1965, Harvest Moon, Titit Jenderal, dan Muara Sebuah Ingatan

Rifki Akbar Pratama
INGAT 65
Published in
12 min readOct 1, 2018

Ronde ketiga dimulai. Pria itu menyerang dengan berapi-api. Di tengah 40 detik yang tersisa mereka berdua berangkulan — clinch dalam istilah tinju. Pria 98 kilogram itu menjulurkan kepala di atas pundak lawan, meloloskan alat pelindung gigi, lantas menggigit telinga kanannya. Secuil potongan telinga ia lepeh ke atas ring. Darah mengucur.

Buat saya dan beberapa kawan di kampung, pertandingan Mike Tyson lawan Evander Holyfield itu jauh lebih mudah diingat daripada film Arifin C. Noer: Pengkhianatan G30S/PKI. Rasa ngilu membayangkan telinga koyak menjadi penunjang ingatan yang ampuh. Betul tampaknya, rasa sakit maupun kepedihan membuat kita sulit melupakan sesuatu yang berpaut padanya. Namun, ada yang lebih pelik, yakni mencoba mengingat berbekal hari-hari penuh ketenangan. Hari-hari biasa nan sederhana tak pernah meninggalkan bekas luka sebagai sarana pengingat. Agaknya, kita lebih mudah memungut pelajaran dari nasib buruk.

Itu pula tampaknya yang membuat film Pengkhianatan G30S/PKI lebih mengguratkan kesan kuat pada generasi om saya juga seniornya. Buat generasi mereka, “Darah itu merah, jenderal!” bisa jadi kode sisipan yang begitu lugas saat berkisah atau berkelakar. Kengerian adegan dalam film itu ataupun kebosanan menonton film berdurasi lebih dari tiga jam itu pun mungkin masih melekat di benak tante saya juga seniornya. Tapi tidak bagi kami yang lahir setelahnya.

Film dokudrama propaganda besutan Arifin C. Noer itu sudah tak lagi wajib tayang saat generasi kami memasuki sekolah dasar. Kepala kami di pedesaan Yogyakarta, yang cukup beruntung punya privilese memiliki televisi di ruang tengah tentu, lebih lekat dengan tinju ataupun kartun minggu. Kepala kami di kampung, yang punya privilese dibekali uang jajan, melekatkan simbol palu juga arit bukan pada PKI melainkan pada game Harvest Moon: Back to Nature. Ternyata keberuntungan inilah hilir dari persoalan yang terus dibiarkan mengambang.

Dalam sebuah wawancara di The Sun, Holyfield membandingkan Tyson dengan dirinya semasa kecil waktu berkelahi dengan kakaknya, “Dengan gigitan itu saya paham kalau Mike takut. Karena saat kamu lihat hal macam itu, itu karena kamu mau lari, bukannya bertarung.” (Foto: Steve Marcus/REUTERS)

Setelah berkepala dua, saya baru sadar hari-hari tenang itu melenakan. Saya terlampau lama tumbuh dalam kenaifan. Keluarga saya berperan besar. Om saya dari pihak ibu mungkin belajar sejarah waktu kuliah tapi bukan dari dia saya tahu soal apa yang dimaksud dengan ‘65’. Lebih-lebih dari keluarga pihak ayah yang kuat berpedoman ‘status yang terbaik ialah status quo’. Mereka lebih mahir menjelaskan apa itu ‘69’ dibanding apa itu ‘65’. Makanya, buat saya pengalaman para penyintas tragedi ’65 dan keluarganya layaknya sebuah keberuntungan yang disuguhkan oleh nasib buruk. Persis karena mereka diberkahi alat bantu ingat yang begitu mumpuni: luka.

Perkara luka membuat ingatan saya melayang ke sebuah film pendek dari Edwin: Trip to the Wound. Film 6 menitan ini bercerita tentang perjumpaan Carlo dengan Shilla di sebuah bus. Shilla adalah seorang gadis berparas Tionghoa, pengepul kisah tentang luka. Sedang Carlo ialah pemuda dengan luka di pundaknya. Interaksi keduanya dimulai saat Shilla bertanya tentang asal-muasal luka Carlo. Sebelum Carlo melontarkan jawaban, Shilla meyerobot dengan rentetan kisah tentang luka orang-orang yang ia kenali. Hingga akhirnya tiba saat Carlo menjawab: ia lupa apa kisah di balik lukanya.

