Akibat Gestok, Ayahku Lahir Dua Kali

Catatan Pribadi Seputar Peristiwa ’65

Saddam Cahyo
INGAT 65
5 min readDec 6, 2018

--

Ayahku (tengah) yang tubuhnya tampak lebih dewasa dari Abangnya.

“Enggak, orang Ayah inget betul kok. Mana mungkin anak umur lima tahun udah bisa disuruh nganter rantang makanan buat Datuk di penjara? Setiap hari lho.” Ini kalimat yang entah sudah berapa kalinya harus kudengar selama dua puluh lima tahun hidup bersama Ayah. Kalau sudah bicara soal usia, ia bisa ngotot sampai timbul urat di lehernya yang gemuk, sekalipun tanpa ada bantahan. Pokoknya ia bakal terus berkeras.

Ayahku terkasih, semoga kedamaian hakiki senantiasa engkau raih di alam sana.

Usia Ayah memang sering jadi persoalan, terlebih karena profesinya sebagai pegawai sipil negara. Semua dokumen resmi pribadinya dari ijazah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, SMEA, S1, S2, lalu KTP, SIM, KK, dan bahkan surat keterangan lahir dari klinik persalinannya sekalipun secara gamblang dan konsisten menyebut dirinya lahir tahun 1961. Namun, Ayah selalu membantah.

“58! Ayah ini aslinya lahir tahun 1958. Itu semua Datuk yang rekayasa, karena keadaan,” ucapnya setiap obrolan tentang usia kembali muncul. Memang secara kasat mata sekalipun, ada keganjilan soal perhitungan umur Ayah. Kakak kandungnya, yang juga berprofesi PNS, dalam dokumen resminya malah ditulis lahir tahun 1962. Justru lebih muda setahun ketimbang adiknya sendiri. Aneh, kan?

Memang secara kasat mata sekalipun, ada keganjilan soal perhitungan umur Ayah. Kakak kandungnya, yang juga berprofesi PNS, dalam dokumen resminya malah ditulis lahir tahun 1962. Justru lebih muda setahun ketimbang adiknya sendiri. Aneh, kan?

Ternyata ada penjelasan yang masuk akal untuk semua ini. Pertama, memang ada keadaan khusus di antara kakak-beradik yang jarak usianya hanya terpaut kurang dari setahun itu. Uwak punya sedikit hambatan intelegensia ketimbang adiknya. Kata Ombay, Uwak terserang demam step saat bayi. Hal itu yang membuatnya harus terlambat dua tahun masuk ke sekolah ketimbang Ayah. Secara postur tubuh dan karakter pribadi pun, Ayah tampak lebih dominan dalam keluarganya.

Alasan kedua, cukup mengejutkan telingaku yang masih duduk di bangku kelas enam SD dulu. Pelajaran sejarah di sekolahku kala itu sedang memasuki materi hafalan nama-nama jenderal yang disebut Pahlawan Revolusi. Disebut bahwa merekalah para korban kebiadaban gerombolan PKI di bawah kepemimpinan manusia bernama DN Aidit dan Letkol Untung, yang tergambar begitu angker di dalam buku sekolah. Ayah malah bercerita, “Waktu itu Datuk ikut dipenjara, dianggap PKI. Tiba-tiba dia lari masuk ke rumah, teriak kesakitan. Kepalanya bocor dipukul balok kayu sama tentara. Terus gak lama, dia dijemput dibawa ke Koramil.” Mungkin ada lebih dari dua tahun lamanya Datuk kami ditahan. Menurut Ayah, kondisi kehidupan keluarganya mendadak runtuh, ekonomi morat-marit. Ombay terpaksa berjualan pakaian dari kampung ke kampung, membawa buntalan dagangannya demi menafkahi keluarga.

Di tengah situasi yang begitu sulit, di usia bocahnya, Ayah dan Uwak harus ikut mencari penghasilan demi bertahan hidup. Tanpa modal, tentu tak banyak yang bisa Ayah kecil lakukan. Kebetulan Talang Padang, wilayah tempatnya tinggal, sejak dulu merupakan tempat transit hasil bumi yang ramai di provinsi Lampung ini. Bocah-bocah kumal di sekitarnya punya peluang memungut sisa biji kopi yang berjatuhan di tanah untuk kemudian dijual pada pengepul dengan harga yang jauh di bawah pasaran.

