini informasi beredar dengan sangat cepat dan liar. Kita juga bisa turut andil berpendapat tentang apa saja tanpa batasan, entah bahasany yang kita pahami atau tidak, terpengaruh sedikit atau banyak, subyektif atau obyektif.

Kita yang nun jauh bisa mengikuti sepak terjang dari seorang gubernur di suatu kota, katakanlah Jakarta, kota yang seakan-akan satu-satunya di Indonesia. Entah bagaimana banyak orang yang dipelosok desa jauh dari hiruk-pikuk Jakarta bisa mengetahui dengan detail apa yang ada di sana. Tapi sayangnya tidak begitu tahu tentang kotanya sendiri, gubernurnya sendiri, orang-orang yang menjadi wakil di daerahnya sendiri.

Saya sebenarnya tidak mau terlibat dengan berbagai adu argumen tentang pak gubernur Jakarta. Tapi dengan tulisan ini saya sedikit banyak akhirnya juga terseret. Alasan utama kengganan saya adalah karena saya tidak punya KTP Jakarta, saya bukan warga Jakarta. Entah jakarta mau menerapkan kebijakan apa, akan sedikit bahkan kemungkinan besar tidak berpengaruh kepada kehidupan saya sebagai warga negara penduduk kota saya.

Tapi saya tertarik mengamati para argumentator di sosial media. Dari yang saya amati, para pendukung gubernur Jakarta (yang menjabat saat ini) cenderung memberikan argumentasi yang cerdas tentang kebijakan-kebijakan beliau. Sedangkan orang-orang yang kontra banyak memberikan pendapat dengan menyerang pribadi entah agama atau watak dan bukan kebijakannya, tidak elegan menurut saya. Hal itu tentu tidak semua, hanya saja yang mencuat dan saya lihat di media sosial ya seperti itu, mungkin subset pertemanan saya di medsos yang membuat saya terpapar sebagaimana demikian.

Saya sendiri berusaha semaksimal mungkin menghindari “pendewaan” seseorang. Kita manusia pasti memiliki salah dan bisa berbuat benar, tidak ada yang 100% salah atau benar. Mungkin apa yang kita putuskan baik untuk subset tertentu dan sebaliknya untuk yang lain. Sebenarnya solusinya sederhana, kalau baik sebaiknya kita perkuat kalau tidak ya diperbaiki. Solusi sederhana tapi seringkali rumit untuk implementasi.

Kalau dulu saya diajari tentang tawasuth atau pertengahan. Kalau kita senang dengan seseorang ya sekedarnya, kalau tidak senang juga sekedarnya. Jangan sampai kalau kita tidak senang lalu hilang adab, menghina, mencaci, dsb.

Ya zaman media sosial seperti ini, penggiringan opini sangat massif entah dari yang pro atau kontra sesuatu. Sering kita duduk dalam salah satu posisi tadi hanya berbasiskan emosi (entah emosi positif atau negatif). Mungkin sebaiknya kita menduduki satu posisi setelah tahu benar apa permasalahan yang sebenarnya terjadi, meski terkadang ini sulit.

--

--