Nuansa lantas berubah hening perlahan saat Carlo balik bertanya: “Kalau kamu?” Keheningan masih melanda termasuk saat Shilla membolehkan tangan Carlo menyusuri tubuhnya hingga pangkal paha untuk tak menemukan satu bekas luka pun. Hal yang membuat Carlo lantas bertanya: “Mbak enggak punya bekas luka ya?” Adegan perlahan menuju akhir saat Shilla dalam diam menatap nanar ke arah kamera dengan air mata mengalir di pipinya.

Sebuah acuan tak langsung antara kisah Shilla dengan tragedi pemerkosaan yang menimpa perempuan Tionghoa pada ’98 pun mengemuka. Meski begitu, saya pikir kita bisa menemui sosok Carlo maupun Shilla dalam berbagai konteks kejadian serupa, termasuk tragedi ’65. Menemui dua figur yang bertolak belakang. Figur yang tampak menjalani hari-hari dengan santai acuh tak acuh terhadap bekas luka yang melekat — baik karena abai atau modus penyelamatan diri. Maupun figur yang dapat mengisahkan dengan fasih luka-luka orang lain tetapi langsung terpaku saat ditanya soal lukanya — yang tak tampak tapi sebetulnya menganga. Dua figur yang berpaut pada isu serupa. Kegundahan menyampaikan yang tak terkatakan. Kegundahan yang sama mengarahkan pada sebuah pertanyaan yang menurut saya kerap membuntuti sebuah tragedi: bagaimana cara menyampaikan kenangan dengan tepat?

Sejenak ingatan saya melayang kembali ke sebuah perjumpaan di tahun 2015. Seorang perempuan 65 tahun mengisahkan kembali pengalamannya saat menonton film Pengkhianatan G30S/PKI bersama anaknya. Ia menuturkan, waktu itu ia menemani dan memangku anaknya yang masih berusia 8 tahun menuntaskan keseluruhan film. Ketika film itu usai, dengan mimik wajah yang cukup serius anaknya kemudian bertanya, “Ma, apa itu komunis? Apakah mereka yang membunuh Eyang Toyo?” Terkesiap karena pertanyaan tiba-tiba itu, ia terdiam. Ia bertanya dalam diri, “Apa yang bisa diberikan sebagai jawaban terhadap anak umur 8 tahun?” Sejurus kemudian ia menjawab, “Tunggu ya, No… Pertanyaan itu sama sulitnya dengan pelajaran Matematika kamu di sekolah. Sampai kamu nyebutnya “Mati-matian”. Tunggu sampai kamu cukup umur untuk bisa mengerti apa yang nanti Ibu jelaskan.”

Malam harinya saat sang anak sudah tertidur, sang ibu salat, lantas menangis. Ia sadar, menurutnya dirinyalah yang sedang ditanya oleh Tuhan: “Apa yang akan kamu berikan sebagai jawaban, sebagai ibu dari anakmu?” Segelintir pertanyaan lain lantas menyusul, “Mau mengatakan komunis itu jahat?” dan kemudian ‘pengkhianatan’ itu merujuk pada “pengkhianatan terhadap siapa?” Ia sendiri mencoba mawas diri, “Dan lagi, pertanyaannya itu berarti apakah dia bertanya ‘orang komunis itu seperti apa?’ atau dia bertanya ‘(apa itu) komunisme sebagai ideologi?’ Menurut sang ibu, dua-duanya sama sulitnya. Pertanyaan lain pun membuntuti, “Kalau itu memang komunis, katakanlah, apakah komunisme selamanya akan menjadi musuh? Apakah komunisme selamanya yang akan melakukan, katakanlah, kejahatan. Apakah tidak ada pihak lain?” Rentetan pertanyaan itu muncul di benak Nani Nurrachman Sutojo — sang ibu penutur kisah. Ia adalah anak Sutojo Siswomiharjo, salah seorang perwira tinggi TNI-AD yang dibunuh di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965. Mendengar kisahnya, saya hanya bisa tercenung.