Tentu aku sempat berpikir, apakah kami ini termasuk cucu PKI? Namun, dengan tegas Ayah membantah. Datuk memang aktivis politik sejak kepulangannya dari sekolah di Solo, Jawa Tengah, tahun ‘50an. Ia lalu mengisahkan, proses pembebasan Datuk berhasil dilakukan berkat lobi yang diupayakan oleh Uyutku. Kebetulan komandan tentara yang baru dipindah ke situ masih satu suku dengan kami, Komering. Berkat pendekatan kultural itulah, Datuk bisa pulang. Meski setelahnya terjadi banyak perubahan dalam dirinya.

Datuk sendiri mengakui dokumen identitas kedua putranya memang sengaja dimanipulasi. Hanya saja, ia tak pernah menyinggung soal pengalamannya dipenjara pada periode konflik 1965 itu sama sekali. Aku sendiri tidak cukup berani menanyakan. Entah mengapa, pembawaan diri Datuk memang kerap membuatku segan. Volume suaranya bulat besar. Ia dikenal galak oleh orang-orang di sekitarnya. Meskipun demikian, kepada semua cucu tak pernah sekalipun ia membentak marah.

Lewat percakapan sore, di teras rumahnya yang bising karena lalu lalang kendaraan lintas provinsi, Datuk berkata, “Ekonomi lagi susah waktu itu. Ayah sama Uwak lo gak bisa masuk sekolah. Tapi kan jadinya sekarang enak, mereka bisa jadi PNS dan pensiunnya lebih panjang.” Datuk berujar dengan gaya bahasa lo-gua khas orang pasar dan terminal. Datuk yang kami kenal memang begitu cara bicaranya. Kepada siapa saja, orang tua atau anak kecil sekalipun. Apakah terdengar kasar?

Kembali ke masalah misteri usia Ayah. Di awal masa pikunnya, Ombay masih bisa dikorek banyak pertanyaan. Tentu saja sudut pandangnya banyak bercampur dengan perasaan subjektifnya sebagai perempuan di ujung tombak pengorbanan. Ombay mengakui penyebab kedua putranya terlambat masuk sekolah ketimbang anak lainnya di lingkungan sekitar tak lain memang dampak dari dijebloskannya Datuk ke dalam penjara pasca peristiwa Gestok.

Baru pada tahun 1967 Ayah mulai masuk taman kanak-kanak berkat bantuan kerabat yang lebih mampu. Tubuhnya tampak paling bongsor ketimbang teman-teman sekelas. Mungkin karena perbedaan usia itu juga, ayah dikenal bersikap paling badung di sekloah. Sementara itu rencana sekolah Uwak ditunda karena dianggap belum cukup siap. Setiap hari ia ikut berjalan kaki menemani Ombay keliling berjualan pakaian.

Oleh karena di kisaran tahun itu juga Datuk baru dibebaskan, maka keluarga itu pun memulai babak kehidupan mereka yang baru, termasuk perkara dokumen identitas. Tidak ada perubahan nama dalam keluarga. Buat apa memalsukan, toh Datuk sudah bebas dari tuduhan. Hanya saja, tahun lahir anak-anak mereka harus disusun ulang. Upayanya terbilang serius, bahkan dimulai dari pembuatan ulang akta kelahiran putra-putra mereka. Secara hukum negara, Ayahku dijadikan sulungnya.

Hingga akhir hayatnya, Ayah masih bersikukuh soal tahun kelahirannya yang benar. Maka, ketika dengan begitu mendadaknya ia mangkat setelah melawan sakit, kami putuskan untuk mengambil kedua identitasnya itu sebagai jalan tengah. Kami tuliskan pada cetakan buku yasin peringatan 40 hari kepergiannya, serta di batu nisan makam jasadnya: “Samsi Sholihin, lahir pada 21 Maret 1958/1961, dan wafat pada 29 April 2015.” Begitulah, Ayahku harus lahir dua kali akibat Gestok. Tabik!
_________

Catatan:
Beberapa panggilan dalam tulisan ini diambil dari rumpun bahasa di Sumatera bagian Selatan, seperti:
Ombay = Nenek
Datuk = Kakek
Uyut = Orang tua dari Nenek/Kakek

___

Penulis adalah buruh, tinggal di Kota Bandar Lampung. Alumni Sosiologi FISIP Unila, dan pernah bergiat di organisasi kemahasiswaan LMND Eksekutif Wilayah Lampung tahun 2009–2015.

--

--

Saddam Cahyo
INGAT 65
Writer for

Warga Negara Republik. Alumni Sosiologi FISIP Unila. Penikmat buku dan barang antik.