Masih di momen yang sama, seorang perempuan paruh baya menggenggam mikrofon menanggapi kisah Nani Nurrachman. Ia bertutur, “Kalau putera Ibu tadi menanyakan tentang komunis itu apa, saya sebagai korban ’65 menerima pertanyaan juga dari anak saya yang laki-laki.” Ia menjelaskan bahwa pertanyaan itu dilontarkan anaknya selepas menonton film Pengkhianatan G30S/PKI di sekolah. Ia melanjutkan, “Sewaktu mendengarkan pertanyaan dia, rasanya dada itu mau meledak. Karena sudah sekian lama menyimpan atau harus menerima kebohongan-kebohongan yang begitu rapi dikemas dengan sistemik.” Suaranya bergetar, sejenak menghela napas, ia lantas melanjutkan, “Tapi, ya, kembali seperti Ibu: apa yang akan saya jawab kepada anak saya?” Ia mengakui, sebagai orang awam pertanyaan itu begitu sulit.

Siang itu, sepulang anaknya sekolah sampai kesorean harinya ia berpikir keras kalimat apa yang harus dikeluarkan dan bisa dicerna anaknya, hingga menjumpai cara yang dirasa tepat. Ia mengisahkan, usai anaknya makan ia memanggil anaknya, “Sini, duduk, (tadi) pertanyaannya ‘apa benar (anggota) Gerwani menyilet anu-nya jenderal?’” Ia mendekat ke anaknya lantas mencubit tititnya. Anaknya memekik kesakitan. Sejurus kemudian, ia menjelaskan, “Yah, itu, kalau itu, kalau tititnya anak bisa disentuh perempuan, (ya) karena aku ibumu. Tapi tititnya jenderal, bagaimana perempuan bisa menyilet-nyilet seperti itu? Itu film, dibuat orang. Mau dijual biar ditonton, biar laku.” Ia menutup momen itu dengan bilang, “Tapi, di samping itu, ada hal yang tidak kamu ketahui dan Ibu juga tidak tahu pada saat itu.”

Di dalam ruangan yang sama, saya cuma bisa termangu. Di satu sisi, saya merasa beruntung bisa menjadi pendengar kisah mereka. Di sisi lain, kini kepala saya pening, tersadar sebegitu rumitnya upaya mengingat tanpa luka atau persinggungan dengannya. Bagaimana bisa mengingat sesuatu yang bahkan tak ada di dalam kepala? Lebih sulit lagi, buat turut merasa, buat berempati pada yang terluka. Terutama bila tak pernah ‘mendengar’ kisah mereka. Begini, maksud saya, bahkan pelajaran sejarah di sekolah tak pernah membantu. Di sekolah, saya tak cukup punya keberuntungan untuk berjumpa dengan guru sejarah yang cukup menarik. Sepanjang saya sekolah, materi sejarah lekat dengan menghafal berbagai hal yang menjemukan. Tak pernah menjadi sesuatu yang menyulut rasa ingin tahu. Mirip teka-teki silang yang diisi penuh.

Ladya Cheryl, pemeran Shilla, kerap turut serta bersama Edwin mengeksplorasi tema-tema rasial dalam media film. Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) ialah salah satunya. (Potongan adegan: shortfilmsales.com)

Saya tersadar, penceritaan kembali tentang sebuah tragedi ternyata tak bisa hanya berhenti di momen pembelahan mana yang benar mana yang salah. Baik keluarga para jenderal maupun keluarga yang berafiliasi dengan atau dicap PKI adalah korban. Buat yang disebut terakhir, ada hal yang ingin saya catat. Dilabeli PKI seolah menempatkan para korban ini ketiban pulung dan hanya terkena imbas peristiwa 1965. Cara pandang ini, yang masih dapat ditemukan hinggap di mana-mana, buat saya, sama bermasalahnya. Karena toh tetap saja dengan begitu PKI dilihat keji dan tercela. Persoalan macam ini saya rasa seperti spektrum, bukan sekedar hitam atau putih.

Saya akan berhenti di sini soal urusan benar dan salah, itu berat. Pun memakan waktu. Di samping itu, tunjuk-menunjuk siapa yang salah kerap kali justru mengalihkan kita dari pembahasan atas masalah itu sendiri. Belakangan saya sadar, ada satu pertanyaan yang mungkin bisa mengantarkan kita secara perlahan pada pokok persoalan tadi, “Mengapa para korban dianggap pantas untuk dikorbankan?” Ini berlaku dari pihak mana pun kita memungut korban. Dan ini sedikit banyak akan menjembatani kita untuk membicarakan bagian sejarah yang lebih personal.

Pertanyaan yang sama kembali mencuat 21 September lalu saat saya berjumpa dengan Rangga Purbaya. Sebuah pertemuan singkat yang berbuntut panjang. Kata-kata Rangga, “Pengalaman kehilangan seseorang tanpa adanya kejelasan itu menumbuhkan rasa penasaran yang menyiksa,” terus mengendap di kepala saya. Kakeknya, Boentardjo Amaroen Kartowinoto, dijemput 10 November 1965 dan tak diketahui lagi keberadaannya. Belakangan ia menyusuri kisah tentang kakeknya dengan tajuk ‘Investigating Boentardjo’ dan menuangkannya dalam pameran Stories Left Untold (2015) juga Letter to the Lost One (2017).

Saya bertanya mengapa ada jeda cukup panjang hingga ia memutuskan untuk menghelat pameran. Ia bilang ada momen saat orang-orang begitu riuh membicarakan isu ’65 dan merisikokan kehidupan para penyintas karena tak berhati-hati. Ironis, mereka dikorbankan kembali melalui pengungkapan diri sebagai korban. Ia mencoba mencari cara tutur yang lebih pas dan tak eksploitatif. Ia juga mengakui, upaya menelusuri sejarah keluarga ini bukan sesuatu yang dengan mudah dilakukan. Kebanyakan dari anggota keluarganya enggan membicarakan isu ini karena seperti ‘membuka luka lama’. Sepintas saya teringat akan Carlo juga Shilla. Rangga menangkap, “Sepertinya ada sebuah ketakutan yang luar biasa, sehingga bahkan lima puluh tahun kemudian, orang masih tidak mau membicarakan ini,” tuturnya — seperti yang tercatat dalam esai kuratorial pamerannya bersama Nora Scheidler.

Berbagai artefak dan arsip yang Rangga pakai dalam pamerannya kini bisa dijumpai di akun Instagram miliknya. (Foto: Koleksi Pribadi Rangga Purbaya)

Awalnya saya penasaran mengapa ia memakai kata “investigasi” sebagai tajuk. Rasa penasaran yang kemudian luruh saat Rangga melanjutkan kisahnya. Ada keingintahuan di dalam dirinya untuk mencari tahu mengapa sang kakek ‘pantas untuk dihilangkan’. Penelusuran yang ia lakukan atas arsip keluarga membawanya pada pengetahuan tentang peran sang kakek. Posisinya sebagai kepala kantor Barisan Tani Indonesia di Yogyakarta juga kemudian penyuluh di Kantor Urusan Gerakan Tani menempatkan kakeknya sebagai orang yang cukup penting: untuk dihilangkan. Sepotong kisah yang turut menyumbang jawaban bagi pertanyaan “mengapa para korban dianggap pantas untuk dikorbankan?” Pertanyaan berikut yang menyusul ialah, “siapa yang diuntungkan dari dihilangkannya para korban?” Jawaban atasnya membuat saya tersadar begitu eratnya sejarah personal kita dengan gerak sejarah dan politik bangsa. Mau tidak mau. Jawaban atasnya secara perlahan menurut saya juga akan membantu kita merangkai kisah tentang kondisi ekonomi politik yang membuat siapa pun lantas dikorbankan.

Saya tertegun sebenarnya saat Rangga berkisah awal mula mengapa ia mencari kakeknya. Ia besar di Jakarta dan lahir tahun 1976. Ia adalah perwakilan generasi om saya. Di kala liburan ke Jogja ia selalu pergi ziarah ke makam neneknya dari pihak ayah. Cuman tak pernah ia mendapati makam kakeknya. Dalih ayahnya, kakeknya dimakamkan di Semarang. Hingga suatu momen ketika ia menyusuri album foto keluarga bersama sang ayah. Saat menjumpai foto kakeknya, ayahnya sontak bilang, “Kalau kamu sedang naik bis atau jalan-jalan dan melihat orang ini, segera kamu sapa, ya. Bilang bahwa kamu adalah cucunya, anaknya Bima!” Rangga bingung lantas menimpali, “Lho, bukannya kakek sudah meninggal?” Ayahnya terdiam.

Rangga lantas meneruskan. Di keluarganya hanya ia dan Siwi Kartini — tante dari pihak ayah — yang cukup penasaran atas keberadaan Boentardjo. Ia menceritakan bahwa di tahun 70’an tantenya sengaja kuliah di Jogja meski diiringi penolakan dari keluarga. Tantenya mengemban misi rahasia. Selama periode studinya, ia selalu berjalan kaki baik untuk pergi kuliah atau perjalanan sehari-hari. Rangga bilang, sang tante akan berhenti saat menjumpai sesosok pria tua di jalan. Diam-diam ia terus mencari ayahnya, meski tak pernah ia jumpai hingga akhir studi. Rangga bilang, ia beruntung dapat menemukan arsip soal kakeknya yang disimpan ayah juga keluarga dari kakeknya. Menurut Rangga, tidak semua upaya penelusuran membuahkan hasil seperti yang diharapkan. “Kita perlu menggali di tempat yang tepat,” ujarnya.

Kata-kata Rangga itu membuat saya teringat akan game Harvest Moon: Back to Nature. Di tambang di balik air terjun ataupun pulau kecil di tengah danau yang membeku, karakter yang kamu miliki bisa mengumpulkan biji logam. Dengan modal pacul, kamu bisa menggali dan mencari. Hanya saja, untuk menemukan tangga ke lantai yang lebih dalam, yang berisi logam yang lebih bernilai, kamu harus menggali di tempat yang tepat. Kalau itu tidak terjadi, kamu hanya akan membuang energi karaktermu, yang kemudian pingsan, lalu terbangun di rumah keesokan harinya. Kecuali kamu membawa power berry — buah rahasia pengisi stamina. Saya pikir upaya “Ingat65” ini layaknya power berry untuk mengisi tenaga menggali sejarah yang terserak. Persis karena upaya mengumpulkan keping sejarah ini belum juga usai. Seperti apa yang dicatat Rangga di http://1965setiaphari.org: “Harapan untuk menemukan kakek dalam keadaan hidup itu selalu ada. Inilah yang membedakan antara korban yang tewas dengan yang hilang.”

Palu dan Arit buat saya dan beberapa kawan di kampung lebih lekat dengan game Harvest Moon: Back To Nature dibanding PKI. Untung saja game ini tidak diberedel karena dianggap mengandung atribut komunis. (Potongan game: https://www.harvestmoonbacktonatureguide.com/tools.html )

Cuman, masih ada satu tanya yang masih tersisa di dalam kepala: apa untungnya menggali kisah tentang ’65 ini bagi generasi saya, pun menuliskannya? Selintas saya teringat percakapan fiksional antara Sokrates dengan Phaedrus. Sokrates sedang mencoba meyakinkan si anak muda bahwa komunikasi lisan lebih baik dibanding tulisan atau modus komunikasi rekaman lainnya. Ia mencuplik kisah tentang Thamus guna menyokong pendapatnya. Thamus melihat tulisan sebagai pharmakon — seperti obat — bisa dipakai untuk mengobati juga meracuni. Singkatnya, sebagai sandaran untuk merekam ingatan, ia justru mengancam ingatan. Kita bergantung pada sesuatu di luar diri. Contohnya sederhana, sampai di kalimat ini saya pikir sebagian pembaca telah lupa apa kalimat pertama yang saya tulis. Lebih buruk lagi, menurut Thamus, tulisan tak dapat mengajarkan sikap. Tulisan tak dapat ditanyai, dan tak bisa membela diri bila disalahartikan. Saya pikir ini ada benarnya. Sulit memang buat menumbuhkan empati kepada “korban” tanpa perjumpaan dan hanya mengawetkan mereka dalam tulisan.

Upaya mencari dalih untuk menulis ini membawa saya pada satu kisah tentang Mado. Ia putri dari Oey Hay Djoen — salah satu anggota DPR dari PKI yang pada tragedi ’65 dijadikan kambing hitam dan diasingkan ke Pulau Buru pada Agustus 1969. Kisah ini terjadi sekembalinya Oey dari Pulau Buru. Suatu kali, saat salah seorang anak Mado jatuh sakit, Oey berjanji kepadanya untuk menemani mereka pergi ke dokter. Akan tetapi, di hari yang sama, sang ayah dimintai tolong pula oleh seorang teman membantu mencari pekerjaan untuk anaknya. Oey merasa ini begitu penting lantas mengabari Mado bahwasanya ia tidak dapat menemani mereka ke dokter. Mado berkeberatan dan menegaskan kalau sang ayah perlu membina hubungan yang baik dengan cucu-cucunya. Jikalau tidak, mereka tak akan pernah punya ingatan yang berarti tentang dirinya. “Mereka harus merasa bahwa mereka kenal Papa. Dengan begitu, kalau mereka mendengar apa-apa yang buruk dan tidak patut tentang Papa, sesuatu yang sangat mungkin, mereka akan dapat menilainya sendiri bahwa itu semua cuma desas-desus!” tukas Mado — yang dicatat Dewi Anggraeni dalam bukunya “Mereka Bilang Aku China”.

Bagi saya, menangkal desas-desus ini adalah dalih yang pas buat terus menuliskan kisah tentang ’65, tentang sejarah. Karena persis dengan upaya ini pengorbanan bisa dihindarkan. Buat saya, menjadi korban atau tidak, itu hanya persoalan peruntungan saja. Karena kategori korban sendiri juga rawan buat disalahgunakan demi niat durjana. Bukankah pembunuhan ratusan ribu orang pada ’65 juga berpatokan pada dalih menjadi “korban” pergerakan dari PKI, aksi sepihak terkait UUPA 1960, daftar nama fiktif orang yang akan dihabisi oleh PKI, dan lain sebagainya? Sejarah sejatinya akan selalu ditatap lewat satu perspektif tertentu. Saya kira, perbincangan soal tidak mengulangi tragedi yang serupa lantas menjadi poin penting.

Masih lekat di ingatan saya video penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyyah di Cikeusik. Di video yang dibagikan oleh Andreas Harsono melalui kanal YouTube miliknya itu, segerombolan orang tampak begitu berbesar hati membunuh manusia lainnya. Saya berjengit dan mempause video itu berulang kali sebelum berhasil menuntaskan rekaman yang hanya berdurasi 1 menit itu. Gambar hidup itu begitu menganggu. Hantaman batu dan gebukan kayu pada sosok yang tak bernyawa diselingi seruan takbir. Saya bergidik. Sebuah rasa takut menyeruak. Bukan, bukan, saya bukan takut menempati posisi korban yang bugil dan dipukuli. Saya khawatir generasi mendatang melakukan hal serupa terhadap sesama. Saya tak bisa menerima kenyataan anak-cucu saya membunuh orang lain atas nama apa pun. Oleh sebab itu, saya menulis, buat mengingat, buat mengingatkan.

Upaya mengingat ini, saya pikir, penting untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan serupa dari generasi berikutnya. Guna menangkal desas-desus. Lagipula, tampaknya benar tarik-menarik antara sejarah yang disalin-ulang dalam buku cetak dengan yang dituang dalam percakapan tak akan usang dibicarakan. Inilah pula yang akan membentuk situs memori (les lieux de mémoire) seperti kata sejarawan Pierre Nora, “momen sejarah dirobek dari gerak sejarah, lantas diletakkan kembali pada tempatnya, dengan bentuk yang baru”. Situs memori itu “tak lagi hidup, tapi belum juga mati, layaknya kerang di tepian pantai saat lautan ingatan kehidupan telah surut.” Buat saya, situs sejarah itu tak bisa ditempati dengan mengandalkan keberuntungan layaknya perjumpaan saya dengan para saksi lintas generasi. Ia menuntut upaya penelusuran. Ia perlu direbut. Selintas saya teringat satu nama: Gino Novitri Henukh.

--

--

Rifki Akbar Pratama
INGAT 65
Writer for

is a researcher whose work revolves around the field of cultural-historical psychology and a member of KUNCI Study Forum and Collective